Papa&Mama

2.8K 229 96
                                    

"Hallo?"

"Iya, kenapa Janisa?"

"Kak Tahta, maaf aku belum bisa ke kafe.."

"Gak papa Janisa. Saya ngerti kok. Nanti saya kirim gaji kamu atau saya titipin lewat Daren aja?"

"Tapi Kak, aku masih pengen kerja..."

"Saya juga masih pengen kamu kerja disini. Tapi, kamu harus izin sama Daren dulu,"

"...."

"Gimana Janisa?"

"... gak tau Kak. Aku tanya dulu sama Daren nanti ya. Terima kasih banyak Kak Tahta,"

"Iya sama-sama Janisa,"

Percakapan itu berakhir saat aku menutup telfon.

Iya, aku menelfon Kak Tahta. Memberitahu bahwa aku tidak bisa datang ke kafe dan masih ingin bekerja disana.

Bekerja di kafe itu benar-benar nyaman dan tidak membuatku kesepian. Orang-orangnya juga sangat baik. Setidaknya, aku mau mengucapkan salam perpisahan dengan mereka, terutama Sandra.

Semuanya membuatku nyaman kecuali..  Hans.

Kalian tau? Sehabis dari kejadian itu, dimana Daren menjemputku paksa dan memukul Hans di kafe, Hans selalu menggangguku dengan menelfon dan mengirimkan pesan-pesan tidak penting.

Aku sedikit takut. Tapi, aku juga sebenarnya ingin menyelesaikan masalahku dengan Hans. Mungkin memang bukan benar-benar masalahku, tapi instingku mengatakan jika aku harus berbicara dengan Hans.

Tapi, bagaimana caranya ya?

Aku masih termenung di ruang tengah saat Daren datang.

Sesuai kesepakatan, aku dan Daren hari ini bolos kuliah karena Papa dan Mama akan datang sekitar nanti sore. Sedari tadi, kami membereskan rumah yang bahkan tidak berantakan sama sekali.

Daren datang sehabis pergi dari membeli paku untuk menggantung foto pernikahan kami.

"Aku pulang," sahut Daren sambil menenteng sekantung paku.

Aku menyambut dan setelah itu, aki berinisiatif untuk mengambil kursi agar memudahkan Daren untuk memaku di tempat tinggi.

"Aku aja," Daren langsung mengambil alih kursi yang baru saja aku angkat.

Aku menggaruk leherku kikuk. Masih belum terbiasa dengan perlakuan Daren yang seperti ini.

Daren kemudian naik ke kursi itu dan mulai memaku dinding.

"Janisa, tolong foto kita dong," perintahnya.

Aku langsung mengambilkannya dan Daren menerimanya.

Daren memasang foto yang berukuran lumayan besar itu di dinding yang sudah dia paku.

"Udah pas?" Tanya Daren.

"Agak ke kiri sedikit," usulku.

Setelah pas, Daren turun dan mengembalikan kursi.

Daren lalu berdiri di sebelahku. Kami memandang foto pernikahan itu bersama.

Wajah Daren yang dingin dan wajahku yang tersenyum takut. Bukan foto bahagia seperti yang seharusnya.

"Mungkin, kita harus foto lagi lain kali?" Usul Daren.

Aku hanya mengangguk.

"Barang-barang kamu mulai pindahin aja, Sa. Biar besok tinggal nyambut Papa sama Mama," usul Daren.

Married by Accident ✔️Where stories live. Discover now