12. Peti

690 172 21
                                    

"Kak Ryu--"

Ryujin menutup mulut Haruto dengan tangannya. "Shut, diem. Ikut gue sekarang."

Ryujin melepas tangannya dan langsung menarik tangan Haruto, mengajaknya menaiki tangga menuju lantai empat. Haruto tak ada pilihan lain selain menurut.

Entah mengapa, bulu kuduk Haruto meremang. Ia merasa keadaan semakin terasa mencekam. Tapi Ia memilih diam dan mengikuti langkah kaki Ryujin yang nampak tidak berhenti.

Hingga mereka berdua berada didepan suatu pintu, pintu kayu yang sudah berdebu. Tanpa pikir panjang lagi Ryujin langsung mendorong daun pintu tersebut.

Suara berderit yang dikeluarkan pintu tersebut ketika Ryujin mendorongnya menambah suasana menegangkan yang ada.

Tak peduli dengan debu, Ryujin melangkahkan kakinya untuk memasuki ruangan tersebut. Dan lagi, Haruto hanya bisa mengikuti langkah kakak kelasnya karena mau kembali ke bawah pun, Haruto yakin dibawah sedang ada aksi bacok-bacokan atau aksi apapun yang selaras dengan pembunuhan.

Lebih baik Haruto mengikuti Ryujin daripada nanti malah ikutan dibunuh.

Langkah kaki Ryujin terhenti didepan sebuah peti yang cukup besar.

"Mau ngapain, kak?"

Ryujin membalikkan badan sambil memasang jari telunjuknya didepan bibir, menyuruh Haruto untuk diam. Haruto langsung mengatupkan bibirnya sambil mengangkat jari jempolnya.

klek

Petinya terbuka, entah apa yang telah Ryujin perbuat hingga barang yang terlihat terkunci dengan rapat itu bisa terbuka dengan mudahnya. Padahal Ryujin tidak memiliki kuncinya.

"Lah? Kok bisa kebuka?" tanya Haruto, heran.

Oh tentu saja, Haruto bisik-bisik. Ia tidak mau ditegur hingga kesekian kalinya oleh Ryujin.

"Gue otak-atik aja make ini." Jawab Ryujin sambil memperlihatkan jepitan rambut kecil berwarna hitam. (tau jepit lidi ngga? nah yang itu. kalo ngga tau boleh cari tau di gugel, piw)

Haruto mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mendekat ke arah Ryujin, penasaran akan apa yang ada didalam peti tersebut.

Gelang, sekuntum mawar, buku diari, sebuah foto, dua batang kayu, dan masih banyak lagi barang yang disimpan didalam peti tua tersebut.

Apa? Apa yang telah disembunyikan oleh bangunan ini? Oleh peti ini?

Tangan Ryujin menjulur untuk mengambil album foto yang terletak paling atas, namun Haruto menghentikan pergerakannya.

"Hati-hati kak, ada serpihan kaca kecil."

Ryujin mengangguk. Dengan perlahan dan penuh ketelitian Ia berhasil mengambil album tersebut dari dalam peti.

Album foto berwarna biru yang sudah usang. Ryujin meniup debu-debu diatasnya. "Anying kelilipan," umpat Ryujin. "Buka nih Har. Mata gue nggak bisa ngeliat," sambungnya seraya menyerahkan album foto tersebut.

Haruto mengambilnya dari genggaman Ryujin. Ia membuka halaman pertama. Park.

Haruto menyelam lebih dalam lagi. Hingga pada sebuah foto keluarga, dimana terdapat seorang ayah, dan empat anaknya disana. Tanpa seorang ibu.

Juga tertera nama disana.

Park Jinyoung.

Park Jinyoung lagi.

Park Jihyo.

Park Minhyuk.

Park Xiyeon.

Tunggu, rasa-rasanya Haruto tidak asing dengan nama-nama itu. Tapi dimana Haruto pernah melihatnya?

"Kenapa Har?" tanya Ryujin, sepertinya Ia sudah menyelesaikan acara 'menyelamatkan diri dari debu-debu yang menerobos kedua matanya' itu.

Haruto menoleh lalu menunjukkan sebuah foto keluarga. "Eh, kayaknya didalem peti tadi ada foto keluarga juga deh," ucap Ryujin, lalu kembali menuju peti tadi.

