7

4 0 0
                                    

=


"Januari! Jaaan ... Januarii!" lengkingan suara Mareta begitu menusuk telinga. Di ambang pintu kelas Januari, ditepuknya pelan pipi Jaka yang sedang sibuk menunduk dengan ponsel di genggaman supaya menaruh perhatian padanya. "Heh, Januari gue mana?"

Yang ditanya malah mendecakkan lidah sambil memutar kedua bola mata, namun ia menunjukkan jarinya ke arah sosok yang Mareta cari. Seorang lelaki yang duduk termenung di bangkunya. Tanpa mengucap terima kasih, Mareta langsung nyelonong masuk.

"Hoy! Diem-diem bae. Ngapa dah? Tumbenan nggak main sama cewek-ceweknya."

Januari nyengir. "Mau bilang apa ya gue?"

"Malah tanya gue."

"Eh, dua hari nggak masuk, sekarang udah baikan?" tanya Januari, mengingat kemarin ia pergi mencari Mareta ke kelasnya dan gadis itu tidak masuk sekolah. Pasti karena nyeri haid dan kakinya yang masih sakit.

"Better now." Mareta menjawab singkat.

"Hm, tadinya sih gue mau bilang ..."

"I love you?" potong Mareta. "Thanks, I love me too!

Mareta mengucapkannya dengan wajah girang dan cekikikan sendiri. Januari hanya bisa tersenyum tipis. Ia biasa membuat lelucon konyol seperti itu agar Mareta tertawa dan melupakan masalah yang diembannya walau untuk sejenak. Kini, Januari seperti tak tau lagi bagaimana cara melakukan hal yang sama dengan kondisinya sekarang. Biasanya ia akan tetap berusaha menghibur Mareta walau padahal dirinya sendiri yang sedang butuh hiburan. Namun untuk saat ini, perihal sesuatu yang akan sangat sulit untuk ia beritau dan diterima Mareta, Januari tak yakin bisa membuat lelucon untuk menutupi perasaan sedihnya.

"Gue mau pindah, Mar. Pindah sekolah, ikut bokap lagi." Setelah menarik napas panjang, Januari mengatakannya. Dan ia tidak merasa lega. Samasekali tidak.

"Lagi? Kok lagi sih?" seru Mareta. "Dulu kan udah ikut bokap ke NTT, sekarang ke mana lagi? Afrika ya?"

Tuh kan, I knew it's gonna be like this.

Kekehan Januari begitu terpaksa, tak bisa lagi menutupi kesedihan yang ia rasakan. Untuk yang satu ini, entah kenapa ia merasa begitu sedih dan tersiksa. Merasa menjadi orang paling jahat yang tega menyiksa sahabatnya dan meninggalkannya sendiri lagi. Januari tau Mareta tidak marah. Dari sorot matanya yang berubah sendu, ia tau Mareta sedih dan kecewa. Ia tau betul sorot mata itu.

"Kapan pindahnya?" tanya Mareta kemudian.

"Minggu depan." Januari menjawab takut-takut dengan ekspresi Mareta. "Masih lam—"

"Tuh kan, I knew it!" meja di hadapan mereka digebrak tangan gadis itu. Ia kemudian menatap kesal Januari. "Lo baru berani bilang ke gue sekarang? Waktu lo ngebahas leave sebenarnya mau bilang tentang ini, kan?"

Inginnya Januari tolak mentah-mentah, walau ada salah juga benarnya dari perkataan gadis itu. Tapi mulutnya terpaksa bungkam dengan pasrah.

Detik berikutnya ekspresi di wajah Mareta berubah muram ditutupi awan mendung.

"Harus pergi emangnya?"

Januari hanya mengendikkan pelan kedua pundak lebarnya.

Lalu Mareta menghembuskan napas kencang. Mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu, tapi suara tidak terdengar. Kemudian ia kembali menutup mulut beberapa detik, lalu setelahnya berkata "Ya udah sih, pergi aja sono. Gue ikhlas."

"Bhuahahaa! Ikhlas apanya kayak gitu?!" laki-laki itu terbahak. "Gue tau kok, lo pasti mau nyuruh gue untuk nggak usah pergi, bentar lagi kita kelas tiga. Ye, kan?"

WallflowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang