59•|I D O L

2.1K 207 0
                                    

Jisoo menghela nafas berat. Ia memandang gelisah jam yang sedari tadi telah berputar waktunya. Matanya kembali fokus pada ponselnya untuk menelphon kedua orang adiknya.

Panggilan tak terjawab kembali diterimanya. Tentu saja Jisoo menggunakan ponselnya yang lain sekarang. Ponsel yang ia gunakan dulu dan berisikan nomor member bangtan, telah ia simpan rapi di dalam lemarinya.

"Dimana kalian Roje-aa, lalisa" Monolog Jisoo sendiri. Sudah beberapa jam yang lalu kedua gadis itu tidak pulang ke dorm. Jennie bahkan sudah tertidur pulas di sofa yang terletak di sampingnya.

Gadis itu kembali mencoba menghubungi Lisa dan Rose. Kembali tak ada hasil yang didapatnya. Jisoo semakin gelisah dibuatnya. Pikiran buruk tentang mereka berdua semakin menghantui pikirannya.

Lagi dan lagi gadis itu mencoba menelphon kedua manusia yang saat ini tidak diketahui dimana keberadaannya dan juga kembali tidak membuahkan hasil. Ia melempar sembarangan ponselnya. Kedua tangannya ia tumpu untuk menahan kepalanya. Memikirkan dimana sekarang mereka berada.

Jisoo memandang lurus. Matanya menangkap selembar kertas. Kertas yang Seokjin berikan kepadanya sehari sebelum mereka mengatakan untuk pergi menjauh dari bangtan.

Gadis itu tersenyum kecil dan berjalan pelan mengambil kertas kecil. Air mata turun perlahan tanpa ia sadari. Seketika ia sekaan merindukan lelaki berbahu besar itu.

Jisoo tersenyum miris. Ia ingat janjinya dulu yang akan pergi Gwacheong, tempat tinggal Seokjin. Janjinya dulu sebelum lelaki itu akan wamil dalam waktu dekat ini. Tapi mungkin ia akan menjadi seseorang yang tidak bisa menempati janji sekarang.

"Jaga kesehatanmu Seokjin-aa" Jisoo tersenyum dipaksakan. Air mata semakin deras turun dari kedua pipinya. Membasahi lengan baju dan kertas yang sedang dipegangnya.

"Jangan sakit" Gadis itu menarik susah nafasnya. Ia bahkan tak kuat lagi untuk berdiri. Gadis itu terduduk di lantai dengan tangan masih memegang kertas pemberian Seokjin.

"Mianhae Seokjin-aa" Air mata tak berhenti turun dari kedua belah mata gadis itu. Ia seakan tak bisa menghentikannya sekarang. Hatinya terlalu sakit untuk berhenti.

"Maafkan aku..." Suara isak tangisnya terdengar sangat pilu. Hatinya sungguh sakit sekarang. Jisoo bahkan kesulitan untuk bernafas.

"Maafkan aku oppa"

"Mianhae"

"Mianhae-yo"

Kata maaf berulang kali terucapkan dari bibir gadis itu. Ia merasa sangat bersalah sekarang. Bersalah karena meninggalkan Seokjin di saat waktu yang tidak tepat.

"Baik baik disana oppa" Jisoo tersenyum tipis. Mata menatap nanar figura besar berisikan member Blackbangtan yang terpasang di salah satu dinding mereka. Mereka mengambil foto tersebut saat Blackpink sedang syuting Mv Playing With Fire. Sudah sangat lama tapi figura itu begitu berarti untuk mereka.

'Blackpink akan selalu mendoakan yang terbaik untuk Bangtan'

---

Jungkook duduk sendiri di balkon kamarnya. Di tangannya terdapat sebuah gitar yang baru saja selesai dipetik. Matanya memandang lurus jalanan kota Seoul yang indah. Ribuan bintang memenuhi langit Seoul malam ini.

'Jungkook-aa... Kau tau mengapa banyak bintang saat malam hari?'

'Ani-ya.. Memang mengapa?'

'Lihatlah. Dua bintang itu sangat bersinar. Itu aku dan yang disampingnya itu kau' Jungkook mengikuti arah tunjuk gadis di sampingnya. Memandang takjub kedua bintang yang ditunjuk gadis itu padanya.

'Biarkan aku jadi bulan dan kau jadi bintang. Bulan tidak akan lengkap jika tidak ada bintang'

Gadis disamping Jungkook menoleh pada lelaki itu. Ia tampak berpikir sejenak 'Tapi kadang Bulan dan bintang tidak muncul bersamaan. Bulan tidak bisa selalu mendampingi bintang'

Jungkook menggeleng 'Bulan dan bintang satu kesatuan yang lengkap. Bulan akan terasa senang jika ada bintang di sampingnya'

Otak Jungkook memutar kembali peristiwa beberapa tahun yang lalu. Percakapan singkatnya dengan gadis yang beberapa hari yang lalu mengucapkan salam perpisahan padanya.

Mata Jungkook masih melihat hamparan bintang di langit Seoul. Kini, matanya mencari keberadaan bulan. Tidak ada. Benar kata gadis itu, bulan tidak bisa selalu mendampingi bintang

Matanya kini melihat ke arah ponselnya yang ia letakkan begitu saja disampingnya. Foto gadis cantik itu pertama sekali terlihat saat ia membuka ponselnya.

Tangannya menekan tombol panggilan yang menghubungkan dengan ponsel gadis itu. Ia tersenyum miris, sudah berhari hari ia melephon gadis cantik itu, masih tidak ada hasil sampai sekarang. Ponselnya masih mati.

"Dimana kau sekarang lalisa...?" Perasaannya gelisah sedari tadi. Entah apa yang membuatnya seperti ini. Yang jelas seperti akan terjadi sesuatu pada gadis itu.

"Kuharap kau baik baik saja disana. Tunggu aku Lalisa"

---

.
.
.
.
.
.
.

VOTE🙂

Bhrye_Al

I D O L ✔Where stories live. Discover now