02. Mati

2.6K 174 20
                                    

I'm not blind, I'm not deaf either. But I feel dark and empty. I can't see and hear the reality.

___

Bibir itu selalu tersenyum mengiyakan setiap pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan persetujuan, rona pasinya masih ingin menetap di atas tampang manisnya, tapi hari ini dia bernapas lega. Mobil melenggang membelah jalanan kota, wanita setengah baya yang sudah mendoktrin otak anak lima belas tahun itu dengan sebutan Mama merangkul tubuhnya sayang.

Kehangatan yang merengkuhnya seakan menjadi sebuah harapan. Mereka terlihat seperti keluarga yang bahagia, tidak ada motif pasti mengapa Siska dan Herman bersikeras menjadikannya sebagai bagian keluarganya. Hanya saja Fajar merasa ini semua sudah lebih dari cukup, Fajar tahu orang tuanya akan mengerti mengapa ia tidak cepat-cepat ke makam untuk menabur bunga dan merapal doa.

Rumah yang mereka tuju begitu besar. Fajar menghela napas tubuhnya memang mudah lelah sangat mengeluh kalau harus berjalan jauh hanya untuk menemukan kamar.

Rumah yang begitu asing untuknya, mulai sekarang akan menjadi tempatnya beradaptasi. Pandangan Fajar mengedar, memindai tempat bersih dengan beberapa barang klasik yang nyaman di mata Fajar.

"Kamar kamu di lantai dua, yang ada tulisannya Fajar," ujar Siska. Matanya menunjuk tangga di tengah-tengah rumah yang meliuk ke atas, Fajar ingin menghela napas rasanya.

"Iya, makasih, Ma," ucapnya lagi. Sambil menapaki anak tangga demi anak tangga yang membentang sampai kamar barunya. Penat memang, Fajar berbalik menatap Siska yang menatap teduh dengan senyuman keibuannya.

"Tidak ada kamar yang di bawah saja? Kalau tidak ada ya tidak apa-apa," ucap Fajar.

"Nanti dibereskan, ya, Sayang! Fajar tidur dulu di kamar yang sudah beres," tuturnya begitu lembut. Fajar mengangguk sembari memberi bubuhan senyum kecil di bibirnya yang masih sedikit kering.

Tangannya berpegangan pada gagang tangga berwarna kuning keemasan, Fajar bisa merasakan ada ukiran-ukiran sulur bunga di sana.

Tak berapa lama setelah berhasil bertahan hidup setelah menaiki seratus dua puluh anak tangga Fajar menghela napasnya. Memandang beberapa pintu yang tertutup dan mencari namanya di sana.

Tak sengaja ekor matanya menangkap sebuah ruangan dengan pintu yang rusak, terlihat ruangan bernuansa merah muda di dalamnya meski terlihat gelap tanpa lampu yang menyala.
Remaja manis itu memberanikan diri untuk memasukinya, menekan saklar lampu dan membuat semuanya terlihat nyata.

Dinding berwarna merah muda, gitar coklat di atas kasur dan berada di samping boneka beruang besar berwarna vanila, poster-poster grup musik, dan perlengkapan make up yang kadaluarsa. Terlihat rapi, tapi berdebu. Terlihat sudah lama tak terjamah oleh pemiliknya, kamar remaja putri yang tidak memiliki putri untuk menidurinya.

Suara derit pintu terbuka, Siska kembali sambil membawa nampan berisi makanan. Sekali lagi senyum mereka bertemu.

"Fajar salah kamar?" celetuk Herman yang tiba-tiba menyembul di balik tubuh Siska.

Fajar tersenyum sambil mengangguk, meletakkan kembali kutek kuku yang sempat ia pegang dan menghampiri orang tua asuhnya.

"Ini untuk adikku? Aku akan merapikannya sedikit," ucap Fajar bahagia. Tiga hari tidak berjumpa membuat kerinduan menguasai tubuhnya.

Raut wajah Siska berubah mendung, wanita itu menyerahkan nampannya kepada sang suami. Diambilnya tangan pucat itu untuk digenggam, diremat secara halus sambil tersenyum penuh kelembutan seperti biasanya.

Manik teduh mereka bertemu, Fajar mulai membaca situasi buruk yang akan menampar dirinya lagi.

"Adikmu menyusul orang tuamu ke akhirat." Pelukan itu menubruk tubuhnya yang terasa kosong. Memikirkan betapa pilunya Ai yang ia tinggal sendiri selama tiga hari belakangan, mental rapuh anak dua belas tahun yang tersesat. Ini salahnya? Iya sepertinya ini adalah rentetan hukuman yang tak kunjung selesai.

Satu titik air mata lolos, sebagai tanda penghormatan akan kepergian sang adik. Fajar melepas pelukan Siska, berjalan ke arah kamar yang benar. Terdengar suara pintu terkunci, setelah itu hanya terdengar isakan yang samar.

Herman menatap Siska yang langsung membuang atensinya untuk turun ke bawah. Akan terjadi hal tidak mengenakan yang tidak pantas Fajar dengar saat ini, dengan cepat wanita itu menuruni tangga sialnya Herman tak kalah cepat.

"Kenapa kamu berbohong ke Fajar?" tanya Herman sembari menyekal pergelangan putih isterinya yang langsung ditepis mentah-mentah.

"Aku harus jujur kalau aku tidak suka anak perempuan? Aku benci anak perempuan? Aku ingin Fajar seutuhnya menjadi milikku," kekeh Siska.

"Kamu gila? Fajar sudah hancur, kamu menghancurkannya lagi setelah ia percaya dia utuh?"

"Isterimu ini memang gila, kamu lupa?" Herman merengkuh isterinya, memeluk erat wanita yang memecah tangisnya. Dialog itu tidak bercanda, sesuatu terjadi pada mental Siska.

Awal ia membenci anak perempuan dan tidak ingin memilikinya lagi. Memikirkan kebencian mungkin membuat syaraf-syarafnya terlepas, atau beberapa alasan medis yang dirinya pun tak sanggup mengerti. Sekarang obsesinya pada Fajar terlalu tinggi.

____

Fajar tahu ia tidak bisa menyanggupi permintaan adiknya untuk menjaganya. Namun, berakhir dengan tamat yang seperti ini juga membuatnya merasa hampir gila.

Fajar menghempas tubuhnya di atas kasur yang langsung memantul. Fajar mengawang langit-langit kamarnya, memperhatikan bohlam yang bersinar dan corak mawar di tepian. Itu semua sedang Fajar lakukan untuk mengingat bagaimana rupa ketiga orang yang kompak meninggalkannya.

Fajar mengelus dadanya, ini memang waktu yang tepat untuk menangis. Namun, bukan waktu yang tepat untuk kembali sakit. Stres tengah menghukumnya, paru-paru pun terasa adalah kolega yang menertawakan kelemahannya.

Fajar menutup matanya dan menindihnya dengan lengan, menyerah untuk memperjuangkan napasnya yang mulai tersendat. Fajar menutup netranya, berharap besok pagi sudah ada di surga untuk bertemu keluarga dan hari baru yang ceria.

Suara pintu yang terbuka, tidak peduli siapa yang hadir Fajar mengacuhkannya. Sampai tubuh hangat pria besar itu merengkuhnya, ia sedikit merasa lebih baik. Hanya sedikit, sedikit merasa dia tidak dibiarkan jatuh.

Dadanya ngilu bagai besi yang ditempa. Napasnya pendek dan cepat, tangan besar Papa barunya mengelus dada yang naik turun dengan ritme tak normal.

"Fajar punya lembaran baru," bisik Herman.

"Enggak!" tolak Fajar bergetar tidak kuasa menahan gejolak pada tubuhnya.

Segala kalimat yang ia pelajari dari membaca buku, menonton film, dan mendengarkan lagu untuk menghadap bocah yang tersungkur ke dalam depresi telah Herman ucapkan. Namun, tidak ada yang terjadi tubuh ringkih yang ia sayangi hanya menggigil dalam tangis.

Tidak tahu apa yang harus ia lakukan selain di sana dan meminjamkan tubuhnya yang hangat.

"Aku tidak sendiri, 'kan?" tanya Fajar yang mulai lelah dengan pergemulannya dengan isak.

"Ya, Fajar punya kami," setuju Herman mengelus rambut legam Fajar.

"Baguslah, aku tidak tahu siapa yang akan mendoakanku di pemakaman nanti," ujar Fajar dalam tubuhnya yang semi pasi.

"Kalau begitu tetap di sini, merapal doa untuk semua yang telah pergi."

Fajar yang naif dan percaya kehidupannya untuk berdoa.

____

Inilah diriku yang sebenarnya hwhwhw

NeverriseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang