04 | Petualangan Dimulai

16 10 0
                                    

“Jangan sentuh apapun!” ujarku mencegah tangan Antony yang berada di atas sebuah tombol besar berwarna merah. “Kau dengar aku, jangan ... sentuh ... apapun.”

“Baiklah, kurasa aku harus duduk saja sambil menunggu mereka membuka pintu itu dengan dinamit.”

"Siapa yang kau maksud dengan mereka?"

"Alien bodoh itu."

"Oh ya? Apa alien juga punya dinamit?"

"Kuharap tidak."

Talia lebih takjub lagi dengan pemandangan spektakuler ini. Dia mematung saja di depan pintu pertama masuk tadi, tangannya menutupi mulutnya yang kurasa dia hampir tak memercayai penglihatannya sendiri.

“Ini nyata, ini luar biasa. Wow ... kau ingat dengan cerita Black Women, Dave?”

Aku duduk di salah satu kursi. “Yah, itu adalah cerita lama yang menceritakan mesin waktu. Sepertinya kita bisa mengakses sesuatu dengan komputer ini.” Aku berusaha menyalakannya, Antony menatapku bagaikan hendak protes. Tapi dia diam saja dan melihat apa yang kukerjakan. Talia duduk di sebelahku, tak berani menyentuh apapun selain hanya duduk diam bagaikan hari pertama sekolah.

“Hai Dave, kau percaya ini. Kita telah jadi komplotan penjahat dalam beberapa menit,” ujar Tony setelah lama kami hanya saling diam dan aku masih mencoba menyalakan komputernya. “Tiga remaja yang nekat memasuki kapal asing luar angkasa dan diberi penghargaan tertinggi. Aku suka tajuknya."

“Kau yang memulainya, Sir. Kalau kita tak naik mobilmu dan melakukan ...”

“Ayolah, Kawan. Jangan mulai lagi deh,” keluhku pada mereka. “Talia, bisa ambilkan minuman di lemari pendingin itu, sepertinya itu memang minuman.”

Talia bangkit dan mencibir pada Antony, dia mencoba menarik tuas di samping benda kotak yang cukup tinggi itu namun gagal. Dia mencobanya lagi namun juga gagal, lemari pendingin itu bagaikan dikunci dari dalam dan tidak akan dapat dibuka kecuali oleh pemiliknya sendiri. Ada berbagai jenis minuman di dalam sana, kurasa. Kalau saja itu minuman. Pun dengan tulisan yang sama sekali tak kumengerti.

“Dasar payah, terbukalah lemari.” Talia menendang lemari yang hampir sama tinggi dengannya itu. Beberapa saat kemudian lemari itu mendesis dan asap dingin keluar membasuh wajahnya. Talia begitu takjub dengan keberhasilannya, dia segera mengambil tiga botol dengan warna yang berbeda dan membawanya ke hadapan kami sambil tak berhenti tersenyum.

“Usaha tak akan mengkhianati hasil,” katanya berlagak. Antony mencibirnya dengan mengulagi kata-kata Talia dengan gaya merendahkan, hampir saja dia dilempari benda berbentuk tabung itu.

Ketiga botol itu terbuat dari sejenis kaca besi, kalau aku tidak salah, dengan tinggi yang biasanya digunakan sebagai botol air mineral. Isinya sedikit kental bagaikan jelly kelapa yang ditambahkan pemanis rasa beraneka warna, dan pada bagian tengahnya ada semacam benda bundar yag selalu berpendar. Botol itu segi delapan dengan label WOLPIT di bagian atasnya, dengan huruf-huruf aneh yang tak dapat kugambarkan, tapi aku bisa membacanya. Ada tuas kecil di tutup botol seperti kaleng sarden, jika kau bingung bagaimana bentuknya.

“Jangan dibuka,” cegahku. “Kita tidak tahu apa isinya racun atau hanya sekedar minuman dingin. Bisa saja isinya sulfur atau liquid nitrogen, atau juga perasan asam yang diberi ... limonine maksudku.”

Keduanya serempak memelototiku. Talia menekan-nekan bagian atas tabung itu namun tak menghasilkan apa-apa.

“Lalu untuk apa kau menyuruhku mengambilnya?” Akhirnya dia menyerah.

“Ya, hanya sekedar mengamati. Ayolah, apa kalian sama sekali tidak takut? Bisa jadi kita tengah berada di dalam kapal seorang alien. Atau barangkali seorang pembunuh berantai, atau profesor gila yang menemukan hal ini, itu bisa saja terjadi, bukan?”

AmityOnde histórias criam vida. Descubra agora