28

100 7 0
                                    

"Lumayan ramai. Gua kira sepi karena masih pagi," keluh Abi melihat tempat makan cepat saji dengan slogan jagonya ayam yang buka 24 jam.

Airin bergidik ngeri, takut bila sentuhan yang tak ia perkirakan datang dan membuatnya pingsan. Tatapannya bertemu dengan sepasang mata Abi, cowok itu tampak khawatir. Walaupun Airin sudah sanggup menggenggam tangannya, tetapi lain cerita jika Airin tak sengaja terkena sentuhan di tempat ramai dari orang yang tak ia percaya.

"Lo mau nunggu di sini? Biar gua aja yang ngantre. Nanti kita makan di motor." Semenit, dua menit, hingga lima menit, Airin tetap saja bungkam.

"Ai?" Panggilan Abi mampu membuat Airin balas menatapnya, senyuman tipis tanda dirinya akan baik-baik saja langsung terpasang di bibirnya.

"Ayo masuk." Gantian Abi yang bergidik ngeri, jika gadis itu pingsan, masalah runyam akan menyerbunya.

"Lo seriusan?" Airin mengangguk pasti.

"Jaketnya kaitin yang benar. Jangan sampai kulit lo ada yang keliatan barang sedikit pun, dan sarung tangan yang gua kasih jangan sampai lo lepas. Ingat?" Airin mengangguk lagi, entah mengapa sikap Airin yang penurut membuat Abi terkekeh.

"Lo mau gua pakein helm? Biar kepala dan wajah lo enggak bisa kesentuh."

Bibir Airin manyun, ia sudah menguatkan tekad agar saat kencan mereka, Abi sama sekali tak terganggu dengan fobianya. "Cepetan ah, lapar tahu!"

"Oke, kalau lo udah siap."

Ia berniat melindungi Airin dari segala macam bahaya yang mengancam. Maka dari itu, Abi berada di depan. Sebisa mungkin ia bersikap biasa saja saat bocah kecil hampir menabraknya, walaupun di dalam hatinya, ia sempat kesal. Aduh, kalau mau lari-larian di lapangan dong, Dek. Ia menilik keberadaan Airin, gadis itu sepertinya baik-baik saja.

"Pesanan gua ngikut lo aja, gua mau cari meja. Lo yang antre ya?"

Airin dengan lincah menghindari kontak langsung dengan orang-orang yang lalu-lalang. Matanya menyapu penjuru ruangan, mencari tempat yang pas untuknya dan Abi menikmati sarapan. Meja bagian pojok, dekat dengan jendela.

Senyumnya mengembang, dengan cepat ia menuju meja yang ia mau. Tinggal beberapa langkah lagi, langkah Airin terhenti kala bocah laki-laki menabraknya dengan es krim di tangan kanan, membuat celana bahan berwarna biru dongker yang Airin kenakan mau tak mau dijadikan korban.

Wajah Airin berubah kaku, badannya sedikit lunglai, dan pikirannya kosong. Kesadarannya kembali kala wanita berumur kisaran 30 tahunan meminta maaf kepadanya.

"Sekali lagi saya minta maaf ya, Mbak." Untung saja kulit Airin sudah dilindungi oleh pakaian yang ia kenakan. Jika tidak, mungkin gadis itu akan pingsan di tempat.

Airin menggeleng pelan, sembari memasang senyum tipisnya. Ia berujar lirih, "Enggak apa-apa kok, Bu."

"Seumuran anak saya memang lagi aktif lari-larian, saya yang nyuapinnya aja capek ngejarnya." Tanpa ditanya, wanita itu mengeluarkan keluh kesahnya.

"Iya, ya, Bu." Hanya itu yang bisa Airin ucapkan, ia bingung harus membalas keluh kesah wanita yang tak ia ketahui namanya seperti apa.

"Ai? Kenapa?" Abi memanggilnya dengan membawa nampan, di atasnya berbagai macam menu yang cowok itu pesan.

"Loh, Tante Ara?" Belum sempat gadis itu menjawab bahwa dirinya tidak kenapa-napa, tetapi nada kaget Abi saat menyapa wanita itu membuat bibirnya bungkam.

"Eh, Abi? Udah berapa lama enggak ketemu?" Wanita yang bernama Ara itu tak kalah kaget melihat wajah anak sahabat sang suami.

Abi tersenyum. "Baik. Tante sekeluarga gimana?"

"Alhamdulillah baik. Tante sama om udah lama banget loh enggak ketemu papa kamu. Sibuk ya?"

