02 | Mobil Hijau Tua yang Malang

42 16 5
                                    

Dalam hidup ini, kau tidak dapat memilih untuk bertemu dengan siapa saja dan harta karun apa yang akan kau dapatkan. Berpuluh-puluh buku sejarah sepanjang masa telah mengajariku bahwa hidup adalah menjalankan apa yang sudah digariskan, hidup adalah perjalanan dalam seni menikmati.

Pada mulanya manusia tidaklah mengetahui siapa yang berhak disembahnya. Maka ketika gerhana datang, mereka menyembah gerhana, ketika mentari muncul, mereka menyembah matahari, dan ketika badai datang memporak-porandakan ladang gandum merekapun, mereka menyembahnya. Lalu mereka mulai memuja-muja kejadian alam. Mereka beri nama sekehendak hati mereka. Ada dewa laut, ada dewa perang, ada dewa petir, berbagai macam hingga ratusan jumlahnya. Cerita ini digariskan dari generasi ke generasi, terus menerus. Bagi orang-orang Viking dahulu dijadikan sebagai cerita di atas kapal. Akh ... masa di mana sekolah belum tercipta dan raja memanggilkan orang bijak untuk mendidik putra mahkotanya.

Zaman bertukar dan kepercayaan silih berganti, seleksi alam namanya. Hingga datang dimana suatu abad yang tak lagi menuhankan apapun, mereka hidup dengan sesuka hati mereka tanpa takut segalanya akan ada pertanggungjawabannya. Ahli Astronomi sesumbar dengan hitung-hitungannya, ahli filsafat makin menyingkir dari hiruk-pikuk dunia, pakar fisika makin menggila dengan eksperimennya, apalagi laboran yang merusak segala ciptaan Tuhan, mereka menggabungkan kepala bebek dengan kepala anjing, lalu membuat kelelawar berkepala kucing dan berekor tikus, sungguh zaman yang amburadul. Kuharap kalian tidak hidup di zaman seperti ini.

Sekarang ayo fokus dengan piringan terbang itu, apakah itu nyata?

Setelah beberapa kali menggosok telapak tangan dan berharap suhu tubuhku akan dapat menahannya beberapa menit lagi, akhirnya mobil hijau itu datang melenggok-lenggok dari arah Luke Street. Aku segera masuk dan menggigil kedinginan.

"Penghangatnya, tolong penghangatnya," seruku sambil menghembuskan nafas berembun.

"Aku sudah menyalakannya dari tadi, Dave. Tenanglah sedikit, kau membuat kesenanganku terganggu. Aku baru saja membeli album terbaru David Stonger, rasanya benar-benar menenangkan."

Aku mendekap tanganku erat-erat, jaket parasutku tak memberi kesan apa-apa. Oh, tidak, Talia duduk di sebelahku. Antony pasti sengaja mengunci pintu depan agar Talia masuk ke pintu belakang dan duduk di sebelahku, awas saja anak itu.

"Hai, Dave, bagaimana liburanmu? Kau sudah mengerjakan tugas dari Bu E?" Talia menyapaku sambil memberikan syalnya. Entah angin apa yang membawanya hingga aku merasa dia bukan Talia yang biasa.

Aku tertegun sebentar sebelum memutuskan menerima syal itu. "Makasih, Talia, sweeter yang bagus. Tidak ada yang istimewa dari liburanku, selalu di kamar sepanjang waktu. Kau tahu, itu sangat membosankan."

Aku melirik Talia dan sempat melihat pipinya yang merona. Jika kau pernah di musim salju seperti sekarang menggoda seorang wanita, kau pasti akan dengan mudah melihat pipinya memerah.

Antony berdeham, dia menyalakan musik dengan volume rendah. Aku tak merasa dia sedang menyindirku. "Kupikir kau tidak akan ikut," ujarnya tanpa berpaling.

Aku tahu dia baru dua pekan ini mendapatkan izin mengemudi, dan ayahnya sudah memberikan kunci mobil tanpa perlu merasa diawasi lagi, sungguh orang tua yang bijak. Aku hanya berharap dia tidak salah menekan pedel gas dan menyebabkan masalah dengan pihak berwenang.

"Ini penemuan besar, bagaimana mungkin aku tidak akan ikut, yang benar saja. Itu berarti kau juga sudah mengetahuinya, Talia?"

"Semua orang juga sudah mengetahuinya, Dave. Semua lokasi sudah dikunci radius dua kilometer. Lihat itu ...." Talia menunjuk mobil patroli yang baru saja mendahului kami dengan kecepatan tinggi, berikut dua buah tank dengan roda-rodanya yang seperti donat raksasa. "Sekarang kau harus pikirkan bagaimana langkah kita selanjutnya, Dave."

AmityWhere stories live. Discover now