5

10 1 0
                                    

=


"Besok-besok jangan ke kedai bang Johan lagi ya, Jan." Mareta menekuk wajahnya. Mi ayam yang dipesannya semenit lalu masih setia dipandangi sejak lima menit yang lalu. Padahal jika sudah berhadapan dengan salah satu makanan favoritnya, gadis itu akan melahap habis dalam sekejap.

"Hana lagi nih?" tebak Januari, sambil mengunyah siomay dalam mulutnya, juga sambil sibuk dengan salah satu pacarnya.

Mareta mendengus. "Gue dikira cewek lo mulu." Ia masih menganggurkan mi ayamnya.

Januari tidak tersedak atau terkekeh. Ia tetap fokus pada layar ponsel. Dimasukkan lagi sesendok siomay tanpa meliriknya, "Lo emang cewek gue." Tak mendapati respon Mareta, Januari mendongakkan kepala. "You are my girl. Who else gonna be? Hana?"

Mareta diam saja. Ia tak pernah menatap mata Januari dan membaca isi pikiran lelaki itu. Mareta hanya lebih senang membiarkan Januari bicara, mendengar suaranya dan kalimat yang keluar dari mulutnya. Itu saja sudah cukup.

"Eh tapi lo nggak boleh suka sama gue ya, Mar!" tiba-tiba saja Januari berkata begitu.

"Kok gitu?"

"Ya nggak boleh lah!" kekeh Januari. "Gue tau lo pasti suka sama yang lain. There are so many guys better than me in this world."

"Tapi kalo ternyata yang gue suka itu Januari Ravandi, gimana dah?"

"HELL NO!" seru Januari menahan tawanya karena ekspresi mengejek di wajah Mareta. "Langsung gue bunuh lo! Awas aja kalo kesampean!"

Untuk membuat Mareta kembali tertawa, sederhana saja caranya. Hanya dengan candaan konyol bersama Januari, Mareta bisa terpingkal-pingkal. Lagipula, mana mungkin Januari berani membunuhnya? Dan Mareta juga tak bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Ia hanya senang mengganggu Januari dan selalu ingin dibuat tertawa olehnya.

"Tapi gue belum pernah tuh nemuin cowok kayak lo, yang betah temenan sama gue." Nada bicara Mareta terdengar serius, ditambah ekspresi wajahnya saat ini. "Serius." Katanya kemudian, berusaha meyakinkan Januari dengan berusaha menunjukkan wajah tanpa senyumnya.

"Kok bisa ya, lo betah sama gue, Jan?" Mareta menerawang.

Januari malah terkekeh sambil geleng kepala. "Seharusnya gue yang nanya, kenapa lo bisa betah didekat cowo kayak gue ini."

"Eits, gue duluan nanya. Jawab dulu, buru!"

Januari pun menghela napas.

"There are so many guys unlike me, Mar. I'm just nobody."

"You are somebody to me."

Kini, manik mata Mareta terfokus pada objek yang sedang terfokus pada objek lainnya. Januari benar-benar somebody untuknya. Tak habis pikir, kenapa Januari bisa betah berteman dengan dirinya selama bertahun-tahun.

"Ngapain liatin gue? Liatin tuh mi ayam lo sampe kembah!" timpal Januari menyadari tatapan menyelidik dari gadis di sampingnya.

"Udah nih, sampe kembah."

"Trus nggak mau dimakan?"

"Ya mau lah! Sejak kapan gue cuekin makanan favorit gue?"

Sudut bibir Januari tersenyum, karena Mareta langsung menikmati mi ayam kembahnya dalam keheningan yang syahdu. Tak butuh alasan pasti kenapa dirinya bisa betah berteman dengan gadis berambut biru pembaca pikiran itu selama bertahun-bertahun. Karena memang tak pernah ada alasan dalam suatu persahabatan.

WallflowerWhere stories live. Discover now