10 ~ LDM (Long Distance Marriage)

1.1K 60 6
                                    

Lima bulan setelah menjalani rumah tangga dengan Prasetyo, wanita yang kini kesusahan hanya sekedar untuk jongkok itu mulai terbiasa. Hidup di indekos seluas empat kali lima meter persegi, cukup membuat kata sabar selalu terucap. Bukan perkara mudah bagi Melinda, ruangan tanpa AC seperti rumah atau indekosnya dulu, terlihat membatasi pergerakan.

Hari ini, berkali-kali ia menatap jam di dinding selagi tangan mengolah masakan. Rasa cemas dan sedikit kesal mulai menguasai pikiran. Sudah pukul tujuh lebih, tetapi sang suami juga belum kunjung datang. Sabar mungkin  menjadi kata pamungkas untuk Melinda. Namun, masih saja sisi manusiawinya mencuat saat keinginan dan ekspetasi tidak sesuai harapan.

"Pras mana, sih, kok belum pulang, ya?"

Wanita itu pun mematikan api setelah menghangatkan masakan, kemudian berjalan ke ruang utama indekos itu. Duduk di atas ranjang sembari menghela napas. Hari ini tenaganya cukup terkuras, padahal tidak melakukan hal berat, hanya mencuci pakaian, masak, dan beberes indekos. Namun, ternyata usia kehamilan yang sudah tujuh bulan berjalan membuat perut buncit itu sebagai pencetus rasa lelah berlebihan.

Sebuah suara motor terdengar, Melinda merubah segala rasa lelah yang ada dan mulai beranjak menuju ke pintu, berniat membukakan untuk Prasetyo. Namun, belum sempat pintu terbuka, sang suami sudah mengulir kenopi terlebih dahulu.

"Pras ...." Sebuah senyum terkembang dari bibir Melinda menyambut sang suami malam  itu.

Prasetyo mengerutkan keningnya, menatap sang istri yang seolah tengah gembira.

"Kenapa?" tanyanya dengan nada lelah.

"Inget 'kan hari ini kita mau USG ke Dokter?"

Prasetyo masih bergeming di tempatnya, lupa jika ada janji dengan Melinda perihal memeriksakan kandungan. Pria itu mendecak kesal, baru saja ingin berisitirahat sudah merasa ditodong yang otomatis juga akan menguras keuangan di dompet.

"Kapan-kapan dulu, ya, Mel. Uangnya enggak cukup." Prasetyo terlampau jujur menanggapi peringatan sang istri tadi.

Helaan napas kembali terdengar, rasa kesal seolah berkumpul menjadi satu dalam dada. Lengkungan senyum yang membuat wajah cantik pada Melinda berubah seketika. Andai dia tidak ingat jika tengah hamil, pasti sudah dipukul habis-habisan sang suami yang terlampau suka berjanji tanpa kepastian.

"Pras, bulan lalu kamu janji sama aku 'kan kalau bulan ini kita periksa, kenapa ingkar lagi?"

"Ck, udah deh, Mel. Kok enggak ngerti-ngerti, sih. Coba kamu pikir lagi, uang di dompet tuh tinggal tujuh ratus ribu sampai minggu depan. Kamu tau sendiri buat bayar kosan, listrik, dan kebutuhan sehari-hari aja udah banyak banget."

"Tapi, 'kan—"

"Belum lagi nanti kalau ke dokter, ujung-ujungnya obat segitu mahalnya enggak kamu minum. Buang-buang duit, Mel, mending buat makan, deh ...."

Bolehkan Melinda menangis? Hati wanita itu terlalu sensitif ketika seakan sang suami tidak peduli. Apalagi membahas tentang pengeluaran, membuat wanita yang masih menatap tidak percaya menjadi berpikir macam-macam. Merasa jika dirinya menyusahkan orang lain.

"Aku cuman mau tau anak kita aja, Pras. Aku mau tau dia sehat apa enggak, kayak orang-orang yang pasti seneng ketemu calon anaknya," ungkap Melinda yang tidak mampu lagi menahan air matanya.

ROEMIT [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang