08. Terpaksa

760 174 17
                                    

Jeongin berhenti berlari. Napasnya terdengar memburu. Ia kelelahan.

Jeongin melihat siluet suatu benda di ujung ruangan. Perlahan namun pasti, Ia mendekat kepada benda tersebut.

"Kertas?"

Jeongin pun berjongkok untuk mengambil kertas yang terlihat sudah sedikit menguning tersebut.

"Hah?" Jeongin langsung membekap mulutnya sendiri karena Ia merasa suaranya sedikit keras dan takut akan menarik perhatian beberapa orang.

Jeongin menengok ke kiri, kanan, dan belakang untuk mengecek tak ada orang selain dirinya disana. Setelah dirasa tidak ada Ia menghela napas lega.

Jeongin mulai mencoba membaca isi kertas tersebut. Namun hanya ada tiga kata yang berhasil Ia tangkap. "Hwall? Han? Nayeon? Mereka siapa? Apa mereka alumni yang ikut jadi korban insiden di sekolah tiga tahun yang lalu?" Gumam Jeongin sambil menerka-nerka siapakah ketiga orang yang namanya disebut dikertas tersebut.

Jeongin membolak-balikkan kertas tersebut, berharap mendapatkan klu tambahan. Ia cemberut, tak ada tanda-tanda yang lain. Jeongin benar-benar clueless. Ia tak tahu bagaimana cara membacanya.

"Halah, simpen dulu aja lah. Selamatin diri lo dulu sekarang." Jeongin melipat kertas tersebut dan menaruhnya dikantung celananya.

Terdapat tiga jalan, ke kiri, ke kanan dan jalan yang Ia lalui tadi, yaitu yang terletak dibelakangnya.

Mementingkan instingnya, Jeongin memilih jalan yang mengarah ke kanan dan mulai kembali berlari.

Tanpa tahu entah apa atau siapa yang akan menunggunya disana.

###

"Yu, berhenti bentar. Capek anjir."

Hanyu menurut. Ia berhenti berlari dan menghampiri kakak kelasnya yang sudah kehabisan tenaga.

"Lo nggak capek apa?" tanya Chenle padanya.

Hanyu menoleh sebentar lalu kembali menghadap lurus. "Capek? Jelas. Tapi gue masih mau hidup kak. Lebih baik gue mati bunuh diri daripada mati disini dengan konyol," jelas Hanyu.

Chenle mengangguk paham. Jika pun diberi pilihan Ia juga akan memilih hal yang sama dengan apa yang dikatakan Hanyu.

Keduanya terdiam. Tak ada yang memulai kembali percakapan. Antara Hanyu yang terlalu pemalu, juga Chenle yang sedikit gengsi.

Lalu keduanya menangkap satu suara.

Seperti ada yang terjatuh.

Hanyu dan Chenle saling bertukar pandang. Keduanya menerka-nerka apa atau siapa yang terjatuh itu. Ingin mengecek, namun keduanya pun diselimuti rasa takut yang sama.

"Suara apaan tuh kak?" tanya Hanyu.

Chenle menggeleng sambil mengangkat kedua bahunya. "Nggak tau juga gue Yu."

"Mau ngecek nggak?" tawar Hanyu.

"Mau, sih, tapi kalo ternyata jebakan gimana?" ucap Chenle yang memikirkan hal terburuk yang mungkin akan mereka temukan nantinya.

"Tapi kalo ternyata itu orang dan dia butuh bantuan gimana?" sahut Hanyu.

Disituasi seperti ini, baik Hanyu maupun Chenle tidak bisa berpikir dengan jernih lagi. Pikiran keduanya telah diliputi rasa takut dan cemas disaat bersamaan.

"Jadi gimana? Netep disini aja nih?" tanya Hanyu, memastikan.

"Baiknya mending tetep di tempat aja. Kita nggak tahu apa-apa yang nunggu di depan sana."

###

Cari Jo Yuri, bunuh
dia dengan pisau ini.

Minju terduduk lemas saat membaca isi pesan di kartu berwarna hijau tersebut. Kenapa? Kenapa harus Minju? Kenapa harus Yuri? Minju tak sampai hati untuk melakukan hal tersebut terhadap sahabat karibnya sendiri.

Tapi jika Minju tidak melakukannya, nyawanya yang akan dalam bahaya. Minju masih ingin hidup, tapi Ia tak mau membunuh Yuri ditangannya sendiri.

Apa yang harus Minju lakukan?

Minju berdiri dengan badan yang bergemetar, Ia benar-benar takut untuk melakukan apapun saat ini. Bahkan bernapas sekalipun.

Ia menarik napas dalam-dalam sambil memandang pisau yang sudah tumpul itu. Ia menelan salivanya. Tuhan, tolong Minju saat ini. Minju butuh bantuan juga petunjuk.

Dengan ragu-ragu Ia mengambil pisau tersebut. Ia menggenggamnya erat-erat. Kedua matanya terpejam, berpikir lebih lanjut. Ia takut pilihannya malah membawa petaka.

Lalu Ia membuka kedua matanya. Ia mengambil napas pelan lalu berjalan mencari keberadaan Yuri dengan pisau yang masih bertengger ditangannya.

Terlihat keraguan ditiap langkah yang Ia ambil. Pupil matanya bergerak tak menentu, Ia cemas. Tangannya bergetar, Ia ketakutan. Jantungnya berdegup dengan kencang.

Dalam hati Ia terus berkata agar Yuri tidak muncul dihadapannya sekarang. Ia tidak pernah mau membunuh teman masa kecilnya itu.

Sayangnya, takdir berkata lain. Yuri terlihat sedang berlari tanpa melihat ke depan. Alhasil Ia menabrak Minju dan membuat keduanya terhuyung ke belakang.

Minju panik. Apa yang harus Ia lakukan sekarang?

Yuri yang melihat Minju langsung bersiap, mengingat tadi nama Minju disebut. Yuri berpikir, mungkin saja Ia merupakan target Minju.

Dan ya, melihat pisau yang ada digenggaman Minju membuat Yuri yakin seratus persen bahwa apa yang Ia pikirkan memang benar adanya.

"Ju?"

Minju bergeming. Yuri melihat kecemasan pada kedua sorot mata sahabatnya itu. Ia mendekat dan mengguncangkan bahu Minju, membuat Minju tersadar dari lamunannya.

"Kenapa Yur?"

Yuri memiringkan kepalanya. Apanya yang kenapa?

"Kenapa lo harus muncul sekarang? Gu-gue nggak bisa. G-gue takut."

Pisau yang berada digenggaman Minju jatuh dan menjauh bersamaan dengan tubuh Minju yang terduduk lemas sambil kedua tangannya bergerak menutupi wajahnya.

Yuri mendekat dan mengambil pisau yang jatuh dari genggaman Minju itu.

Pisau tumpul itu telah berganti tuan.

Yuri berjalan lebih dekat lagi ke arah Minju yang masih menutupi wajahnya.

Dengan senyuman yang terukir diwajah cantik Yuri.

TBC

[#2] Simon Says • 01-05L [✔]Where stories live. Discover now