Senyumnya berubah menjadi kecut. Abi bingung harus menjawab seperti apa, ia hanya bisa mengangguk pelan.

"Duluan ya, Tan," pamit Abi, tak memiliki niat untuk mengenalkan Airin ke sahabat ke dua orangtuanya itu.

Pasti akan sulit menjelaskan, bahwa Airin belum terbiasa berjabat tangan. Jika gadis itu mampu, kemungkinan besar pertanyaan-pertanyaan yang menjebak mereka akan terlontar. Mulai dari sarung tangan yang dikenakan atau mungkin, pakaian Airin yang seperti takut bila terkena virus.

"Lo kenal?"

Kepala Abi mendongak, menatap Airin yang kebingungan. "Tante Ara? Dulu sering main ke rumah bareng suaminya--Om Angga."

"Oh, gitu. Sahabatan?" tebak Airin membuat Abi mengangguk.

"Buka dulu sarung tangannya, cuci tangan. Di sini enggak ada kobokan." Airin mengangguk, di gadis itu cuci tangan, Abi menyiapkan sarapan mereka.

Nasi dan ayam yang awalnya satu tempat, ia pisahkan agar Airin tinggal memakannya saja. "Sekalian tadi gua ambil saus."

"Baru aja mau gua ambil pas gua cuci tangan. Eh, lo udah duluan. Jaga meja, gua mau cuci tangan juga."

Di tempat Airin duduk, kepalanya memikirkan sesuatu. Ia menerka-nerka tentang apa yang dialami Abi. Keluarga cowok itu sepertinya sudah tak utuh, tetapi kerabat mereka masih mengira bahwa keluarga Abi baik-baik saja.

"Ngelamunin apa, Ai?"

Pipinya mengembung lucu, ia mengedikkan kedua bahunya. "Keluarga lo."

Tak ada raut kaget di wajah Abi, ia tahu bahwa Airin akan kepo cepat atau lambat. Semenjak dirinya tak sengaja bercerita tentang keluarganya di kamar Airin saat itu.

"Papa pergi ninggalin gua. Sakit hati karena cinta pertamanya menikah."

"Secara baik-baik?"

"Kalau secara baik-baik namanya piknik, bukan pergi ninggalin keluarganya, Airin," gemas Abi.

"Kan gua enggak tahu."

"Cinta pertama papa, suaminya Tante Ara." Airin berpikir sejenak, matanya membola, tak menyangka dengan apa yang ia dengar.

"Dari masa putih abu-abu. Kabar papa yang suka sama Om Angga udah diketahui sama mama dan Om Angga sendiri. Kehadiran gua, karena kecelakaan seperti cerita fiksi pada umumnya," lanjut Abi setelah meneguk soda yang ia pesan.

"Lo baik-baik aja?" Hanya itu yang bisa Airin lontarkan. Ia sibuk menerka-nerka bagaimana perasaan cowok itu sejak dulu, sejak papa meninggalkan keluarganya.

Abi mengangguk. "Sekarang udah enggak masalah. Dulu, kondisi gua kayak lo. Marah, kecewa, bahkan jijik sama diri gua sendiri. Takut, semisal apa yang papa suka jadi turun ke gua. Marah sama diri sendiri, kenapa gua bisa lahir di dunia ini? Kalau gua enggak lahir ..., gua yakin mama pasti enggak ngerasa dunianya seberat ini."

"Gua sembunyi dari dunia luar, menyembunyikan fakta bahwa papa gua enggak normal. Tapi, semakin lama gua sadar. Rasa suka yang ada di hati, yang ngebuat dia berdebar, enggak ada yang bisa ngatur. Perasaan itu bisa datang kapan saja, bahkan orang yang kita sukai kadang enggak kita kira."

Abi teringat saat ia meledek Laksa yang menyukai gadis di hadapannya. Siapa sangka, saat ini ialah yang jatuh hati terhadap pesona Airin dan berhasil mengajak gadis itu kencan.

"Sama kayak gua yang dulu anti elo, karena sikap lo yang sok tahu dan suka ikut campur. Tapi, tadi pagi gua ngerasa hati gua menghangat atas perlakuan manis yang lo rancang," aku Airin sedikit canggung dengan euforia baru yang ia alami.

Tak ingin merusak suasana romantis yang dibangun Airin tanpa sengaja. Abi menyatakan ajakannya, "Pacaran, yuk?"

***

Don't Touch✅Donde viven las historias. Descúbrelo ahora