| three

11 6 4
                                    

"Aku pernah kemari, dan yang terakhir kali sebelum mereka meninggal."
-June, 19

Yeosang membunyikan bel sore hari sepulang sekolah

Oops! Questa immagine non segue le nostre linee guida sui contenuti. Per continuare la pubblicazione, provare a rimuoverlo o caricare un altro.

Yeosang membunyikan bel sore hari sepulang sekolah. Aku tidak menyangka dia akan datang lagi. Tapi aku juga tidak terkejut karena perjanjian kala itu masih berlaku.

"Jikyung, kamu kenal laki-laki ini?" ibu panti menanyaiku usai menyuruhku turun dari kamarku.

Aku tahu ibu panti berusaha menyembunyikan keterkejutannya, karena selama ini tidak pernah ada yang mengunjungiku.

Aku berkontak mata dengan Yeosang, dia melempar senyum kecil.

"Kami di sekolah yang sama, Bu."

"Oh," ibu panti kemudian tersenyum pada Yeosang, "aku senang melihatmu berteman dengan baik, Jikyung."

Aku membasahi bibirku. "Um, sebenarnya kami tidak-"

"Kalau anda tidak keberatan," Yeosang menyela, melempar senyum manis pada ibu panti, "bolehkah saya mengajak Jikyung keluar sebentar? Untuk satu atau dua jam saja?"

Ibu panti menepuk punggungku. "Oh, tentu saja."

Aku menggeram saat ibu panti mendorongku pelan menuju Yeosang. "Ajak dia keluar selama yang kamu mau, lagi pula Jikyung jarang sekali keluar dari panti, kecuali untuk sekolah."

Dan tentu saja itu membuat Yeosang menyeringai puas. "Terimakasih, aku akan menjaga Jikyung dengan benar."

Dengan begitu aku mengikuti Yeosang keluar dari panti. Saat ibu panti menutup pintunya aku menatap Yeosang. "Kita mau ke mana lagi hari ini?"

Yeosang menyuruhku naik ke mobilnya. "Aku akan mengajakmu ke toko roti milik bibiku."

Aku terbengong. "Eh? Apa yang mau kita lakukan disana? Aku tidak sedang ingin makan roti."

"Siapa yang bilang kita mau makan roti?" Yeosang terkekeh, "kita akan belajar cara membuat tripple choco cookies," jawabnya.

Tak lama kemudian kami sampai didepan toko roti yang terkenal di kota. Aku tak menyangka dia membawaku kesini. Ke toko roti yang ini.

 Ke toko roti yang ini

Oops! Questa immagine non segue le nostre linee guida sui contenuti. Per continuare la pubblicazione, provare a rimuoverlo o caricare un altro.


Aku terdiam membatu. Aku pernah kemari, terakhir kali tepat di hari sebelum orang tuaku meninggal.

Dulu mereka selalu membawaku kemari saat aku berulang tahun. Mereka membiarkan aku memilih sendiri kue yang aku inginkan. Dan aku selalu memilih roti coklat yang rasanya luar biasa.

Aku bahkan masih ingat senyuman bibi saat aku memberitahukan kue yang aku inginkan.

"Yeosang!" seru seorang wanita, kedua tangannya dipenuhi tepung, "senang melihatmu disini, Nak."

"Senang bertemu denganmu lagi, Bi," Yeosang menarikku mendekat untuk memperkenalkanku, "dia Han Jikyung, salah satu temanku."

Taegeuk mengangkat sebelah alisnya, menggoda Yeosang. "Kamu yakin hanya teman?"

Aku membelalak sedangkan Yeosang sudah seperti kepiting rebus disebelahku. "Ya, aku yakin, Bi."

Taegeuk mendesis kecewa sepertinya.

"Apa Bibi sudah menyiapkan bahannya?" tanya Yeosang.

"Tentu saja!" Taegeuk tersenyum lebar, "orangtuamu juga memastikan agar aku melancarkan kencan kalian. Kamu tahu, mereka akhir-akhir khawatir kalau kamu itu Gay karena tak pernah terlihat bersama gadis."

Pipiku menggembung menahan tawa.

Yeosang terlihat gusar di tempatnya. Lalu tanpa aba-aba dia menarik tanganku menuju dapur. "Ayo, Jikyung," ajaknya menahan malu.

"Apa kamu pernah membuat roti sebelumnya?" tanya Yeosang saat kami memasuki dapur.

Aku menggeleng. "Belum pernah, biasanya Nun's yang membuat."

"Baiklah," Yeosang terkekeh, "aku juga belum pernah, sepertinya kemungkinan gagal terbuka besar ya? Hahaha."

Aku tertawa kecil. "Baiklah, kita mulai membuat adonan dulu kan?"

Yeosang menatap semua bahannya kebingungan. "Eh, ya," ujarnya penuh keraguan.

Yeosang mengambil beberapa butir telur dari dalam lemari pendingin. "Ayo kita pecahkan dulu telur ini."

Kami memecahkan telurnya kedalam mangkuk besar, karena pengetahuan baking kami benar-benar nol jadi tak heran kalau ada cangkang telur yang ikut masuk kedalam mangkuk.

Aku sedang memasukkan gula dan garam saat Yeosang tiba-tiba saja mencolekkan tepung ke pipiku.

Aku menatapnya malas. "Kamu pikir itu lucu?"

Seringaian Yeosang sirna saat aku berjalan ke arahnya. Menggenggam tepung sebagai balasan atas perbuatannya sambil menyeringai.

"Hey! Itu tidak adil," Yeosang menangkap lengan kiriku yang menggenggam tepung, "aku hanya mencolek sedikit kenapa kamu membalasnya dengan segenggam?" tanya Yeosang dengan muka horor.

Aku tertawa dan mendorongnya sekuat tenaga sampai dia jatuh dan aku berhasil melempar segenggam tepung tak hanya ke wajahnya tapi juga mengenai pakaiannya.

Saat aku berjalan kembali, tiba-tiba Yeosang berdiri dan langsung memutar badanku, memelukku erat sambil menggosokkan wajahnya yang penuh tepung ke bahuku, tertawa.

Aku terbatuk karena menghirup tepung itu. Aku segera mendorong tubuhnya menjauh.

Kami berdua sudah benar-benar kotor oleh tepung sekarang.

Aku mengambil sekarton telur dan menyeringai. "Kamu benar-benar akan menyesalinya, Kang."

Yeosang menatapku tak percaya. Sebuah telur sudah mendarat di bajunya. Lalu sebagai balasan dia mengambil dua genggam tepung mengenai seluruh tubuhku.

Kami saling tatap.

Ini artinya perang.

Beberapa menit kemudian peperangan kami selesai. Kami berdua terduduk di lantai, benar-benar kotor dari ujung rambut sampai kaki.

Aku dan Yeosang masih tertawa lepas melihat kekonyolan yang kami lakukan. Entah bagaimana ini membuat pikiranku jauh lebih ringan.

"Hey, Jikyung, sebenarnya tujuanku mengajakmu kesini bukan untuk membuat roti."

Aku mengernyit namun segera paham.

Yeosang menarikku berdiri. "Ya, untuk membuatmu tertawa lepas seperti tadi."

Belum sempat aku membalas perkataannya tiba-tiba sebuah kepala menyembul dari balik pintu. "Hey, bagaimana apakah-"

Bibi Taegeuk membelalak. Rahangnya jatuh kebawah. "Ya ampun!"

Aku menggigit bibir bawahku, merasa bersalah. "Ma-maaf aku akan segera membersihkannya."

Taegeuk menggeleng menghampiri kami. "Oh, tidak, aku tidak menyalahkanmu. Aku menyalahkan Yeosang disini," kemudian Taegeuk menatap Yeosang, "kenapa kau meneluri gadismu di saat kencan pertama, huh?!"

Mata Yeosang teralih padaku. Dia menyeringai padaku mengabaikan kalimat ambigu Taegeuk.

"Reason number three, Baking. Kita harus sering melakukannya, Jikyung."

Taegeuk berkacak pinggang mengambil cangkang telur di lantai. "Ide bagus Yeosang, tapi tidak di dapurku!!" Taegeuk mengomel.

TBC


DYING HOUR🔼yeosang [Short Story]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora