4

760 66 0
                                    

Happy reading!

Author POV

Jam telah menunjukkan pukul 06.00, tetapi gadis pemilik kamar serba ungu ini masih berada di atas ranjang. Bahkan bed cover masih menyelimutinya sebatas leher.

Tak berselang lama, suara derap kaki terdengar mendekat. Pintu kamar terbuka, memperlihatkan sosok wanita paruh baya dengan wajah mirip Viola, gadis yang masih bergelung di ranjang.

Wanita paruh baya itu mendekat ke arah ranjang. Dengan sayang wanita yang kerap disapa 'mama' oleh Viola itu mengusap-usap rambut Viola.

"Vio, bangun sayang," ucap Mama Dita, mama Viola.

Tak perlu menunggu lama kelopak mata Viola bergerak-gerak, pertanda sang empu akan segera membuka matanya.

"Vio, kamu sekolah nggak?" ucap Mama Dita. Tangannya masih mengusap-usap surai Viola.

Kelopak mata Viola terbuka, gadis itu tengah menyesuaikan cahaya yang masuk dengan mengerjapkan matanya berkali-kali.

"Mama," ucap Viola serak.

"Gimana sama keadaan kamu, Sayang?"

"Kepala Viola masih pusing, Ma," ucap Viola. Setelah insiden kora-kora di malam Minggu, Viola demam. Tidak hanya itu, penyakit vertigonya juga kambuh.

"Kamu nggak sekolah lagi?" tanya Mama Dita.

"Iya, Ma. Tubuh Vio belum sehat, kepala juga masih pusing," ucap Viola.

"Ya udah, kamu tidur lagi. Nanti mama bangunin buat sarapan sama minum obat," ucap Mama Dita dengan sayang.

Viola hanya mengangguk. Detik berikutnya matanya telah kembali terpejam.

*****

Kesadaran Viola kembali saat merasakan tubuhnya diguncang oleh seseorang. Dengan malas ia membuka mata, untuk melihat siapa orang yang mengganggu tidurnya. 

"Bang Ervan?" ucap Viola terkejut. Pasalnya orang yang ada di hadapannya adalah kakak tertuanya. Dan ia sudah tidak tinggal lagi bersamanya, karena laki-laki itu sudah menikah.

"Tadi malem mama nelpon kakak. Katanya kamu sakit," ucap Ervan. Selanjutnya laki-laki berumur dua puluh tujuh tahun itu duduk di ranjang Viola.

"Vertigo aku kumat, Bang," adu Viola dengan nada sedikit manja.

"Kok bisa sih?" tanya Ervan keheranan. Pasalnya Viola bisa dikatakan sangat jarang sakit.

"Pas malam Minggu aku sama Arsen ke pasar malam. Kami naik kora-kora, habis itu malah kepala Vio pusing. Ditambah pulang dari sana kehujanan," ucap Viola.

Ervan tersenyum kecil, Viola tidak pernah berubah. Viola tetaplah gadis manja. Apalagi jika bersamanya.

"Jangan main handphone dulu biar nggak tambah pusing. Istirahat yang cukup, kalau kamu sembuh kakak bakalan kasih hadiah buat kamu," ucap Ervan.

Mata Viola seketika berbinar mendengar kata 'hadiah' dari kakaknya. "Beneran, Bang?"

"Apa abang pernah bohong sama kamu?" Viola menggeleng.

"Kamu jangan tidur dulu, bentar lagi mama ke sini bawa sarapan sama obat. Abang ke kantor dulu," ucap Ervan. Tak lupa ia mengacak rambut Viola yang lepek.

Setelahnya Ervan berjalan menuju pintu kamar Viola, lalu menghilang di balik pintu.

*****

Lagi-lagi Viola terusik dalam tidurnya kala merasakan guncangan di tubuhnya. Dengan malas ia membuka mata. Seketika kerutan muncul di dahi Viola.

"Arsen?"

"Gimana keadaan lo, Vi?" tanya Arsen.

"Masih pusing sih, tapi lebih mending daripada kemarin," ucap Viola.

"Sorry, Vi. Gue ngerasa bersalah banget sama lo," ucap Arsen.

"Kenapa minta maaf coba? Lagian lo nggak salah sama sekali kok," ucap Viola.

"Tapi kan gue yang ajak lo naik kora-kora," ucap Arsen.

"Udah nggak papa ... lo udah pulang dari sekolah?"

"Ya udah lah. Ini aja udah jam empat lebih," ucap Arsen. Seketika mata Viola membola, jika saat ini pukul empat sore, itu berarti ia sudah tertidur cukup lama.

"Ternyata gue tidur lama banget," ucap Viola.

"Efek obat," ujar Arsen.

"Sen, bantu gue duduk dong," ucap Viola.

Tanpa basa-basi Arsen membantu Viola duduk. Hal itu bukan hal yang sulit, mengingat Viola memiliki tubuh yang mungil.

Arsen menatap Viola intens selama satu menit. "Lo sakit beda banget, Vi."

"Beda?"

"Bibir lo yang biasanya pink jadi pucet banget, rambut lo yang biasanya rapi udah kayak sapu ijuk, awut-awutan," ucap Arsen.

"Namanya juga sakit, nggak kuat buat dandan," ucap Viola.

"Iya-iya gue maklumin kok. Oh iya, tugas-tugas hari ini udah gue pap. Semuanya udah gue kirim lewat WA," ucap Arsen.

"Arsen baik banget sih, jadi makin sayang," ucap Viola.

"Lo sayang sama gue?"

Seketika Viola tergegap. Pertanyaan Arsen membuat Viola seketika membisu.

"Ah gue lupa. Kita kan udah kayak kakak adik, makanya lo sayang sama gue," ucap Arsen. Cowok itu mencubit pipi Viola gemas.

'Tahan Vi, lo udah terbiasa sakit' batin Viola.

"Awh, sakit Sen," ucap Viola. Matanya mulai berkaca-kaca, mungkin saja sebentar lagi kristal bening akan turun dari sudut mata gadis itu. Sebenarnya bukan karena cubitan itu, melainkan ucapan Arsen.

"Cengeng banget sih, gitu aja masa nangis," ucap Arsen. Ia mengganti cubitannya dengan usapan halus di pipi Viola.

"Udah gue obatin, pasti sebentar lagi sembuh," ucap Arsen seraya melepaskan tangannya dari pipi Viola.

"Senyum dong, kalau lo emosian nggak bakal sembuh," ucap Arsen.

"Bodo amat," balas Viona. Matanya menatap sinis ke arah Arsen.

"Kayaknya kedatangan gue udah nggak ada gunanya. Gue pulang dulu, cepet sembuh," ucap Arsen. Tak lupa ia mengacak rambut Viola. Viola hanya diam, bibirnya kelu untuk membalas ucapan Arsen.

"Oh iya gue tadi beliin somay kesukaan lo. Tadi gue kasih ke Tante Dita, kayaknya mau dipanasin," ucap Arsen. Detik berikutnya cowok itu menghilang bersamaan dengan suara pintu tertutup.

Yang saat ini bisa Viola lakukan hanyalah memegang dadanya, tepatnya di jantung miliknya. Rasanya begitu berdebar, apakah yang ia rasakan adalah benar? Jatuh cinta pada Arsen, sahabatnya dari TK.

________________________________________

Uhuy update lagi. Ntah kenapa nulis cerita ini ringan banget, idenya ngalir terus. Mungkin karena deadlinenya cepet. Kayaknya aku harus lebih sering ikut event, biar aku rajin update😂

Purwodadi, 16 Juli 2020

PLEASE BE MINE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang