47

1.1K 119 1
                                    

Hari ini adalah hari pertunangan Richard dan Caroline. Aku dan Halwa dijemput Maddy dan Helene. Tidak ada yang berbicara sepanjang perjalanan. Begitu hening. Kami sampai di mansion keluarga Payton. Mansion itu sangat besar dan mewah. Baru kali ini aku melihat ternyata ada orang yang memiliki harta sebanyak ini.

"Hey, Helene. Darimana saja?" Sapa seorang pria paruh baya.

"Oh aku dan Maddy menjemput teman kami ini, Shafiya dan Halwa tadi" jawabnya. Pria itu lalu melihat ke arahku dan Halwa.

"Well, selamat datang ke acara pertunangan anakku nona nona. Semoga kalian menyukai acaranya."

"Terimakasih Mr. Gregory. Dan selamat untuk pertunangan anakmu" jawab Helene.

Aku terkejut. Ini adalah ayah Richard? Well dia tidak terlihat tua. Masih bugar dan tubuhnya juga masih fit. Aku sudah membayangkan ayahnya adalah pria kaya paruh baya dengan perut buncit. Ternyata ayahnya jauh dari semua itu. Tubuhnya masih fit dan terbentuk. Tampaknya ayahnya orang yang rutin berolahraga.

"Hey, kau, bisakah aku berbicara denganmu?"  Ayahnya menunjuk ku.

"Ya Tuan, dengan senang hati" jawabku. Lalu Halwa, Helene, dan Maddy pergi meninggalkanku bersama Mr. Gregory Payton.

"Jadi siapa namamu?" Tanyanya.

"Namaku Shafiya, tuan" jawab ku.

"Hey, jangan panggil aku tuan. Aku merasa sudah sangat tua. Panggil saja aku Greg" jawabnya.

"Wah di negara saya memanggil dengan ucapan nama itu tidak sopan kepada orang tua. Hahaha"

"Benarkah? Wow. Kalau boleh tahu, Darimana asalmu, nak?"

"Indonesia" jawabku mantap.

"Well, aku pernah ke Indonesia sekali. Dan Indonesia itu indah sekali. Aku mencintai makanannya dan wisatanya" jawabnya. Aku tersenyum. Lalu istrinya datang. Dia lalu mengecup pipi istrinya. Istrinya sangat cantik.

"Siapa dia?" Tanya istrinya.

"Teman Richard. Asal Indonesia. Namanya Shafiya."

"Hai nyonya, saya Shafiya. Senang bertemu dengan anda" aku mengulurkan tanganku untuk dijabat. Dia menjabatnya.

"Hai, aku Arlene Amelia Freddie Payton. Tidak usah Memanggilku nyonya. Panggil Amelia saja" jawabnya sambil tersenyum. Persis seperti senyuman Richard.

"Kau terlihat sangat familier. Tapi aku lupa dimana aku pernah melihatmu" ujar Amelia.

"Mungkin di pusat perbelanjaan. Kan ada banyak orang disana" jawabku ramah.

Aku, ayahnya, dan ibu nya berbincang hangat dan tertawa. Kami bercerita tentang Indonesia dan Richard kecil. Membuatku tertawa. Ayah dan ibunya baik sekali.

"Mom, dad, ternyata kalian disini"

Aku menoleh ke arah sumber suara. Richard Phineas Payton. Dia memakai tuxedo hitam. Dia lalu pergi menghampiri ayah dan ibunya. Aku tertunduk.

"Hey, Shafiya. Uh senang melihatmu disini" sapanya awkward. Aku kemudian mengangkat kepalaku dan tersenyum ramah.

"Ya, terima kasih sudah mengundang ku, Richard" balasku pelan.

Dia memakai tuxedo hitam, sepatunya mengkilap, dan rambut klimis. Parfumnya menyapa hidungku. Berbau vanilla dengan campuran kayu manis dan mawar. Baunya begitu manis dan memikat. Aku menyukai parfumnya. Entah kenapa hidungku sangat peka terhadap wewangian. Aku bisa menemukan semua bahan yang ada di dalam sebuah parfum dengan sekali cium.

"Mom and dad? Sedang apa disini?" Tanya nya.

"Kami hanya mengobrol. Teman mu yang satu ini humoris dan sederhana. Aku menyukainya" ujar ibunya.

'Ibunya menyukai ku?' Batinku.

"Ayo, acara sebentar lagi akan dimulai" balasnya.

Aku pergi menuju kursi yang sudah disediakan. Aku duduk tepat disebelah Halwa. Sementara ayah dan ibunya mereka duduk di panggung. Aku meremas bajuku. Aku tidak ingin menangis dan menghancurkan riasan wajahku.
****

"Selamat siang hadirin semua. Salam sejahtera bagi kita semua"

Host mulai membuka acaranya. Halwa meraih tanganku dan memegangnya. Aku menghadap kedepan dengan tatapan kosong. Pikiranku berkelana kedalam memori ku bersama Finn. Hanya itu satu satunya yang bisa membuat ku kuat untuk tidak menangis di acara ini.

"Dan sekarang prosesi tukar cincin oleh Richard dan Caroline."

Helene dan Maddy yang duduk tepat di depan ku memalingkan wajah mereka dari depan dan menghadap wajahku.

"Maafkan aku. Aku dan Helene tahu tentang perasaan mu kepadanya. Halwa bercerita pada kami di malam kau menghadapi insiden pencopet itu, tepatnya sesaat setelah kau tertidur. Aku sudah coba untuk memberitahunya bahwa ini tidak seharusnya terjadi." ucap Maddy pelan. Aku hanya menggeleng.

"Ini bukan salahmu. Tidak apa apa. Yang penting sekarang Richard sudah bahagia. Apa lagi yang bisa aku perjuangkan" ujarku pelan.

"Maafkan aku" timpal Helene lagi.

"Aku tidak suka wanita gila harta itu" sambungnya.

"Jika memang aku mencintainya maka aku harus rela menerima bahwa sekarang ia sudah bahagia. Benarkan?" Tanyaku kepada Helene dan Maddy sembari tersenyum.

"Tuhan telah mengatur takdir dan kita tidak bisa melawannya. Yang hanya bisa kita lakukan adalah berdoa dan terus berharap. Dan ini adalah takdir Richard. Jalan hidupnya. Dan aku harus rela jika Tuhan menyusun skenario nya seperti ini. Walaupun itu tidak sesuai dengan ekspektasi ku." Sambung ku.
****

Prosesi pemasangan cincin sudah selesai. Aku segera pergi menuju kamar mandi. Untungnya kamar mandinya kosong. Jadi aku bisa lebih leluasa. Aku berusaha menahan air mataku. Aku tidak boleh menangis.

"Ayolah Shafiya, jangan menangis. Riasan mu lebih mahal daripada ini semua" ujarku pada diriku sendiri.

Setiap kali hatiku sakit membayangkan pertunangan Richard dan Caroline aku berinisiatif untuk mengucapkan kalimat Alhamdulillah didalam hatiku. Hari ini aku sudah banyak bertahmid. Itu membuat hatiku tenang dan damai. Aku lalu keluar dari kamar mandi. Banyak sekali orang disini. Aku tidak bisa melihat Halwa. Orang orang ini lebih tinggi daripada tubuhku. Membuatku sulit untuk mencari Halwa.

"Butuh bantuan Ms?" Sapa sebuah suara dari belakangku.

"Yes, I couldn't find my friend" jawabku lalu membalikkan tubuhku. Dan disitulah aku menyesal. Ternyata Richard yang menyapaku dari belakang.

"Oh hey, Richard"

"Richie"

"Ya, Richie. Uh, aku harus pergi. Aku harus mencari Halwa." Jawabku tertunduk.

"Look at me"

Kalimat itu berhasil mengirimkan listrik keseluruh tubuhku. Dia menarik bajuku untuk mendekat ke arahnya. Aku terdiam lama dan akhirnya mendongak menatap nya.

"Aku benci pertunangan ini. Dan aku mencintai wanita yang lain. Aku tidak berniat menikahi Caroline bodoh itu. Aku hanya ingin menjebak ayahnya. Dia pikir dia bisa menjebak ayahku dengan membuatku bertunangan dengan putrinya. Kau akan lihat nanti, dan aku mau kau ada disana saat mereka ku hancurkan jadi debu. Seluruh dunia akan tahu itu. Dan itu bayaran untuk mereka yang telah menghancurkan hati wanita yang aku cintai dengan pertunangan gila ini." Bisiknya kearahku.

Tubuhku mematung. Rasa takut menjalari seluruh tubuhku. Richard jika sudah marah seperti kataku, marahnya adalah hal terakhir yang ingin kau lihat diatas bumi ini. Rahangnya mengeras dan telinganya memerah. Dia menahan seluruh amarahnya didepan para tamu undangan. Kali ini tampaknya Richard tidak main main. Ya Allah, hal buruk apa lagi yang akan terjadi?
****

Ajari Aku Islam [Completed]Where stories live. Discover now