tentang percaya

37 3 0
                                    

Hari itu berlalu begitu saja bagi Nana. Setelah keanehan mimpinya, yang syukurnya keduanya adalah hasil ke-halu-an Nana, Nana tak ingin banyak bertingkah aneh-aneh sepanjang hari ini. Ia ingin menikmati ketenangan hidupnya setelah menyelesaikan seluruh tugasnya dengan kerja rodi kemarin, sebelum harus dipaksa menghadapi realita bahwa ujian akhir semester semakin mendekat. Kakaknya pun tampaknya sudah lelah setelah bekerja seharian di kantor, ditambah dengan kenyataan bahwa ini hari Senin. Segala sesuatunya memang terasa lebih melelahkan di hari Senin, 'kan?

Setelah selesai makan malam dan mencuci peralatan makannya bekas dirinya dan kakaknya, Nana langsung menuju ke kamarnya. Tadinya ia ingin menonton, tetapi itu mengharuskan Nana duduk di meja. Padahal, Nana ingin berbaring di tempat tidur, tempat paling nyaman di seantero jagad raya bagi Nana. Ia tak ingin laptopnya rusak karena keteledorannya lagi. Cukup sekali laptop Nana rusak karena terlalu sering dipakai di atas tempat tidur, hingga laptop lamanya itu menjadi mudah panas. Nana juga sedang tak ingin mengunjungi Instagram, Twitter, ataupun LINE. Membosankan.

Setelah beberapa lama menelusuri aplikasi di ponselnya, gadis itu akhirnya memutuskan untuk memutar lagu saja, hobinya yang sudah cukup lama Nana tinggalkan. Setelah memasang earphone dan mengklik aplikasi streaming lagu yang biasa digunakannya, Nana mengklik asal playlist yang terpampang di layarnya. Gadis itu kemudian memperbaiki posisinya seraya memejamkan matanya.

How long have you been smiling?
It seems like it's been too long
Some days I don't feel like trying
So what the fuck are you on?

Entah Nana ingin menghujat atau mengagumi aplikasi streaming musiknya ini untuk lagu yang diputarnya. Seakan memahami bahwa Nana sedang bingung akan memikirkan apa, playlist random yang dipilihnya malah memutar lagu ini, lagu yang pasti memberikan sesuatu untuk Nana pikirkan. Seakan memahami bahwa Nana sedang ingin menikmati hari ini dengan tenang tanpa terburu-buru, beat lagu ini pun tidak terlalu cepat dan tidak terlalu ajeb-ajeb.

Yah, meskipun sesuatu yang kini ada di pikiran Nana bukan sesuatu yang disukainya, setidaknya lagu ini cukup cocok dengan mood-nya hari ini.

I think too much, we drink too much
Falling in love like it's just nothing
I want to know where do we go
When nothing's wrong

Nana menyunggingkan senyum tipis di wajahnya ketika mendengar bait kedua lagu itu. Tangannya kemudian memencet tombol repeat di ponselnya seiring dengan suatu memori yang Nana simpan jauh di dalam memorinya.

Ya, apa rasanya jika segala sesuatu dalam hidupnya berjalan dengan benar-benar lancar? Nana sering merasa segala sesuatunya sudah terletak pada tempatnya dulu. Ia dan sekolahnya. Ia dan pilihannya untuk masuk jurusan IPA di SMA. Ia dan teman-teman barunya di SMA. Ia dan... Cika. Namun perasaan itu, perasaan ketika Nana merasa segala sesuatunya tepat, hanya berlaku dulu. Entah kapan terakhir Nana bisa merasa setenang, senyaman, dan seaman itu. Yang jelas, perasaan itu sirna ketika Cika, teman sekaligus sahabat terbaiknya, sahabat yang Nana kira tidak akan pernah meninggalkannya, ternyata tidak menganggap Nana seberharga itu.

•  •  •  •  •

Tok tok tok!

"CIKAAA!"

Sudah beberapa menit Nana menunggu pintu rumah yang terletak di seberang rumahnya itu terbuka. Kalau tidak salah, ini juga sudah ketiga kalinya Nana memanggil sang pemilik rumah. Tepatnya, anak dari sang pemilik rumah.

"CIK--"

"TUNGGU BENTAR NAPA SIH?!"

Setelah terdengar teriakan dari dalam rumah, Nana hanya memamerkan cengirannya tanpa mengeluarkan teriakan-teriakan lagi. Tak lama kemudian, pintu rumah di hadapannya itu terbuka, menampilkan seorang gadis sebaya berwajah cemberut.

"Nggak sabaran amat sih lo!"

"Hehehe," cengir Nana. "Lagian lama banget lo bukain pintunya! 'Kan gue ngeri kalo lo diculik genderuwo!"

"Genderuwo, genderuwo! Lo tuh yang nyulik gue, dasar mak lampir! Udah gue bilang, lo ganti baju tuh udah kayak kilat, jadi lo yang kecepetan datengnya!" gerutu gadis pemilik rumah itu seraya menyingkir dari pintu untuk membuka jalan masuk bagi Nana.

Tak perlu diminta masuk, Nana sudah mengekor gadis yang ia panggil Cika tadi ke dalam rumah. Begitu ia masuk, langsung terlihat TV besar yang ditempel di dinding sebelah kiri. Di sisi seberang TV itu, terdapat sofa empuk, lengkap dengan meja yang di atasnya terdapat camilan untuk menonton. Lagi-lagi, tanpa diminta, Nana langsung menjatuhkan dirinya ke atas sofa itu, bahkan sampai menimbulkan sedikit bunyi berdebum.

"Rusakin aja sofa gue Na, rusakin," tukas Cika seraya melemparkan ponselnya ke sofa itu. "Mau minum apa, Nyonya?"

"Biasa, Mbak! Sprite!"

"Tamu nggak tau diri," gerutu Cika, tapi tetap mengambilkan minum untuk sahabatnya itu.

Nana sedang membuka toples camilan di hadapannya seraya menunggu Cika kembali ketika layar ponsel sahabatnya itu menyala.

"Cik--"

Tadinya Nana hendak memanggil sahabatnya itu untuk memberitahu bahwa ada panggilan masuk. Namun... begitu Nana melihat siapa yang menelpon sang empunya ponsel, Nana langsung mengurungkan niatnya. Tepatnya... Nana merasa tenaganya tersedot habis hingga tak tersisa sedikit pun untuk mengeluarkan suara.

•  •  •  •  •

'Cause all the kids are depressed
Nothing ever makes sense
I'm not feeling alright
Staying up 'til sunrise

Bahkan setelah dua tahun, Nana masih ingat gambaran layar ponsel yang ia lihat saat itu. Sebuah panggilan grup berisi empat orang. Cika, juga tiga orang teman mainnya yang lain selama masa SMA. Teman-temannya yang mengisi masa putih abu-abunya selama hampir tiga tahun, juga Cika, yang bahkan menemani Nana sejak ia duduk di bangku kelas 2 SMP.

And hoping shit is okay
Pretending we know things
I don't know what happened
My natural reaction is that we're scared
So I guess we're scared

Sama seperti bagaimana Nana ingat betul gambaran layar ponsel itu, patah yang ia rasakan dalam dirinya pun tak berubah sedikit pun. Tak banyak pertanyaan yang ada di kepala Nana, baik dulu maupun sekarang. Hanya ada satu pertanyaan yang berkelebat di benak Nana.

Kenapa?

Satu kata. Hanya satu kata. Namun sayangnya rasa kecewanya terlalu besar, hingga Nana tak mampu untuk mengatakan bahkan satu kata pun pada empat orang yang mengkhianati rasa percayanya itu.

Sebesar rasa kecewanya itu, sebesar itu pula luka yang ditorehkan teman-teman masa SMA-nya itu di diri Nana. Sebesar itu, hingga Nana tak mampu lagi 'berteman' dengan orang-orang di sekelilingnya. Ya, mungkin Nana bisa tertawa. Mengobrol. Bermain. Hang out bersama. Akan tetapi, tak akan semudah itu lagi bagi Nana untuk membuka dirinya. Untuk membiarkan orang-orang memasuki dunianya dengan mudah. Untuk memberikan rasa percayanya ke siapapun. Karena bahkan, sosok yang ia percayai selama hampir empat tahun masih mampu menyia-nyiakan rasa percaya itu.

•  •  •  •  •




<!-- tema hari ini -->

Buatlah song fiction

<!-- cuap-cuap penulis -->

Sejujurnya aku nggak tau harus berharap ada yang baca atau nggak, HAHAH. So I guess... que sera sera~

Btw suka banget sama lagu ini dan lagu-lagu lain dari Jeremy Zucker! Ada yang seleranya sama juga kayak aku? 😏

RejuvenateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang