35. Pamit

900 63 6
                                    

Chika menangis tersedu-sedu di samping brankar Chiko. Sudah satu minggu yang lalu dia seperti ini. Mendengar kenyataan yang sangat pahit keluar dari mulut mamanya. Hatinya seakan diremas-remas. Dadanya sesak luar biasa melihat keadaan Chiko yang mengenaskan. Jantungnya terasa dicabut dari dalam tubuhnya. Tapi dia masih hidup!

Bahunya dan lengannya di perban. Begitu juga dengan perutnya yang tertutupi oleh pakaian rumah sakitnya.

"Chiko... aku kangen sama kamu. Bangun ya. Bukannya kamu bilang kan, kalo kamu pengen punya baby?" ujar Chika sambil menangis.

Chiko menggenggam sebelah tangan Chiko. Mencium punggung tangannya. "Bangun Chik. Atau aku bakal marah sama kamu," ujar Chiko dengan air mata yang deras mengalir. "Chiko!!! Bangun!!!" teriak Chika lagi.

Mereka semua hanya melihat dari celah pintu yang sedikit terbuka. Mereka sangat sedih melihat keadaan Chika yang seperti itu. Selalu menangis tiada henti.

Bunga masuk ke dalam dan mengelus punggung putrinya. "Sayang... udah ya, kamu harus istirahat. Kamu ingat kan apa yang dokter bilang?"

"Aku gak mau Ma! Aku mau nemenin Chiko! Sampe dia sadar!!!" teriak Chika masih menatap Chiko yang terbaring lemah dengan mata terpejam.

"Kamu harus pikirin bayi kamu, Chika! Jangan egois! Kita semua akan jagain Chiko! Kalo kamu gak pikirin diri kamu, setidaknya pikirin anak kamu sama Chiko!" tegas Bunga yang membuat Chika tersentak.

Benar juga kata mamanya. Bayinya harus dia jaga. Chika menoleh ke samping. "Maaf Ma. Iya, aku istirahat habis ini. Maaf aku egois," lirih Chika sambil menunduk.

"Maafin Mama karena bentak kamu. Mama cuma nggak mau kamu sama bayi kamu kenapa-napa. Karena kandungan kamu masih rentan, sayang," ujar Bunga.

"Iya Ma. Ya udah ayo. Anter aku ya Ma," pinta Chika, Bunga hanya mengangguk.

Chika mencium kedua pipi Chiko sekilas. Kemudian keluar dari kamar rawat Chiko bersama mamanya.

***

Ceklek....

Chika menoleh saat mendengar pintu dibuka.  Ternyata kedua orang tuanya. Mereka tersenyum hangat dan mendekati Chika yang terbaring di ranjang.

"Kamu sudah boleh pulang hari ini. Tapi kamu harus tetap jaga kesehatan kamu. Deon sama Maya yang akan menemani kamu kemanapun kamu pergi," ujar Bunga sambil mengelus rambut Chika.

Chika mengangguk. "Iya Ma."

"Sayang," panggil Bayu sambil mengelus rambut Chika. "Kamu harus jaga diri kamu dan anak-anak kamu ya. Jangan sampai kenapa-napa," ujar Bayu.

"Iya."

"Kamu tau nggak, Mama kamu dulu hamil Kakak kamu itu ya se-umur kamu ini. Kita dulu nikah mudah, tapi bukan dijodohkan," ujar Bayu membuat Chika membelalak.

"Kenapa bisa nikah muda?" tanya Chika. "Berarti masih SMA dong?"

"Iya. Kita nikah kelas XII waktu itu. Kita minta di nikahin sama nenek-kakek kamu. Awalnya mereka kaget, terus Papa ngancam akan ngelakuin hal aneh-aneh. Yah, daripada mereka malah ngira kalo Papa sama Mama ngelakuin hal yang nggak bener. Kita di nikahin deh," jelas Bayu sambil terkekeh.

Chika melotot tidak percaya. "Astaga! Emang cinta banget apa ngebet banget Pa pengen punya anak?" ejek Chika sambil terkekeh. Dia mulai sedikit terhibur dengan cerita papanya itu.

"Dua-duanya," balas Bayu dan Bunga serempak. Kemudian mereka tertawa.

"Ehm... Pa," panggil Chika.

"Apa?"

"Mela gimana? Di penjara kan dia?" tanya Chika.

"Oh tentu saja. Dan juga akibat tembakan di kakinya itu, dia gak bisa jalan normal. Dan sekarang dia gabung sama Intan di penjara," jawab Bayu.

"Bagus deh. Mati aja sekalian dia di penjara," gerutu Chika kesal. Sungguh dia sangat benci dengan Intan dan Mela karena mereka penyebab kehancurannya saat ini.

Intan yang menghancurkan hubungan l nya dengan Leo dan juga pembunuh kedua sahabatnya. Mela yang membuat Chiko yang sampai saat ini masih koma tanpa tahu kapan akan sadar.

"Mama sama Papa pergi sebentar ya, gak papa kan?" tanya Bunga.

"Gak papa Ma. Aku juga mau istirahat. Habis itu mau ke kamar Chiko," ujar Chika.

"Kamu baik-baik ya," pesan Bayu dan diangguki oleh Chika.

Lima menit setelah mereka keluar, ada seseorang yang mengetuk pintu kamar. Chika mengernyit. Siapa yang datang? Jika sahabatnya, sudah pasti akan langsung masuk kan?

"Masuk," suruhnya, ragu.

Pintu terbuka, dan betapa terkejutnya Chika saat yang datang adalah Leo! Matanya menatap tajam Leo. "Ngapain lo?! Pergi!!!" teriaknya.

"Please, Chik. Aku cuma mau lihat keadaan kamu. Kamu hamil kan?" Leo tersenyum miris saat Chika hanya diam. Dia tahu Chika hamil saat tidak sengaja mendengar dari Samuel dan sahabatnya. Dan saat mereka pulang, Leo memberanikan diri untuk menjenguk Chika.

Leo tahu Chika dan Chiko berada di rumah sakit saat dia juga ada di rumah sakit yang sama waktu itu. Ya, saat dia mengantar mamanya ke dokter.

"Pergi lo!" usir Chika lagi.

"Oke Chik. Oke. Aku bakal pergi kok setelah ini. Aku kesini mau minta maaf, walaupun kamu gak bakal mau maafin aku. Its ok, aku ngerti. Aku bener-bener minta maaf sama kamu." Leo tersenyum, pedih.

"Oh ya, selamat atas kehamilan kamu. Aku juga pamit sama kamu," ujar Leo membuat Chika mendongak menatapnya. "Aku mau lanjut kuliah di Amerika. Besok aku berangkat. Cuma satu yang aku harapkan dari kau Chika," jeda sejenak.

"Aku mau kamu maafin aku. Tapi kalo kamu gak mau maafin gak papa," lanjutnya.

Chika masih diam saja.

"Aku pergi ya. Jaga diri baik-baik," pesan Leo sambil berbalik badan dan melangkah menuju pintu. Sebelum dia memegang knp pintu, Chika menghentikannya.

"Leo." Leo hanya menunggu tanpa berbalik badan.

"Gue udah maafin lo. Lo hati-hati dan jaga diri lo disana. Semoga lo berhasil wujudin mimpi lo," ujar Chika pelan.

"Makasih Chika. Makasih kamu udah mau maafin aku," ujar Leo lalu keluar dati kamar rawat Chika dengan menunduk.

Saatnya melupakan kamu, Chika, batin Leo lemah.

Chika dan Chiko Where stories live. Discover now