01. Hilang

4.3K 236 34
                                    

_____
I was wrong, I must be punished. But I think this punishment is too much for the poor child like me.
____

Sambil merasakan panasnya lapisan semen yang membatu di bawah teriknya matahari yang tak memiliki nurani untuk sekedar redup, remaja itu mengingat lagi dosa-dosanya yang telah lalu. Seakan neraka menghampiri terlebih dahulu sebelum maut menjemput.

Pernapasannya tersenggal. Jangankan dibiarkan untuk berpikir dan mencari jalan, keluar diizinkan bernapas pun tidak. Seiring dengan rongga dada yang nyeri layaknya dipatahkan, Fajar masih tetap mengingat kesalahannya yang layak dihukum.

Dia bukan anak yang baik. Hari ini ia membolos dan melakukan ritual terakhir sebagai pecandu rokok di sebuah tempat tambatan hati anak nakal di sekolahnya, itu memang salah. Namun, hukuman ini lebih salah, terlalu berlebihan memenjarakan Fajar dalam siksa.

Adik perempuannya menangis kencang, membiarkan semua orang tahu bahwa mereka tengah dikukung pilu. Rumahnya terbakar dan orang tuanya tak selamat, kakaknya tergeletak sama hancurnya, hanya saja si cantik berumur dua belas tahun tidak merasakan nyeri seperti Fajar.

"Kakak ... jagain aku, jangan pergi," bisik suara manis yang bergetar di telinganya yang mulai berdengung, pun dengan matanya yang mulai memberat.

Fajar tersenyum lemah, sedang meratapi apa yang sedang terjadi. Bagaimana bisa ia menjaga di kala tubuhnya pun tak mampu berdiri?

Suara warga-warga yang panik, pemadam kebakaran yang berteriak penuh intruksi, suara jeritan Anggraini, semuanya lebur dalam satu dengung. Fajar tertidur di saat yang tidak tepat.

----

Umurnya masih lima belas dan dua belas tahun masih cukup layak untuk dititipkan ke panti asuhan. Untuk sementara mungkin, anak perempuan yang masih menggunakan seragam putih biru menggenggam tangan kakaknya itu bergerak tak nyaman. Fajar juga masih menggunakan seragamnya yang telah lusuh.

Gadis kecil itu takut, takut napas Fajar yang pendek-pendek itu akan segera hilang. Ia tak memiliki siapa pun sekarang, air matanya kembali menetes dengan lengkung bibir kepedihan.
Apa yang harus Fajar lakukan? Ingin menenangkan namun ia tengah fokus untuk sekadar bernapas.

"Sepertinya kakakmu harus ke rumah sakit," ujar seorang pria yang masuk bersama dengan ibu panti.

"Sepertinya begitu," gadis kecil yang terbiasa dipanggil Ai itu menghapus air matanya. Melihat tubuh kakaknya diangkat menjauh darinya.

Fajar akan kembali dan dia tidak akan sendiri. Fajar begitu menyayanginya, selalu memberikan uang yang ia punya ketika ia telah menghabiskan uang sakunya, selalu menemaninya saat tidur. Seharusnya dia tidak ketakutan setelah resmi menjadi yatim piatu, Fajar pernah seperti itu dan dia kembali sehat. Namun, selimut yang dirajut oleh takut tengah membungkus dirinya saat ini.

----

Akhirnya terasa lega, Fajar dapat bernapas kembali bersamaan dengan sesuatu yang sejuk membungkus mulut dan hidungnya. Rasanya benar-benar lega setelah berjuang melawan oksigen yang seakan memusuhinya.

Sebuah tangan yang lembut mengelus rambutnya, Fajar membuka mata buru-buru seingatnya hanya tangan ibunya yang hangat dan lembut seperti ini, takut saja kalau ia diajak pergi tanpa membawa Ai. Wajah asing tertangkap oleh netranya yang kusam, remaja yang baru memasuki bangku sekolah menengah atas tersebut menautkan alisnya yang tebal. Siapa wanita yang tersenyum hangat ini?

"Dia tampan ya, Pa?" ucapnya kepada pria yang Fajar kenali telah membawanya kemari.

"Iya, namanya siapa?" tanya pria berkemeja apik. Terlihat seperti orang kaya di matanya.

"Fajar," lirih Fajar.

"Bagaimana perasaanmu?" Ada saja seseorang yang masih tega bertanya soal ini. Fajar menitikkan air mata saat mengingat betapa perihnya tergerus kenyataan hari ini.

Delapan bulan lalu kanker berjangkit di paru-parunya. Beberapa saat lalu orang tuanya meninggalkannya, dan ia tidak punya apa-apa.

"Hei, jangan menangis. Apa masih sakit?" tanya sang wanita tak dikenal sembari mengusap wajah Fajar yang basah. Fajar menggeleng, menggigit bibir semi birunya dalam.

"Fajar sekarang anak kami, ya?" Pelukan mendarat di tubuhnya yang terasa dingin. Rasanya hangat, dua orang asing tengah mencoba masuk ke dalam jiwanya yang kosong.

----

Sementara waktu telah meninggalkan hari yang pilu, episode sesak masih belum juga usai. Gadis kecil yang menunggu kakaknya dikembalikan harus merasa terpukul kembali atas sebuah pengertian.

Tangan dari pengurus panti mengelus rambut panjangnya. Senyum hangat terpatri di wajah yang mulai mengkerut, tapi Ai merasa kaku. Ia tak mampu melakukan apa-apa selain menutup rapat mulutnya, mengunci semua air mata yang hendak keluar dari jendela maniknya.

"Gak apa-apa, 'kan kalau Fajar diambil? Ibu gak sanggup kalau harus membiayai pengobatannya yang mahal, yang penting Fajar tetap hidup, 'kan, Nak?" Penuturan paling lembut yang paling sakit. Lidah Ai kelu laksana bisu.

"Kenapa Ai tidak diajak? Fajar lebih nakal dibanding Ai, kenapa dia yang diajak?" Tangisnya tidak sempat tertahan sudah terjun bebas bertemu gravitasi.

"Fajar lebih butuh, 'kan? Nanti pasti ada yang menginginkan anak secantik Ai." Sebuah pelukan merengkuhnya, Ai masih berada dalam kedinginan yang sama.

"Ai masih bisa bertemu Fajar?" tanyanya yang tak lekas dijawab. Semuanya hilang sekarang, gelap di ruangan dingin tanpa ada setitik temaram yang merangkul.

Seakan terbaring di bawah hamparan bintang, harmonisasi kekeluargaan yang berkerling menyejukkan. Dan tiba-tiba bintang-bintang dengan sudut runcing menghujam tubuhnya yang tengah menjerit secara gamblang.

Setidaknya Fajar tidak mati, masih bisa ditemui tanpa bunuh diri.

NeverriseWhere stories live. Discover now