8

6 1 1
                                    

=


Terkadang, rasanya lelah untuk terus bernapas di dunia ini. Walau udara itu gratis dari Tuhan, tapi ... Mareta merasa lelah saja. Dengan dunianya, dengan dirinya sendiri. Semuanya gelap. Menyebalkan.

Pukul 03.03.

Mareta terbangun dengan peluh membasahi sekujur tubuh. Bukan hanya mimpi buruk yang menghantui malamnya, tapi juga suara-suara menjijikkan dari balik dinding. Nenek pasti sedang tak ada di rumah. Bukankah di sepertiga malam seperti ini lebih baik bersujud pada Tuhanmu dari pada mengerang dan mendesah seperti itu? Menjijikkan sekali.

Tubuh ramping itu meringkuk di atas ranjang, memeluk erat kedua lututnya yang dilipat. Mata terbuka lebar dan mulut bungkam. Mimpi-mimpi itu jelas menjadi nyata walau tak diungkapkan. Ibu benar-benar membenci dan mengutuknya. Bahkan hal yang selama ini Mareta takutkan, menjadi kenyataan dalam hitungan detik. Seberapa keras usahanya untuk membuat Febrian tidak mengikuti jejak ibu di masa lalu, pada akhirnya semua bukanlah apa-apa. Semudah itu Febrian melupakan sosok ibu yang selalu benci padanya dan meninggalkan bekas luka di sekujur tubuhnya, dan kini malah mengikuti apa yang ibu sering lakukan di masa lalu.

Mareta menyayangi Febrian. Namun bagaimana cara mengungkapkannya? Ibu tak pernah mengajarkan hal itu, Mareta bahkan tak pernah ingat bagaimana rasanya dipeluk ayah. Kala itu ia masih sangat kecil.

Selama suara itu masih terdengar meriuhkan gulita dalam rumah nenek, selama itu juga kedua mata Mareta akan terbuka lebar. Terjaga, sambil memikirkan satu hal.

Lebih baik menyusul ayah saja sekarang. Tapi pasti bertemu ibu juga di sana.

Tangan Mareta meraih ponsel dan menyalakannya. Tanpa sadar ia menelpon Januari.

"Yo, Mar. Lo udah kangen aja sama gue." suara Januari menyapa di seberang sana. "Kenapa nih nelpon jam seginian? Lo begadang lagi pasti? Atau ... habis jadi anak sholehah?"

Hening.

"Mar? Ini lo nggak sengaja kepencet buat nelpon gue atau gimana nih? Halo?"

Mata Mareta memandang kosong, entah ke mana, entah memikirkan apa. Namun dalam hatinya, sebuah getaran hebat terasa muncul dari sana.

"Mar? Woy? Lo ngigo kali nih!? Gue matiin ae yak? Alohaalohaloha—"

"Jan ..."

"Nah, itu dia. Akhirnya bersuara juga. Wassup, love? What is it? A nightmare, lagi?"

Sebelum mengatakannya, Mareta menghela napas, berat sekali. "Gue pengen ketemu ayah."

Satu kalimat itu seketika melenyapkan suara di seberang sana.

"Tapi pasti bakal ketemu ibu juga. Gue nggak mau."

"Then don't."

"Tapi gue pengen ketemu ayah."

"Mar ..."


* * *


Tak terdengar lagi suara gadis itu dari seberang telpon. Dada Januari berdebar hebat sejak tadi, detik dimana Mareta mengatakan ingin bertemu ayahnya. Januari ingin menepisnya dengan meyakinkan diri bahwa gadis itu pasti sedang mengigau, tapi tetap saja, tak akan membuat Januari tenang.

Jadi ia memastikan apa yang baru saja terjadi. Apa yang sedang terjadi dengan Mareta. Memasuki waktu subuh, dan Januari berlari kencang menuju rumah Mareta. Gerbang kecilnya tak dikunci, bahkan pintu depannya pun tak dikunci. Dan gadis itu tak ada di atas ranjangnya.

WallflowerWhere stories live. Discover now