2. Anak-Anak Kuat

60 25 8
                                    

Sebelum kalian lebih lanjut untuk mulai membacanya, jangan lupa pencet bintang di pojok kiri bawah. Serta, tinggalkan komen di setiap paragraf. ')

Xixie,

-sausankml

_______________________________________

__________________

Semua yang berasal dari lingkungan buruk, tidak selalu menjadi hal yang buruk.

Pijar Cantika Wulandari

🌋🌋🌋

Selepas bangun tidur, energi di tubuhku serasa pulih kembali. Kulihat jam berwarna merah kehitaman yang kubeli sebagai oleh-oleh dari pendakianku di gunung Merbabu. Jarum jamnya menunjukkan pukul tiga lewat lima belas menit. Entah aku yang terlalu rajin atau aku yang tak suka dengan kotor, kaki ini langsung saja menghantarkanku ke kamar mandi agar segera membersihkan diri.

Aku sudah selesai merapikan diri. Kini diriku bergegas menuju dapur selayaknya kebanyakan ibu yang bertugas untuk menyiapkan makan malam keluarganya. Ketika kakiku berpijak pada anak tangga paling bawah, sapaan lembut dari mulut mungil mereka terlontarkan kepadaku. "Halo, Tante!"

Senyum langsung tercetak di wajahku. Kuhampiri mereka yang bermain di ruang tamu bersama anakku, Rina. Tak luput juga tanganku yang melambai ke arah mereka. "Halo, sedang apa kalian?"

Ada tujuh orang anak kecil yang menatapku dengan mata bahagianya. Mereka adalah anak-anak kuat yang kukenal dan amat kusayangi. Mereka yang seharusnya bisa tumbuh dengan penuh kasih sayang, tapi mereka tak mampu mendapatkan bahkan merasakan sedikit pun.

"Main sekolah-sekolahan nih, Tante," jawab anak bertubuh gempal sambil memasukkan beberapa buku cerita ke dalam tasnya.

Yang kutau, anak itu ditinggal oleh orang tuanya karena masalah ekonomi. Ia dititipkan di panti asuhan dan akhirnya Tuhan memberi takdir baik kepadanya. Anak itu diadopsi oleh bu Broto, tetanggaku di ujung gang. Si pemilik toko baju yang sama sepertiku, tidak kunjung memiliki keturunan. Cerita yang sedikit menyentuh hatiku.

Tawa mereka selalu mengisi rumah ini. Aku yang mengizinkan dan menyuruh anakku agar mengajak mereka untuk bermain di rumah ini. Rumah yang tak pernah dihiasi dengan gelak tawa bilamana tak ada mereka. Rumah yang tak pernah ada kebahagiaan bilamana tak ada pancaran kebahagiaan mereka. Rumah yang tak pernah ada hal menyenangkan lainnya bilamana tak ada mereka.

Aku mengurungkan niatku untuk memasak. Mungkin, kutunda dulu sebentar tidak apa-apa. Aku memutuskan untuk bermain bersama mereka. "Tante, ikutan ya?"

"Ayo, Tante!" seru mereka serempak dan menghampiriku yang masih berdiri. Aku segera menggandeng tangan dari salah satu mereka.

Aku banyak bermain dengan mereka. Membacakan dongeng, memberikan pelajaran mudah untuk seumuran anak TK. Bergurau dan bercanda mengenai hal-hal lucu yang menggelitik perut. Setelah kurasa sudah cukup waktu yang kuhabiskan, aku mengeluarkan ponsel berlogo apel tergigit dari saku celanaku, berniat untuk mengambil foto bersama mereka. "Kita foto, yuk!"

Mereka berebutan untuk mendapat tempat di sampingku. Tombol potret pun kupencet dan mengeluarkan suara, cekrekkk .... Satu foto sudah ter-take. Aku melihatnya bersama mereka.

Si rambut ikal, anak laki-laki berkulit agak sedikit gelap, anak tetanggaku–orang tuanya sibuk bekerja. Ia hanya bersama neneknya di rumahnya. Beralih ke gadis imut berbaju merah muda, anak yang pernah menjadi korban kekerasan ibunya yang ditinggal cerai oleh suaminya. Lagi, anak yang dikuncir kepang, ia memang bukan anak broken. Hanya saja, ia sering menjadi korban bullying di sekolahnya. Serta, sisanya anak-anak yang tumbuh dengan baik di lingkungan yang baik.

Ma FutureWhere stories live. Discover now