Ryujin menemukan apa yang Ia cari. Sebuah foto keluarga dengan orang yang sama. Bedanya yang ditangan Ryujin hanya empat orang tanpa orang tua yang menemani. Dibaliknya terdapat nama yang sama disana.

"Tapi ayah sama ibunya kemana, ya? Meninggal? Kabur?" terka Haruto mengingat tak ada sosok ibu di kedua foto tersebut dan tak ada sosok ayah difoto yang satunya.

Ryujin mengangkat kedua bahunya sebagai jawaban. "Nggak tau juga. Lagian itu privasi, kan. Tapi gue kenal sama yang namanya Xiyeon ini. Dia kakak kelas gue waktu SMP. Dia ikut jadi korban dalam peristiwa SMA 2 tiga ta--" Ucapan Ryujin terhenti begitu Ia mengingat sesuatu.

Haruto memandang seniornya penasaran. Mengapa perkataannya terhenti begitu saja?

"Ada apa?"

Ryujin menggeleng. Ia kembali menaruh foto tersebut ke dalam peti.

Tangannya kembali terulur untuk mengacak isi peti tersebut. Tapi dengan cekatan Ia kembali mengangkat tangannya sambil mengaduh kesakitan. Jari telunjuknya mengeluarkan darah, seperti habis terkena benda tajam.

Haruto segera menaruh album foto itu dan bergerak mendekat ke arah Ryujin. "Gue punya plester kak. Bentar," Haruto merogoh sakunya untuk mencari plester itu.

Segera setelah mendapatkannya Haruto segera menarik tangan Ryujin dan memasangkan plester pada jari telunjuk Ryujin.

"Thanks."

Haruto mengangguk. Kemudian perhatiannya tertuju pada peti penuh misteri itu. Kepalanya melongo ke dalam, mencari tahu apa yang telah membuat seniornya terluka.

Setelah mendapatkannya, Ia mengambilnya.

Ada bekas darah baru dan darah yang sudah mengering.

Haruto mengasumsikan jika darah baru itu merupakan darah milik Ryujin.

"Gue kira barang tajamnya cuma serpihan kaca doang, kaget gila pas ngerasa nyentuh benda tajam gitu. Perasaan gue, gue udah hati-hati biar ngga kena serpihan kaca." Aku Ryujin.

Ryujin bangkit dan mengambil sebilah pisau itu dan mulai mengamatinya. Ia membolak-balikkan benda tajam itu. "Apa kasus tiga tahun yang lalu dilandasi atas dendam kematian ya?" pikir Ryujin.

"Bisa jadi. Mungkin aja salah satu keluarga pelaku atau pelakunya sendiri terluka entah fisik atau mental, dan pelaku membalaskan dendam tersebut ke orang tersebut, ke teman atau keluarganya, atau ke orang yang nggak tahu apa-apa," sahut Haruto.

Tap, tap

Tubuh mereka membeku begitu mendengar langkah kaki mendekat ke ruangan itu. Baik Haruto maupun Ryujin segera mencari dimana spot sembunyi paling aman di ruangan tersebut.

"Har!" cicit Ryujin.

Beruntung, Haruto mendengarnya. Ia menoleh dan mendapati Ryujin berdiri di depan sebuah pintu kecil yang tertutup oleh lemari tua yang besar. Haruto segera berjalan mendekat.

Ryujin menunduk dan membuka pintu tersebut. "Lo masuk duluan," ucap Ryujin.

Haruto menggeleng. "Cewek duluan."

Ryujin mengangkat bahunya dan masuk lebih dulu. Karena pintu yang kecil itu membuat mereka harus merangkak.

Kenop pintu nampak bergerak ke bawah. Orang itu akan segera masuk.

Klek.

"Sumpah ya, gue nggak main-main kali ini. Jeongin bakal jadi korban gue yang selanjutnya."

"Terserah. Tapi gue nggak ikut-ikutan. Gue cuma melakukan yang Lo suruh. Gue nggak tanggungjawab ya kalo nyampe ketangkep polisi."

"Iya iya. Oh ya Min, pintu kecil itu ditutup aja. Udah nggak guna lagian."

###
TBC


Aku buat work baru, 99L, genrenya
kayak gini juga. Mungkin ada yang
tertarik untuk membacanya? Boleh
langsung cek profilku yya!

12 Agustus 2020

[#2] Simon Says • 01-05L [✔]Where stories live. Discover now