| two

11 6 5
                                    

“Jangan jadi pengengecut dan lawanlah rasa takut atau apapun yang membuatmu ragu.”
—June, 18

Dulu saat ibu masih muda, beliau sudah menjadi ballerina profesional

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Dulu saat ibu masih muda, beliau sudah menjadi ballerina profesional. Di umur 21 tahun beliau banyak memenangkan lomba internasional.

Aku selalu mengagumi kemampuan ibu dan ketertarikan dalam dunia ballet itu menurun padaku.

Saat itu usiaku tujuh tahun, beliau mengajariku tehnik dasar ballet, aku selalu berlatih setiap pulang sekolah, melatih kelenturan, dan mengasah tehnik yang diajarkan oleh ibu.

Saat usiaku dua belas tahun, aku memutuskan menyerah, aku kehilangan harapan, aku tak punya motivasi untuk melanjutkan.

Itu semua karena kedua orangtuaku meninggal dan aku terpaksa berhenti karna aku tidak punya uang untuk ikut kelas ballet.

Kemarin Yeosang bertanya tentang cita-citaku, jadi aku tak sengaja mengatakan padanya bahwa aku ingin menjadi seorang ballerina profesional.

Lalu entah mengapa aku justru membiarkan Yeosang mengetahui hal yang tak pernah kuceritakan pada siapapun.

Tentang keinginan terbesarku yang sudah lama terpendam.

Awalnya aku tidak tahu Yeosang akan membawaku kemana. Tapi aku langsung tahu begitu memasuki tempat itu.

Sebuah stage ballet.

Sebuah stage ballet

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Kamu menyewanya?”

Yeosang tersenyum. “Tidak penting. Sekarang naiklah ke sana, menarilah sesukamu, stage itu punyamu seorang.”

Aku memandangi stage itu dengan mata berair. Berapa tahun aku mengabaikan tempat ini karena aku memutuskan menjadi pecundang yang tak bisa menerima kenyataan?

“Aku.. tidak bisa,” sahutku.

“Oh, ayolah,” Suaranya menggema di ruangan sebesar ini. Yeosang sedang menyalakan lampu-lampu stage.

Rasanya ada yang berbeda jika hanya ada kami berdua disini.

“Jikyung,” panggil Yeosang, “tunjukkan padaku kehebatan yang selama ini kamu sembunyikan.”

Mataku terbelalak. “Tidak,” aku menggelengkan kepala, “aku tidak bisa. Aku sudah lama tidak—”

Yeosang tiba-tiba menarik tanganku menuju ke stage. “Tidak ada kata terlambat untuk memulainya lagi kan?”

Yeosang menyerahkan sepasang sepatu ballet padaku.

“Yeosang, aku tidak bisa.”

Yeosang mendecak. “Ayolah, Jikyung.”

Aku menatap wajah Yeosang.

“Kamu pasti bisa!” ujarnya menyemangati sambil tersenyum.

Aku menghela napas dan berjalan menjauh darinya. “Tidak. Ayo pergi ke tempat lain saja.”

Tanpa aba-aba Yeosang meraih pinggangku, mendudukanku di sebuah kursi yang ada di tengah stage. “Sebenarnya apa yang membuatmu ragu, huh?”

Yeosang berjongkok untuk melepas kedua sepatuku dengan lembut. “Jangan jadi pengengecut dan lawanlah rasa takut atau apapun itu yang membuatmu ragu, Jikyung. Bukankah ini keinginanmu?”

Aku mendorongnya menjauh. “Aku takut kalau nanti aku malah mempermalukan diriku. Aku sudah lama tidak mencobanya.”

Dan itu membuat senyum Yeosang mengembang. “Malu ya? Untuk apa kamu malu padaku? Lagi pula hanya ada kita kan disini, anggap saja aku tidak melihatmu,” titah Yeosang sambil memakaikan sepatu ballet.

Yeosang kemudian beranjak untuk memutar musiknya.

Saat melihatku masih berdiam diri, Yeosang tersenyum. “Kalau kamu tidak mau, aku akan membuatmu melakukannya bersamaku, Jikyung.”

Lalu dia menggenggam tangan kiriku.

“Sebelumnya, aku tidak tahu bagaimana cara menari ballet yang benar, tapi ikuti saja aku, oke?” ujar Yeosang.

Aku mengangguk ragu sebelum kedua tangan Yeosang melingkar di pinggangku, aku menatapnya canggung lalu melingkarkan kedua tanganku di lehernya.

Entah kenapa ada sesuatu yang menggelitik perutku saat kami mulai bergerak perlahan.

Yeosang ternyata tidak bohong, dia memang tidak tahu bagaimana cara melakukan ballet. Berulang kali dia menginjak ujung kakiku.

Ujung-ujungnya kami malah tertawa konyol dan mengulang lagi alunan musiknya.

Yeosang masih tetap menginjak kakiku tapi aku mengabaikannya, ku tatap netranya yang juga memandangku lekat.

Matanya memancarkan sesuatu yang sudah lama tidak aku lihat, harapan.

Tak butuh waktu lama sampai aku lepas kendali atas diriku, aku bahkan tidak menyadari kapan Yeosang melepaskan dirinya dariku, membiarkanku hanyut dalam alunan musik.

Aku melakukan beberapa putaran, mengingat kembali tehnik yang diajarkan ibu.

Aku yakin itu hanya ilusi tapi aku melihat ibuku duduk di depan stage, matanya berlinangan air mata namun dia tersenyum bahagia.

Aku pun berhenti saat musiknya berakhir. Yeosang memandangku di kursi penonton dengan senyuman lebar diwajahnya.

“Tadi itu sangat indah,” puji Yeosang saat aku mengatur napas.

Aku tidak tahu apakah pujian Yeosang yang membuat hatiku membuncah atau karena barusan aku melakukan ballet dengan bahagia disaksikan oleh ibu.

“Ya, aku merasa lebih baik,” bisikku namun aku tahu Yeosang masih bisa mendengarnya.

Aku tersenyum kecil, “Yeosang, tadi aku melihatnya,” pandanganku terarah ke salah satu kursi kuning yang kosong, “ibuku melihatku.”

“Jadi, secara tidak langsung ballet menghubungkan perasaanmu dengan ibumu kan?” tanya Yeosang saat aku berjalan menuruni stage, mengelap dahiku yang berkeringat.

Aku membasahi bibir saat Yeosang menunduk menatapku. “Aku.. tidak tahu.”

Yeosang memberiku senyuman hangat. “Pikirkan bakatmu ini Jikyung, melihatmu menari tadi membuatku kagum, sungguh, dan percayalah kamu punya masa depan yang cerah jika kamu terus mengasahnya.”

Aku tertawa lemah. “Ya, tapi aku tidak punya uang untuk ikut kelas ballet.”

“Jangan menyerah, Jikyung,” Yeosang menepuk punggungku.

“Semuanya tidak melulu tentang uang kok. Jangan pikirkan tentang berapa banyak yang harus kamu keluarkan,” Yeosang memberiku air minum, “kalau memang berbakat kamu tidak perlu mengeluarkan banyak biaya, asalkan kamu mau mengasahnya perlahan sesuai kemampuanmu.”

Aku tersenyum. “Terimakasih, Yeosang.”

“Ballet adalah hal berharga untukmu, jadi jangan pernah menyia-nyiakannya, Jikyung.”

Aku tersenyum mengangguk.

Reason number two, Ballet.

TBC


*image source; Pinterest.

DYING HOUR🔼yeosang [Short Story]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang