"Jika sudah menyangkut masalah perasaan, terkadang rasa malu hilang begitu saja. Tak peduli apapun, hanya ingin bersamamu. Dan setelahnya baru rasa malu itu datang."
.
.
~Dear A~
.
."Huh,"
Helaan napas berat keluar dari mulut seorang pria paruh baya ketika sudah siap dengan baju petugas kebersihannya. Ia mengusap pelan pada sederet nama yang tertulis di dada kirinya. Robby Ramadhan. Nama yang benar-benar membuatnya merasa hina.
Tangannya beralih membuka laci nakas di dekatnya. Tumpukkan surat menjadi hal utama yang ia lihat. Surat misterius yang diterimanya selama mendekam di balik jeruji besi tanpa tahu siapa yang mengirim. Meninggalkan surat itu, manik matanya menatap lekat pada sebuah kartu nama. Ia lantas mengambilnya.
"Sebentar lagi. Tunggu Ayah. Ayah pasti akan kembali," ucap Robby meremat kuat kartu nama di tangannya.
***
"Udah," seru Arka ketika selesai mengemasi beberapa pakaian kedalam tas hitamnya.
Hari ini adalah hari pertama seluruh peserta dan panitia mempersiapkan event bazar dengan menginap beberapa hari di asrama sekolah.
Arka melangkah menuju cermin. Menata rambutnya sekilas agar terlihat lebih rapi. Kemeja hitam putih kotak-kotak yang menjadi luaran kaos putihnya ia lipat sampai sikut.
Derrt... Derrtt...
Handphone di saku celana hitamnya bergetar menandakan adanya pesan masuk. Arka segera melihat pesan itu. Dan ternyata dari sahabatnya. Gio.
Ka, lo mau berangkat sama siapa? Jangan sama gue, ya. Soalnya gue mau jemput dulu Lavanya. Hehehe...
Arka mendengus kesal setelah membacanya. Ia tampak berpikir dan segera mencari kontak seseorang. Ia mengetikkan suatu pesan disana. Dengan ragu jempolnya menekan tombol kirim.
"Eh, udah ke kirim ya?" tanya Arka pada dirinya sendiri. Tak lama setelahnya, muncul centang biru pada pesan tersebut. Menandakan orang yang di kirim pesan sudah membacanya.
"Hah? Udah dibaca?" pekik Arka gugup. Padahal ia ingin menarik kembali pesannya.
"Ah, bodo lah," lanjutnya segera bergegas keluar kamar menuju ruang kerja Harish.
Kaki jenjangnya terhenti di ambang pintu ruangan Harish tatkala telinganya mendengar samar pembicaraan Harish dengan seseorang di seberang telpon.
"Kau sudah menerima informasinya? Cepat kirimkan!"
Harish segera menutup telepon ketika ekor matanya menangkap siluet Arka. Ia berbalik menghadap Arka. Senyuman tak pudar dari wajahnya.
"Masuklah," titah Harish lembut.
Arka mengangguk dan segera melangkah masuk. "Beberapa hari ini saya akan menginap di asrama sekolah. Saya pamit," jelas Arka dengan ragu mengecup punggung tangan Harish.
"Semoga berjalan lancar," ucap Harish mengelus pelan kepalanya.
Arka mengangguk dan melenggang pergi setelahnya.***
Hari ini aku akan datang menjemputmu. Kita berangkat bareng ke asrama. Sampai ketemu Raina.
Raina membungkam kuat mulutnya dengan tangan agar tak berteriak nyaring. Ia masih setia memandang pesan yang diterimanya satu menit yang lalu dari Arka. Raina tak salah membacanya, kan?
Hatinya bergemuruh hebat. Rona merah menjalar seketika pada pipinya. Ia kembali menghadap cermin. Memastikan penampilannya saat ini benar-benar sempurna. Rambutnya sengaja ia gerai dengan penjepit kecil di sebelah kanannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear A ?
Teen FictionMengikhlaskan bukanlah suatu perkara yang mudah bagi setiap orang. Apalagi ini menyangkut masalah Takdir. Dimensi waktu yang tak mungkin bisa terulang. Arka Putra Davendra, seorang remaja tampan yang hidupnya nyaris saja sempurna. Terlahir dari kelu...