01 | Telepon Dari Antony

75 20 18
                                    

Badai salju berhari-hari hanya membuatku mendekam di kamar sambil menulis blog yang membosankan. Lihatlah, kamarku begitu berantakan: tabung sereal dan makanan kaleng yang belum sempat kubuang dan buku-buku yang teronggok berserakan. Kata orang-orang di luar sana, berantakan, jarang mandi, rambut acak-acakan dan seragam yang tidak rapi adalah salah satu ciri orang jenius. Bah ... persetan dengan pendapat konyol itu. Aku sangat berharap kalian tidak percaya asumsi mengerikan itu.

Kalian dapat bayangkan berapa kuman yang menempel di kerah bajunya yang tiga hari belum dicuci, atau pada lehernya yang dekil dan pada rabutnya yang berminyank menjijikkan. Segalanya sangat memuakkan.

Mari kita lihat apa berita pagi ini. Mmm ... salju dengan ketebalan sembilan puluh senti di jalanan, perampokan di tengah badai salju, pergeseran lempeng benua yang terus meningkat sepanjang tahun, dan apa ini, wow, aku sungguh tidak percaya. Portal menuju dunia lain berhasil ditemukan oleh seorang Profesor bernama George Fulcos. Satu lagi orang sinting yang akan terkenal dan dipanggil ke berbagai acara televisi, selamat untukmu Profesor, aku sungguh bersimpati dengan kondisi kejiwaanmu.

Ponselku berdering, dengan malas aku meraihnya dengan tongkat sapuku karena terlalu malas untuk beranjak dari meja komputer. Uh ... ternyata hanya pesan keamanan dari kepolisian bahwa jangan keluar rumah hingga badai sedikit mereda. Beberapa saat kemudian ponsel kembali berdering, kali ini sebuah panggilan dari teman sekolahku, Antony.

"Kau masih tidur?" Antony menyapaku dengan bersemangat.

"Tidak, tentu saja aku sudah bangun," jawabku datar.

"Sudah melihat berita hari ini?"

"Tentu saja, tidak ada yang menarik. Sebaiknya cepat kau katakan kenapa kau ingin bicara denganku. Aku sangat sibuk sekali."

"Wow ... pemenang olimpiade sains dan kutu buku sialan ini mulai bertingkah lagi. Tentu saja kau melewatkan sesuatu, Sir. Lihat kembali beritanya, baru beberapa menit yang lalu terjadi."

Dengan berat hati aku kembali menghadap komputer dan mencari berita terbaru. Aku sungguh tidak percaya ini, ini pasti bercanda.

Bagaimana mungkin sebuah piringan terbang ditemukan di wilayah Xerxes, yang lebih mengherankannya lagi, piringan itu sama sekali kosong. Penduduk setempat yang menyaksikan pertama kali mengatakan bahwa piringan itu terjatuh begitu saja dan berdebum di dekat sungai Yunan, tak jauh dari bangunan Acropilos yang melegenda itu.

"Kau masih di sana?"

"Aku sungguh tak percaya ini." Aku melihat ke laman lain yang menampilkannya lebih detail tapi beberapa saat kemudian laman itu tak lagi kutemukan. Video yang semula akan kutonton juga sudah dihapus.

"Bagaimana kalau kita sedikit berjalan-jalan ke sana. Mobil ayahku selalu terparkir dan dia sedang tidur dengan istri barunya yang jelek."

"Sepertinya kau ketinggalan sesuatu, Sobat. Semua hal yang berkaitan dengan piringan terbang itu sudah di hapus. Aku tak menemukan satupun lagi."

Antony menggumam. "Makin menarik, bukan? Apakah pihak Antariksa Boost menyembunyikannya. Bagaimana kalau aku hubungi Talia dan mengajaknya ikut."

"Bagus, kau selalu mengajak anak menyebalkan itu," gerutuku.

Antony tertawa mengejekku. "Apa kau tahu dengan Flora dan James, kawan?" Kudengar dia membuka pintu, itu pasti pintu kamarnya yang berada di atas atap.

"Siapa itu?"

"Dua orang yang berjodoh dari saling membenci."

"Oh, ayolah. Jangan pernah kau bawa masalah cinta monyet padaku, sama sekali tak membantu."

"Aku yakin ibumu sedang menontonnya sekarang. Sampai jumpa nanti, Sobat."

Antony mematikan telepon, aku segara menyambar jaket parasutku dan berlari menuruni tangga. Lupakan kamar berantakan dan peringatan dari polisi itu, ini momen yang sangat langka jika saja itu bukan kabar bohong. Apa kau masih ingat dengan angin puting beliung dua bulan lalu di daerah Long Bottom? Yang menewaskan dua orang perwira dan delapan orang sipil, ternyata itu hanyalah kabar bohong.

"Kau mau ke mana, Dave?" Ibu mencegatku di ruang tengah, aku lupa kalau sekarang adalah jadwalnya menonton tv sambil memakan camilan yang dibuatnya, biasanya kentang goreng dan sepotong roti lapis yang hambar. Jika aku mencicipinya maka aku harus mengatakan bahwa roti itu sungguh enak. Sangat antagonis.

"Aku ingin mencari udara segar," jawabku sambil menggeser langkah sedikit demi sedikit. "Aku akan cepat pulang, Bu. Jangan cemaskan itu. Tentu saja Antony dan Talia akan berada di sampingku."

Ibuku menaikkan alis sambil menatapku, "Kembali ke kamarmu sekarang atau tidak akan ada jatah makan malam, kamarmu akan ku sewakan dan sepeda gunungmu akan kujual. Apa kau mau bepergian dengan cuaca seperti ini? Yang benar saja, Dave."

Payah, sungguh payah jika kau anak satu-satunya dalam sebuah keluarga, aku sungguh berharap akan mendapatkan seorang adik yang bisa meredakan kecemasan ibuku yang terlalu berlebihan. Setidaknya hanya sekedar berbagi kemarahan.
Dengan lesu aku kembali ke kamar dan menghempaskan diri ke atas kasur yang dipenuhi buku-buku Filsafat dan Astronomi. Tentu saja semuanya adalah hasil jerih payahku menabung. Ibu tak pernah memanjakanku walaupun aku anak satu-satunya, dia sungguh ibu yang tegas. Aku bahkan membeli sepeda gunungku sendiri dengan bekerja padanya sebagai pengantar kue, dan itu kulakukan selama tiga bulan penuh.

Tiga bulan penuh.

Ponselku berdering, ternyata Talia. Ah, sebentar. Aku harus ceritakan sedikit pada kalian siapa gadis yang bernama Talia ini dan mengapa aku sedikit enggan berurusan dengannya. Jadi begini, dahulu ketika umurku sebelas tahun, dia bermain ke rumahku dan ibu menceritakan semua kekonyolan masa kecilku. Semuanya. Sungguh memalukan sekali. Sejak saat itu dia selalu mengejekku dengan menyebutku Dave si Anak Pasta. Malangnya panggilan itu melekat hingga sekarang.

Aku mengangkat teleponnya, dan dengan nada sedih kukatakan bahwa ibu melarangku untuk keluar dan serentetan alasan lainnya yang mngkin akan membuatnya percaya. Tapi ternyata tidak, Talia bukan spesies yang suka percya begitu saja dengan omongan orang lain.

"Ayolah, Anak Pasta, kau bisa melompat dari jendela kamarmu atau bagaimanapun caranya. Kau selalu saja banyak alasan, padahal kami sudah sangat dekat."

"Berhenti memanggilku begitu, Talia bodoh. Atau aku akan melemparmu dengan kaus kaki Antony yang dapat membuatmu pingsan berjam-jam."
"Jangan terlalu keras, Kawan. Aku mendengarmu." Antony menyahut dengan nada mengancam. Kurasa dia sedang berada di belakang stir mobil ayahnya sekarang, beberapa kali aku sempat mendengar bunyi klakson mobil dibunyikan. "Kami sudah dekat, Dave. Segera melompat atau kau akan ketinggalan."

Ini sungguh pilihan yang sulit, sepotong hatiku meronta-ronta untuk melanggar larangan ibu. Namun sepotong yang lainnya malah menyeretku untuk menjadi anak yang baik dan hidup dengan jalan hidup yang tenang tanpa masalah. Ayolah, kau bisa saja mengunci pintu kamar dan turun dengan melompat. Baiklah, kali ini kau menang!

Aku segera mengunci pintu kamar dan melompat. Hup ... satu lompatan saja sudah cukup, ibu tidak akan mendengarnya karena suara tv yang begitu keras dan salju yang turun bagaikan suara drum.

Aku segara berjalan mengendap-endap keluar pagar rumah, kakiku sudah basah oleh salju hingga mata kaki. Ya Tuhan, aku melupakan sepatuku. Sudahlah, ayo tunggu mobil hijau lumut itu di halte depan.

Gigiku mulai bergetar kedinginan.

--000--

Makasih buat yg udah baca, jangan lupa tinggalkan komen dan vote yaa🙏🙂
Mari bertualang, awalnya sih rada-rada kayak The Boy Sherlock Holmes karya Shane Peacock ya? Ada yg tau?
Semoga betah🙏

AmityWhere stories live. Discover now