06 | Memulai Misi

15 6 4
                                    

Malam itu benar-benar kacau. Aku tak tahu harus ke mana dan kepalaku seakan pecah memikirkannya. Aku terus berlari di Luxumbur Street, berteriak sepanjang jalan dan mengutuk siapa saja yang terlintas di kepalaku.

Aku baru berhenti di dekat persimpangan gedung parlemen dan berbelok ke Barbarosa Street untuk berteduh di bawah pohon gracia tua yang meranggas. Salju sudah tak turun lagi malam itu, tapi rasanya begitu dingin melebihi malam-malam sebelumnya.

Apa dia benar-benar ibuku? Mengapa aku baru tahu sekarang kalau ibu berselingkuh bahkan dengan tetangganya sendiri. Ah ... ayah yang malang di medan perang sana, seandainya dia mendengar kabar ini dariku.

Lampu jalan berkedip-kedip cepat dan aku baru tersadar dari semua lamunanku ketika ponsel Talia berdering. Kurogoh saku jacket dan mendapati nama ANTONY SI KINGKONG TUA TERLANTAR tertera di layarnya. Dia pasti sudah tak sabar ingin menanyakan apa isi data yang kusalin di pesawat UFO itu dan ingin meminta salinannya juga.

Aku memutuskan tak menjawabnya dan membiarkannya saja tergeletak di dekat kakiku. Aku terduduk sambil memangku lutut, menangis.

Sudah delapan kali Antony memanggil dan tak sekalipun posel itu kuhiraukan, kenapa dia gigih sekali. Telepon yang kesembilan kalinya kuangkat dan aku hanya diam saja mendengar apa yang akan di katakannya. Aku tidak ada lagi tenaga untuk hanya sekedar bercerita bagaimana keadaanku sekarang.

“Dave,” ujarnya setengah berteriak. “Syukurlah kau belum tidur. Dave kau harus dengar ini, aku punya masalah dengan ayahku, kau disana, kan? Ini gila, Bung. Aku tidak percaya ini. Ayahku mengusirku, dia bersikukuh bahwa aku bukan anaknya. Demi Tuhan aku tidak berbohong sekarang. Aku tahu sering membohongimu tapi tidak untuk sekarang, Dave, dan kau ingat mobil tua yang kuhancurkan kemaren? Sekarang mobil itu terparkir di bagasi dan tak lecet sedikitpun. Apa yang sebenarnya terjadi? Ayahku yang malang, setahuku dia belum benar-benar pikun.” Antony berhenti bicara dan mengambil napas, sepertinya dia tengah berjalan atau sedikit berlari, napasnya tersengal-sengal.

“Di mana kau sekarang, Dave? Ayahku mengaku bahwa istrinya sudah meninggal dua tahun yang lalu, dia menunjukkan foto istrinya padaku dan kau tahu siapa? Ibunya Talia. Oh Tuhan, aku bisa gila sekarang. Ini benar-benar mustahil.” Dan dia mulai menangis.

Aku seakan tersadarkan dengan sesuatu dan segera berdiri mendengar ceritanya. “Tony, di mana kau sekarang? Aku tahu kau sedang berjalan. Aku di dekat gedung parlemen, di bawah pohon ek. Dan tunggu, ayahmu mengatakan bahwa istrinya nyonya Sophie?”

“Aku tidak berbohong, Dave. Dia menunjukkan foto pernikahan mereka,” jawabnya memelas.

“Di mana kau sekarang, aku akan kesana.” Aku mencari-cari di sekitarku mana tahu dia juga sedang berjalan ke rumahku untuk mencari ketenangan.

Antony tersedu-sedu dan menghapus ingusnya, “Aku di depan gedung parleman, di kursi halte.”

“Baiklah, tunggu di sana. Jangan kemana-mana, oke.”

***

Ketika aku sampai di depan gedung parlemen sebelah utara dan menemukan Antony tegah duduk di atas bangku halte sambil menunduk, dia menggenggam ponselnya dan sesekali menghapus ingus di hidungnya dengan lengan sweeter. Aku mendekat dan menyapanya, lalu turut duduk di sebelahnya.

“Punya masalah menyebalkan, Sobat?” kataku dan sedikit menyenggolnya. “Ibuku juga mengusirku, seolah aku bukan anaknya, dan dia memang bilang begitu. Aku lebih benci lagi ketika John tetanggaku keluar dari kamar dan berkata ‘Ada apa, Sayang,’ pada ibuku, mereka sudah menikah.”

