NEVER WIN! (022)

59 14 4
                                    

Brak!

Tangan kekar itu menggebrak meja kayu di hadapannya, tapi gadis itu tak jua gentar. Ia justru menatap tangan itu dingin seolah ia sudah terbiasa atau pernah menemui sesuatu yang lebih dahsyat daripada sekadar tangan yang menggebrak meja.

Beda halnya dengan Luke. Meski wajahnya terlihat tenang tanpa urat-urat yang keluar seperti hendak meledak, Jennie tahu pasti, Luke telah berada di titik-titik terakhir kesabarannya. "Jadi, di mana Anda kemarin malam, Nona Tanpa Marga?"

"Saya berada di Odacity, Tuan Smith.ersama Nyonya Cartwood dan saudara-saudara angkat saya," gadis itu mengulang jawaban yang telah lima kali diulangnya itu.

"Jangan berbohong, Claire! Katakan yang sebenarnya!" Luke menggeram.

"Saya mengatakan yang sebenarnya."

"Jangan main-main--"

"Saya tidak main-main--"

"Anda jelas tengah main-main!" Dua orang itu berbantah, saling potong satu sama lain. "Saya telah menanyai Nyonya Cartwood dan dia bilang, dia tidak bertemu dengan Anda kemarin malam," Luke menekan setiap suku katanya.

Claire terdiam mendengar kalimat itu. Matanya yang dari sejak awal hanya menunjukkan ekspresi datar sedikit demi sedikit berubah.

"Kenapa? Anda gugup?"

Claire tak menjawab.

"Jadi, katakan yang sebenarnya, Nona Tanpa Marga! Anda tidak ada di festival, tidak ada di rumah, juga tidak di panti asuhan. Saya bertanya untuk terakhir kalinya. Di mana Anda kemarin malam berada?" Luke bertanya sekali lagi.

"Jika saya mengatakan yang sebenarnya pun, kalian tidak akan percaya, bukan?"

Luke menggertakkan giginya pertanda ia telah melampaui segala batas sabarnya. "Jadi, Anda tidak mau bicara? Baik! Kita lihat nanti! Apa yang akan Anda katakan saat interogasi yang lebih mengerikan?" Luke berpaling pada empat orang polisi yang dibawanya serta. "Bawa dia!"

"Baik, Tuan!" Empat polisi itu segera meringkus Claire. Gadis itu tak melawan. Ia menekuk sendiri tangannya ke belakang untuk kemudian diborgol. "Ayo jalan, bajingan!" Polisi itu berseru kasar sembari mendorong Claire, membawanya ke mobil polisi yang terparkir rapi.

Tepat saat mata keduanya saling bertemu, Jennie merasakan suatu perasaan aneh dalam dadanya. Denyut jantungnya serasa melemah, seperti ada rasa tak terima, sedih, dan khawatir yang bercampur aduk jadi satu lantas membara dalam sanubarinya.

"Dia akan baik-baik saja di sana, kan, Tuan Smith?" Jennie bertanya cemas pada Luke.

"Tenang saja, Nona Ford. Aku akan menanganinya." Luke memasang kembali topinya. "Aku pergi dulu," pamitnya lantas melangkah menuju motor besar bertuliskan 'POLISI' di depan ruangan itu.

CCC

Lima gadis itu melangkah lesu di koridor. Hari itu, sekolah benar-benar makin suram.

"Ini udah korban ketiga, lho, guys," ucap Hannah, "Orang ini makin gila!"

"Gue nggak ngerti. Rasanya, semua usaha kita sia-sia. Toh, kita tetep nggak bisa ngehentiin C!" timpal Lynda kecewa.

"Tenang aja, guys! Gue yakin ini yang terakhir. Claire, kan udah ditahan sama kepolisian?" hibur Valerie.

"Tapi ... gue, kok, ngerasa Claire bukan pelakunya, ya?" gumam Jennie terbata-bata.

"Maksud lo?" Valerie mengernyitkan kening. "Bukannya lo sendiri yang dari awal curiga sama dia?"

Jennie menarik napas dalam-dalam, menggeleng. "Gue nggak paham, Val," bisiknya. Ia lantas menatap wajah Valerie. "Gue ngerasa ada yang salah waktu dia dibawa tadi. Ada rasa nggak terima dalam hati gue. Gue nggak tahu."

Hi, C! [Completed]Where stories live. Discover now