180°|30

101 16 1
                                    


180 Degree

Malam yang sunyi, kembali menyambutnya. Setelah memarkirkan mobilnya, Icha berjalan masuk. Kegiatannya itu tak luput dari, perhatian Aarav.

"Aku berharap, kau akan baik-baik saja." Setelah mengatakan itu, Aarav berlalu pergi meninggalkan rumah Icha.

Sedangkan Icha yang baru memasuki rumahnya, langsung di hadiahi sebuah tamparan keras.

Plakk

Icha memegang pipinya, yang terasa perih.

"Dasar anak gak tau diri! Kau bawa kemana mobil ku?" teriak Danil.

"A-aku pinjam yah," jawab Icha tak berani menatap ayahnya.

"Pinjam, kau bilang. Kapan kau minta izin padaku? Dasar pencuri!"

Air mata Icha tak tertahan lagi, dadanya kembali berdesir nyeri. "Apa saat aku minta izin, ayah akan memberikannya?" tanya Icha sendu.

Tanpa menjawab Danil menarik Icha masuk, mengabaikan rasa sakit yang mungkin anaknya itu rasakan. Dia membawa Icha ke kamarnya, dan mendorongnya penuh amarah.

Icha tersungkur, beruntung pecahan kemarin sudah di bersihkan. Jika tidak, mungkin luka baru akan muncul di tubuhnya.

Brakk

Danil membanting pintu itu keras, dan meninggalkan Icha begitu saja.

Icha meringkuk di lantai, sambil terisak. Baru saja tadi pagi, dia bisa tertawa tanpa beban. Tapi lihat, semesta sepertinya tidak mengizinkannya untuk bahagia, barang sehari saja.

Ayah yang begitu dia sayangi, tanpa ragu atau menyesal. Menyebutnya pembunuh, pembawa sial, pencuri, jika orang lain yang mengatakan itu. Pasti rasanya tidak akan sesakit ini, tapi ini ayahnya. Orang yang begitu dia sayang dan hormati, bagaimana mungkin hatinya tidak hancur.

___

Suara ketukan sepatu pada lantai, terdengar di sepanjang koridor. Para murid SMA Merdeka, mulai berdatangan.

Dari sekian banyak yang berlalu lalang, Icha ada di antaranya. Dia berjalan santai di koridor, khas dengan wajah cueknya. Tak ada yang menyapa, atau sekedar tersenyum padanya. Karena sebagian dari mereka, masih berpikir dia seorang pembunuh.

Dari arah berlawanan Isan datang, mata mereka bertubrukan. Icha memilih diam, sedangkan Isan berjalan cepat ke arahnya.
Dia langsung menarik Icha pergi, tanpa sepatah kata pun.

Isan membawa Icha ke taman belang, seperti biasa. Isan melepaskan cekalannya, lalu berbalik menatap Icha. Hanya dengan melihat matanya saja, Icha sudah tau begitu banyak pertanyaan di sana.

"Cha lo kemana aja?" ucapnya tegas.

"Gak kemana-mana."

"Kemarin lo kenapa izin? Ponsel lo juga gak aktif. Gue bahkan ke rumah lo kemarin, tapi lo gak ada. Mereka bilang lo kabur, lo kemana sih Cha? Gue khawatir tau!" Isan menyentuh kedua pundak Icha.

Sedangkan Icha hanya menunduk, tak tahu harus menjawab apa. Dia tau jika Isan khawatir padanya, dia juga mengerti jika Isan mencemaskan nya. Tapi jika Icha menceritakan segalanya, sudah pasti Isan akan tambah khawatir.

"Gue kemarin ke makam Putra." Icha berucap sendu, sambil memberanikan diri menatap Isan.

"Kenapa gak ngajak gue? Cha, gue pernah bilang, kalo lo lagi ada masalah atau apapun lo harus kasih tau gue!"

"Sorry san. Tapi gue lagi butuh privasi, gak tau kenapa kemarin gue beneran pengen ketemu Putra. Cuma itu, gak ada masalah apapun."

"Lo gak bohong kan Cha?"

Vericha Aflyn ✔️Where stories live. Discover now