6

737 59 0
                                    

Jangan lupa vote ya!

Author POV

Sudah dua hari setelah kejadian Viola terusir dari bangkunya. Rasa kesal masih menyergapnya, apalagi guru yang mengajar di kelasnya dua hari ini memperlakukan Viola sama. Maksudnya menyuruh Viola berpindah tempat saat ia kembali duduk di sebelah Arsen.

Sebenarnya ia cukup heran dengan guru yang mengajar di kelasnya, mengapa mereka bersikap demikian? Padahal Viola tak pernah melakukan kesalahan apapun sebelumnya.

"Loh kenapa bakso gue tinggal tiga?" beo Viola. Seingatnya ia belum memakan baksonya sama sekali. Karena satu porsi berisi lima buah bakso, dan kini hanya tersisa tiga buah.

"Salah siapa dianggurin, ilang kan," ucap Arsen.

Seketika Viola menatap Arsen curiga, pasti Arsen-lah sang pelaku pencurian baksonya. "Lo yang makan bakso gue, kan?"

"Gue cuma makan bakso nganggur di depan gue. Daripada nggak dimakan, mendingan gue yang makan," ucap Arsen santai, seperti ia tak melakukan apa-apa.

"Pokoknya ganti bakso gue," ucap Viola garang.

"Nggak mau," balas Arsen.

Mendengar ucapan Arsen membuat emosi Viola sedikit terpancing, ia bangkit dari duduknya. Tujuannya adalah menganiaya pelaku pencurian baksonya.

Arsen menutup wajahnya saat melihat Viola tengah siap untuk mencubitnya. "Ampun, Vi. Nanti gue ganti baksonya sepulang sekolah."

"Beneran? Nggak bohong 'kan?" ucap Viona.

"Nggak. Gue ini manusia baik yang nggak pernah bohong," ucap Arsen.

"Terus siapa yang ngaku ke Tante Vera kalau main sama gue. Padahal main ke club," ucap Viona.

"Kalau yang itu khilaf," balas Arsen.

"Ales--"

"Gue boleh ikut gabung nggak?"

Viola dan Arsen kompak menoleh. Terlihat Khaila berdiri tak jauh dari meja mereka. Gadis itu membawa baki berisi mangkuk dan sebotol air mineral.

"Lo mau gabung? Gabung aja nggak papa kok."

Viola langsung mengalihkan tatapannya ke arah Arsen. Mengapa Arsen membiarkan Khaila bergabung dengan mereka? Padahal meja yang kosong masih lumayan banyak.

"Makasih. Sorry kalau gue ganggu kalian, saat ini yang udah akrab sama gue cuma kalian," ucap Khaila.

"Nggak kok, lo nggak ganggu sama sekali," ucap Viola. Ia mencoba membuang kekesalannya pada Khaila, mungkin saja nantinya mereka jadi sahabat.

Khaila tersenyum saat mendengar jawaban Viola. Dengan cepat ia duduk di bangku dekat Arsen. Jadi posisi mereka adalah Arsen berhadapan dengan Viola, di sebelah kanan Arsen ada Khaila.

"Lo pindahan dari mana, La?" ucap Viola membuka obrolan.

"Gue dari Bandung," ucap Khaila.

"Kenapa pindah ke Jakarta?" tanya Viola. Entah mengapa jiwa keponya tiba-tiba datang.

"Cuma pengen cari suasana baru," balas Khaila. Viola hanya mengangguk paham.

"Emm, kalian pacaran?" Ucapan Khaila membuat kerja jantung Viola semakin cepat. Mengapa Khaila harus menanyakan tentang hubungannya dengan Arsen? Rasanya ia ingin hilang dari sini daripada mendengar jawaban Arsen yang membuat dadanya sesak.

"Kenapa sih banyak yang tanya kayak gitu? Gue sama Viola itu murni sahabatan. Kami udah kenal dari TK, dan berlanjut sampai sekarang."

Tebakan Viola tidak meleset sama sekali. Andai saja Arsen tahu, apakah ia akan menjawab dengan jawaban yang sama?

"Ya karena jarang banget ada cowok cewek sahabatan tanpa pakai perasaan," balas Khaila.

"Buktinya gue sama Viola nggak tuh. Ya kan, Vi?" ucap Arsen.

Viola menghirup napas, menguatkan hatinya. "Iya."

"Di kelas kita ada anak OSIS nggak?" ucap Khaila.

"Ada," balas Arsen.

"Siapa?" tanya Khaila.

"Gue. Emang kenapa?" ucap Arsen.

"Di sekolah gue sebelumnya, gue jadi OSIS bagian inti. Tepatnya sih jadi sekre," jelas Khaila.

Viola hanya bisa menahan kekesalan dengan menambahkan sambal dengan banyak ke dalam mangkuknya. Bagaimana bisa mereka asik mengobrol tanpa mengajaknya bicara.

"Jadi?" tanya Arsen.

"Gue pengen daftar jadi anggota OSIS," ucap Khaila.

Viola membulatkan matanya mendengar ucapan Khaila. Entah mengapa ia tak senang jika Khaila bergabung dengan OSIS. Instingnya mengatakan bahwa Khaila punya modus terhadap Arsen.

Dengan perasaan kesal Viola memakan baksonya dengan brutal. Ia menghentikan kunyahannya saat merasakan mulutnya seperti terbakar.

Dengan menahan pedas Viola mengunyah bakso itu. Ia tak mungkin mengeluarkan bakso yang ada di mulutnya, yang ada nama baik yang selama ini ia jaga harus tercoreng. Hanya karena memuntahkan bakso yang telah ia kunyah.

"Loh Viola, kenapa lo nangis?" tanya Khaila keheranan.

"Lo kenapa Vi? Sakit? Muka lo merah banget," ucap Arsen. Raut khawatir tercetak jelas di wajah cowok itu.

"Hah! Hah! Pedes Sen!" ucap Viola. Wajah Viola memerah, keringat juga mengucur deras dari dahinya.

Tanpa mengucap apapun, Viola menyambar es teh milik Arsen, menyeruputnya hingga tandas.

"Ck! Udah tahu kalau sambelnya pedes, masih aja dikasih banyak. Rasain lo, kepedesan 'kan," ucap Arsen.

"Hah! Arsen jahat! Hah! Pedes tau," ucap Viola. Ia memang menyukai makanan dengan cita rasa pedas. Tapi untuk kali ini terlalu parah.

"Sukurin, sok banget makan pakai sambal banyak," ucap Arsen.

"Nih minum air gue aja," ucap Khaila seraya menyodorkan sebotol air mineral kepada Viola.

"Makasih," ucap Viola. Dengan cepat ia menyeruput habis air mineral milik Khaila.

"Masih pedes? Gue beliin es lagi mau nggak?" tawar Arsen.

"Nggak usah. Kayaknya ... giliran perut gue yang bermasalah," ucap Viola. Wajahnya kembali merah padam.

"Gue ke belakang dulu," ucap Viola seraya bangkit dari duduknya. Dengan cepat ia berlari menuju kamar mandi. Meninggalkan bakso dengan kuah merah yang hanya tersisa dua buah.

________________________________________

Yeay update. Sebenernya jadwal update dua hari yang lalu, tapi karena tugas aku cukup banyak, makanya aku tunda dulu. Semoga kedepannya bisa bagi waktu, biar nggak keteteran.

Purwodadi, 23 Juli 2020

PLEASE BE MINE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang