Tetap hidup.

112 16 2
                                    

[]
Seperti yang dikatakan Yoongi sebelum ia meninggalkan kota, malam ini Taehyung bekerja keras sama dengan hari-hari biasanya. Jimin merebahkan kepalanya, kedua kelopak mata hampir terpejam tidak sanggup untuk menunggu Taehyung pulang. Ia menyalahkan les dadakan yang membutuhkan lebih banyak kinerja otaknya sehingga energinya terkuras tanpa sisa.

Kesadarannya hampir hilang terbawa mimpi kalau saja ia tidak mendengar suara pintu terbuka setelah terdengar rincikan logam kunci yang saling bergesekan. Daun pintu terbuat dari kayu itu terdorong keras menimbulkan bunyi bising dimalam hari, Jimin di segala keresahaannya, terselip rasa khawatir akan bisikan para tetangga yang sering membicarakan keluarga mereka. Jimin tahu ayahnya kembali dalam keadaan mabuk, seperti biasa. Jika hari-harinya yang berlalu ia habiskan bersama dengan hati sabar akan perlakuan sang ayah, kini amarahnya memuncak sebab sesuatu yang paling ia sayangi terusik.

Tepat malam hari kemarin, kejadian yang membekas di kepalanya seperti luka gores di dahi dan leher Taehyung bahkan masih memerah. Malam ketika kedua mata Jimin melihat jelas darah yang mengalir dari luka itu. menjadi hal yang tidak akan Jimin lupakan, seolah amarah yang telah tertahan sekian lama menjadi sebuah akar kuat yang di sebut kebencian. Ayahnya boleh saja memukul dirinya berkali-kali, tapi tidak dengan Taehyung. Dan malam ini, ia telah memantapkan hatinya.

Suara pecahan kaca dari arah luar kamarnya membuat Jimin kaget, langkahnya tergesa menuju pintu kamar dan ingin segera membuka pintu itu. Ia membuka sepelan mungkin.

Namun, daun pintu coklat yang telah termakan usia itu tidak mampu memelankan suara decitnya. Bukan keinginan Jimin jika suaranya menjadi lebih keras akibat sepinya malam. Mendengar pintu bergeser, bunyinya mengalihkan pandangan sang ayah. Pria paruh baya itu dengan cepat berbalik sambil memegang botol minuman setengah kosong. Mata dan mukanya telah memerah. Entah sudah berapa botol yang ia minum sebelumnya, bau alkohol yang menyengat langsung masuk menusuk indra penciuman Jimin. "mana, Taehyung?" Tanya ayahnya dengan nada melantur.

Kedua kaki Jimin bergetar, jantungnya terus berdegup kencang saat mencoba mengatur langkahnya dengan cermat meminimalisir suara telapak kakinya yang bersentuhan dengan lantai. Pria berbau alkohol itu mengucapkan kata-kata abstrak yang tidak dapat Jimin tangkap, pengaruh alkohol yang kuat memutar lidah pria itu. Meracau sambil menggoyang-goyangkan botol berwarna hijau kesukaannya.

Terus mengikis jarak diantara mereka, dadanya sesak. Bahkan perasaan gagal untuk mengatur detak jantung nya, membuat hatinya menjadi ragu. "Ayah.." Jimin memastikan dan memanggil sekali lagi saat dirasa tidak ada respon lebih. Ia hanya berharap ayahnya telah tertidur.

Saat menjadi lebih dekat, Jimin mencoba mengangkat tangannya. Sebelum keraguan mendominasi hatinya, logam tipis bermata tajam di genggamannya berusaha dilayangkan tepat menuju perut pria paruh baya itu.

Tangan Jimin bergetar hebat, tidak pernah percaya bahwa pria didepannya akan berkhir di tangannya sendiri. Ia tidak akan pernah melakukan hal sekeji ini jika tangan pria yang disebut ayah itu tidak mendaratkan pukulan keras pada Taehyung kemarin. Jimin tahu, detik-detik menuju masa depan yang hancur menunggu nya jika pelampiasan amarah yang lama ia pendam terus berlanjut. Air matanya mengalir deras, membuatnya tiba-tiba berhenti bergerak. Mata pisau di genggamannya, hanya beberapa mili lagi sampai menembus permukaan kulit.

Melihat mata ayahnya yang terpejam tenang seolah telah melupakan segala dosa yang ia perbuat terhadap kedua anaknya. Lagi-lagi Jimin menangis keras, tidak bisa menahan luka yang selalu robek dan menganga lebar dalam hatinya.

Dalam tangisnya, Jimin tidak sadar jika kedua mata ayahnya terbuka lebar menyaksikan sebagaimana ujung pisau di tangan Jimin hampir melukai kulit di perutnya. Pria paruh baya itu merontak, amarahnya lebih besar karena kandungan alkohol yang belum reda. Jimin terjatuh tidak sengaja, perasaan takut dan kaget menjadi satu begitu melihat mata kemerahan itu menyalak, menatap dirinya.

Pisau di tangan Jimin pun lepas dari genggamannya, bergeser menjauh dari raganya. Ia tidak percaya, jika pisau itu jatuh menuju kaki sang ayah.

Kakinya menjadi kaku, tidak dapat bergerak seperti keinginannya. "Hey, anak kecil!" Dengan suara serak ayahnya memanggil, sambil mengambil pisau itu di sebelah kaki kanannya. "Anak durhaka! Anak yang ingin membunuh ayahnya sendiri. Kau punya nyali?" Ucap ayahnya semakin mendekat.

Sang ayah kini berada tepat dihadapan Jimin setelah selangkah demi selangkah mendekatkan diri. Diambilnya segenggam kasar surai hitam legam milik Jimin membuat pemiliknya meringis kesakitan. "Taehyung yang menyuruhmu, hah?!" Teriaknya kasar.

Jimin tidak menjawab apapun, fokusnya teralih pada benda pipih digenggaman sang ayah. "Panggil... " suara ayahnya melemah, "panggil dia.." sang ayah hanya mabuk berat, jemari yang menarik rambut Jimin pun melemah, bahkan tidak bisa berbicara dengan baik walau tangannya masih memegang pisau.

"Dimana.." ditengah suara ayahnya yang masih meracau, Jimin mencoba mengambil pisau itu dengan cepat. Merebut paksa walau melukai sedikit tangannya. Namun, sang ayah pun kembali sadar akan pergerakan Jimin. Ia memperkuat genggamannya agar pisau itu tidak mudah lepas, disisi lain Jimin pun sekuat tenaga merebutnya dari tangan sang ayah.

Tidak mudah bagi Jimin melawan kekuatan pria lebih besar dari padanya. Ia terlempar begitu keras ketika ayahnya sekuat tenaga mempertahankan pisau itu. Jimin tetap tidak mengalah, tidak peduli rasa sakit di punggungnya karena terbentur tembok saat ayahnya mencoba menjauhkan dirinya dari benda tanjam yang tergenggam erat.

Jimin kembali mendekat, tanpa berpikir bahwa amarah dari seorang pemabuk yang tidak memiliki akal sehat kini sedang berada di hadapannya.

Bahkan tanpa ragu menikamnya.

Begitu cepat, seakan waktu telah membohongi Jimin. Seakan takdirnya berhenti tiba-tiba tanpa adanya persiapan apapun darinya. Kedua mata Jimin terbelalak lebar, perutnya kini menembus benda tipis membuat pikirannya melayang. Kenangan masa lalu yang telah ia lalui terputar kembali seperti sebuah film dokumenter, sebuah kehidupan tragis.

Ia berharap Taehyung tidak menemukannya dalam keadaan buruk seperti ini. Darah mengalir tanpa henti membuatnya tidak bisa bergerak lagi. Sang ayah pun tidak menyangka jika tangannya bergerak lebih dulu dibanding pikirannya. Ia menjatuhkan pisau itu dalam keadaan setengah sadar.

Sama seperti kesadaran Jimin yang kian melemah, namun tidak ingin segera menutup matanya. Sampai saup-saup ia mendengar suara pintu terbuka. Sebelum akhirnya Taehyung masuk dan menyaksikan apa yang tidak pernah ia banyangkan.[]

...tbc

[END] Come Back Home 2; kth-pjm-mygDonde viven las historias. Descúbrelo ahora