05 | Hari Paling Buruk

16 7 5
                                    

Ketika aku bangun dan mendapati diriku masih di dalam benda ajaib itu, aku tersadar akan sesuatu. Kaca lengkungannya sudah tidak hitam lagi dan dan aku dapat memandang ke luar. Gelap. Tapi lampu-lampu taman sudah menyala dan orang-orang dengan santai duduk berdua-dua dengan pasangannya menikmati malam. Kubangunkan Talia dan Antony, mereka menghapus mata bagaikan baru saja tidur.

“Apa yang terjadi, Dave?” Talia bangkit sambil terhuyung-huyung, aku membantunya berdiri. Antony berpegangan pada meja proyeksi dan kembali tergelincir.

“Sepertinya kita harus keluar sekarang, ayo.” Aku memapah mereka berdua menuju pintu keluar, pintu itu terbuka sendiri dan menimbulkan bunyi berdesing. Aku tak memikirkan mengapa itu bisa terjadi, pikiranku sedang fokus pada ibuku. Apa alasan yang akan kukatakan padanya nanti? Ini gila, dia mungkin sudah menjual sepeda gunungku.

Suhu di luar sugguh menggigit, entah kami yang baru saja keluar dari ruangan hangat atau memang cuacanya yang dingin. Salju masih teronggok di rumpun-rumpun pohon ek dan pangkal anak tangga taman bermain, masih banyak juga yang turun tapi tidak terlalu tebal.

Kami berjalan ke halte di Xerxes Street, saat kulihat tempat dimana mobil tadi ringset, hanya bekasnya saja yang tinggal, polisi pasti sudah membawanya dengan mobil derek. Kami memutuskan untuk duduk di halte sambil menunggu bus datang.

“Sudah malam,” gumam Antony sambil menyandarkan kepala.

“Ke mana para polisi itu pergi, mengapa dia tak menunggu kita saja, ya? Atau memaksa membuka pintu aneh itu."

“Entahlah, Kawan. Sebaiknya kita cepat pulang dan beristirahat, aku yakin ibuku pasti marah besar. Talia, ponselmu besok pagi akan kuantarkan.”

Talia mengangguk dengan lesu.

Tak lama kemudian sebuah bus berwarna biru muncul, kami segera naik. Sopirnya seorang pria berambut pirang yang memakai topi kerja yang cukup pas di kepalanya. Umurnya barangkali belum genap empat puluh, tapi kurasa dia tampak tua karena beban pikirannya sendiri. Dia menyilakan kami naik dan sedikit tersenyum, bus itu sama sekali tidak ada penumpang kecuali kami bertiga. Nyaris kosong.

“Kalian kemalaman?” ujarnya sambil menekan tombol penutup pintu dan menjalankan mobil. Aku dan Antony duduk di kursi belakangnya, sedangkan Talia duduk sendiri sambil memijit-mijit kepala.

Aku mengangguk, “Hari yang buruk.”
Sopir itu sempat mengamati penampilan kami yang acak-acakan bagai baru saja ditimpa suatu bencana, tapi sepertinya dia terlalu malas untuk bertanya. Dia memilih bicara dengan topik lain, tipikal sopir yang sangat suka bicara.

“Kalian tahu,” mulainya lagi pada kami. “Xerxes sangat sepi sekali jika malam sudah sangat larut begini. Lucunya aku malah menemukan tiga anak kecil seperti kalian di halte taman bermain.”

“Tiga anak kecil yang sudah disebut remaja.” Aku mengoreksi.

“Oh, ya. Berapa umur kalian?”

Antony menjawab dengan malas, “Lima belas.”

“Ya Tuhan ... sudah pukul sebelas!” kataku terkejut ketika melihat jam. Itu berarti sudah sangat lama sekali kami pingsan di dalam sana, setidaknya tiga belas jam.

“Tentu saja, Nak. Aku kan sudah bilang ini sebuah keajaiban. Omong-omong kalian mau ke mana sih malam-malam begini?”

“Kami turun di halte Luxumbur.”

Si sopir memandang kami lewat kaca depan di atas kepalanya dengan heran. “Kalian yakin? Itu sungguh jauh sekali, dan aku tidak sampai ke sana. Tapi aku dapat mengantar kalian jika mau membayar lebih, bagaimana? Jatah lengang hari ini, berharap saja polisi sialan tak akan razia malam ini.”

AmityWhere stories live. Discover now