| four

10 5 2
                                    

“Tetaplah hidup, Jikyung.”
—June, 20

“Maaf kalau berantakan,” ucapku sambil menyingkirkan sebuah baju dari bunk bed yang ku bagi dengan Ren, “ku kira kamu tidak akan datang lagi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

“Maaf kalau berantakan,” ucapku sambil menyingkirkan sebuah baju dari bunk bed yang ku bagi dengan Ren, “ku kira kamu tidak akan datang lagi.”

Bibir merah muda Yeosang melengkung ke atas

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bibir merah muda Yeosang melengkung ke atas. “Kau terdengar seperti tak menginginkan kehadiranku disini.”

Aku menggidikkan bahu. “Yah, sejujurnya.”

“Maksudku, aku tidak mau kamu melihat tempat macam apa yang ku tinggali. Aku tidak mau kamu tahu kalau aku berbagi kamar dengan lima orang anak yang usianya jauh lebih muda dariku,” kataku sambil berbaring di kasur bagin bawah.

Lima orang anak itu sedang dilantai dasar, mungkin berada di ruang makan, mengerjakan PR bersama Nun's, atau menonton satu-satunya televisi di ruang keluarga yang menayangkan kartun Tom & Jerry.

Yeosang tiba-tiba ikut berbaring di sebelahku. Aku pun sedikit tegang dan canggung. Maksudku, tidak masalah kalau dia ikut berbaring, tetapi posisi ini entah kenapa rasanya terlalu dekat, terlalu intim. Apalagi ranjangku tidak berukuran cukup besar untuk dua orang.

“Itu bukan masalah bagiku,” bisiknya, mata kami saling menatap. Wajah kami sangat dekat saat ini.

“Aku tidak tahu banyak tentangmu,” kataku.

“Apa maksudmu?” napas Yeosang yang hangat menerpa wajahku.

Aku segera membalik tubuhku, membelakanginya. Menatap gambaran di dinding yang ku tempel lima tahun yang lalu. Aku membasahi bibirku, “maksudku, aku tahu kamu itu Kang Yeosang, laki-laki yang terkenal di sekolah, kamu disukai banyak orang karena sifatmu yang perhatian dan ramah.”

Aku tersenyum lembut membalik tubuhku ke arahnya lagi. “Tapi siapa kamu yang sebenarnya? Yeosang yang asli, bukan Yeosang dari kata orang-orang.”

Yeosang menggidikkan bahu. Wajahnya memucat dan pandangannya kosong. Dia berdeham, matanya sarat akan kebingungan. “Aku tidak tahu,” ujarnya pelan, “aku hanya Kang Yeosang.”

Aku menghela napas kecewa dan memalingkan wajahku lagi. Ku kira dia akan menceritakan sesuatu.

Yeosang yang dikenal orang-orang memang ceria, baik, dan perhatian. Tapi bukankah itu hanya cangkang luar yang ditunjukkan Yeosang?

Ya, aku yakin itu. Karena semua orang juga melakukannya. Termasuk aku.

Jadi, siapa sebenarnya Yeosang dibalik semua itu?

Ketukan pintu membuatku terkejut. Aku dan Yeosang langsung beranjak duduk dan kami berdua juga lupa kalau diatas kasurku masih ada kasur lagi. Aku mengusap kepalaku yang terbentur sambil berucap, “masuklah.”

Ternyata itu ibu panti. “Makan malam sudah siap,” katanya sambil tersenyum. Matanya beralih ke Yeosang, “oh, maukah kamu bergabung?”

Pipi Yeosang bersemburat merah saat dia menggelengkan kepala. “Ah, tidak usah, aku tidak mau mengganggu—”

Ibu panti terkekeh. “Hei, jangan khawatir, kamu tidak mengganggu kami sedikit pun. Lagi pula masih ada tempat untuk satu orang lagi.”

Aku meninju pelan bahu Yeosang sambil tertawa. “Ayolah, tidak apa-apa. Makanan disini lumayan enak kok.”

Kami berdua mengikuti ibu panti menuju meja makan. Semua anak-anak sudah duduk disana, aku dan Yeosang duduk di dua kursi yang masih tersisa sedangkan ibu panti duduk di kursi paling ujung sebagai pimpinan.

“Apa kamu suka ayam panggang?” ibu panti menanyai Yeosang, “kalau tidak kami masih punya roti—”

“Aku suka sekali makan ayam!” katanya cepat, lalu menunduk malu, “maksudku, ayam panggang tidak masalah, terimakasih banyak.”

Aku mulai memakan ayamku sambil memperhatikan Yeosang. Matanya membara memotong daging ayamnya. Aku terkekeh. Sepertinya ayam makanan kesukaannya.

Tapi olahan makanan disini tidak akan seenak makanan dirumahnya. Panti asuhan tidak bisa memberi kami makanan berbintang untuk 30 orang setiap harinya.

Usai makan aku dan Yeosang membantu ibu panti membersihkan meja, sedangkan anak-anak yang lain tidak harus membantu kami khusus malam ini. Sepertinya ada yang ingin dibicarakan oleh ibu panti.

“Jikyung, aku ingin memberitahu sesuatu,” ujar ibu panti sambil menyapu lantai. Yeosang sedang mencuci piring sedangkan aku yang mengembalikan ke tempatnya.

“Apa itu, Bu?” tanyaku.

“Begini, aku merawatmu selama enam tahun, kamu sudah ku anggap seperti anak perempuanku sendiri, Jikyung,” tanganku gemetaran saat ibu panti memulainya.

“Kinerjamu di sekolah selalu membanggakan, gurumu sudah mengkonfirmasi itu. Dan sayang sekali aku sebagai pengurus panti harus melepasmu. Tapi tenang saja, kami sudah menyiapkan biaya agar kamu bisa melanjutkan kuliah.”

Mataku terbelalak, kepalaku langsung menoleh ke ibu panti. “Bu, tidak perlu—”

“Kami harus melakukannya, Jikyung. Aku sangat sedih setelah melihat enam tahun ini tidak ada keluarga yang mengadopsimu, tapi bukan berarti kamu ini tidak pantas untuk diadopsi. Justru merekalah yang kehilangan kesempatan emas untuk mendapatkan gadis cerdas, cantik, dan baik hati sepertimu, Jikyung.”

Mataku memburam karena air mata. Kata-kata ibu panti barusan membuatku ingin menumpahkan air mataku tapi aku menahannya karena Yeosang mengamatiku dengan ekspresi khawatir.

“Para Nun's yang menyaksikan pertumbuhanmu menjadi sosok gadis cerdas sudah sepakat kalau kami tidak boleh menyia-nyiakan kecerdasanmu, karena itulah kami sudah menyiapkan dana kuliahmu sejak jauh-jauh hari, meskipun hanya cukup untuk satu atau dua semester.”

Tenggorokanku sakit karena menahan tangis. Aku menatap ibu panti dengan mata berair. Aku memberinya senyum lemah yang maknanya jauh lebih dalam dari siapapun yang pernah mendapatkan senyum ini.

“Terimakasih Bu, terima kasih banyak.”

“Sudah sepatutnya kami membantu kalian membuka jalan untuk masa depan yang lebih cerah,” ibu panti memberiku senyuman, “aku akan memeriksa yang lain, tolong selesaikan piring-piringnya ya?”

Aku mengangguk.

Ibu panti keluar dari dapur. Aku mengigit bibirku saat Yeosang berdeham. Dia menyentuh bahuku dan tersenyum lembut.

“Lihatlah, ada banyak sekali orang yang menyayangimu kan?” Yeosang bertanya, mata cokelat teduhnya menatapku.

“Tetaplah hidup, Jikyung. Tunjukkan pada ibu panti yang sudah banyak berkorban untukmu, kalau kamu tidak akan mengecewakannya.”

Reason number four, Mother Grace.

TBC

DYING HOUR🔼yeosang [Short Story]Where stories live. Discover now