“Apa?” Antony membelalak ke arahku.

“Aku tidak bergurau. Itulah yang terjadi, dan entah bagaimana rasaya ini bukan dunia tempat kita berasal.”

“Kawan, jangan bergurau.” Antony menggelang padaku, air muanya begitu tak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan. “Aku sudah jelaskan padamu sejak awal bahwa aku tidak suka melihat Mars ataupun bulan sabit, katakan padaku di mana kita sekarang, Dave.”

Aku menghembuskan napas, “Maaf, aku juga tidak tahu.”

“Bagaimana dengan Talia?”

Aku baru tersadarkan ternyata ada seorang lagi yang kemungkinan besar juga menimpa peristiwa yang sama. Bagaimana kabarnya sekarang, ya? Ponselnya bahkan  ada denganku. Aduh ... aku benar-benar melupakan Talia begitu saja.

Aku segera berdiri dan mengeratkan tali jaketku, “Sebaiknya kita menemui Talia.”

“Ya, kau benar. Tapi bisakah kau berjalan tanpa sepatu lagi?”

“Ya ampun seharusnya aku mengambil sepatuku. Tapi sudahlah. Ayo, Tony, kita harus pecahkan semua misteri ini. Hei, berhenti menangis dan terimalah apa yang terjadi, aku bahkan hampir melihat ibuku tidur dengan orang lain. Benar-benar sial.”

“Dan ibuku sudah meninggal, kau bayangkan, Dave. Kalau ibuku adalah ibu Talia, lalu siapa ibu Talia di sini? Maksudku di dunia antah berantah ini?”

Aku mengangkat bahu dan mulai berjalan di trotoar yang dipenuhi tumpukan salju. Antony mengejarku sambil memakaikan tali sepatunya yang lepas. Sudah pukul satu sekarang, jalanan sudah sepi dan lampu-lampu jalan berkedip tak beraturan. Sesekali aku sempat berpapasan dengan pria-pria gelandangan yang memegang botol minuman keras sambil menceracau tak karuan. Di antaranya hanya acuh saja pada kami, tapi beberapa yang lainnya mencoba mencegat kami dan meminta uang. Aku hanya mendorongnya saja dan dia langsung terduduk dan berguling, kau pasti tahu kalau orang mabuk kadang tak hanya kehilangan kesadarannya, tapi juga tenaganya.

Kami tiba di depan Trend Shop dengan lampu-lampunya yang gemerlapan dan boneka manekin yang berjejel-jejel di depan tokonya yang hanya berupa dinding kaca, salah satu manekin itu memakai sepatu model terbaru dan perlengkapan musim dingin yang klimis.

Trend Shop adalah mal terbesar di kota kami, bangunannya terdiri dari enam lantai. Pada lantai enam kau dapat melihat rel roller coaster yang menjorok keluar dan berkelok-kelok bagaikan itu adalah kepala ular penjaga gedung.

Antony mengambil batu yang cukup besar dan melempar kaca itu demikian keras.

BLARRR ... kaca itu berhamburan dan lampu-lampu tepi jalan padam seketika. Sempat kudengar suara alarm mobil tapi letaknya sedikit jauh dan sebentar kemudian suara itu tak terdengar lagi. Anjing menggonggong keras bersahut-sahutan.

“Tony!” seruku hendak marah, tapi dia berbalik padaku dan menantangku.

“Aku sudah menarik kesimpulan, Dave. Ini bukan dunia kita dan aku berhak untuk melakukan apa saja sesuka hatiku.” Dia meraih sepatu yang kulihat tadi dengan tangannya sendiri dan meletakkannya di dekat kakiku yang kumal dan memerah. “Ini untukmu, aku tak peduli kita ada di mana sekarang tapi aku tidak ingin kau sakit hanya gara-gara hal seperti ini. Kenakan sepatumu dan kita lanjutkan perjalanan.”



Hwaaaaa... Sorry² baru bisa up🙏
Kmaren sibuk kali euyyy...
Semangat yaaa, silakan nikmati ceritanya, jangan lupa vote sama komen atas kekurangan naskahnya.

Selamat hari rabu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 04, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AmityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang