9. The Wedding

7.3K 775 8
                                    

Kondangan itu reuni yang tak disengaja.

-Kampret yang bertemu seseorang.


Taksi yang kunaiki sudah memasuki area gedung pernikahan yang sudah di desain mewah dan cantik. Ada unsur-unsur sunda di setiap sudut dekorasi. Tema warna resepsinya adalah nude. Aku sudah menyesuaikan baju dengan warna pengantin agar tidak terlihat mati saat difoto dan agar tidak disangka keluarga besar.

Aku turun dari taksi sembari mengetikan sesuatu di grup.

Bebas Tugas

Kinan : Posdim?

Bram : Pintu masuk. Antri

Kinan : Tungguin!

Aku menoleh mencari sosok Bram yang seharusnya terlihat dari jauh dia kan besar. Hehe. Itu dia. Aku berjalan cepat menghampiri Bram.

"Lumayan ada shortcut." Ujarku menyenggol lengannya.

Bram menoleh menatapku. "Lumayan dapet gandengan," Dia tertawa jahil "Lo cantik amat ya kalo kondangan. Tiap hari kayak begini."

"Besok ya kalo udah beli mobil" Aku tersenyum sambil menggandeng lengannya yang gempal. Bram ini sangat jujur orangnya. Kalau cantik ya bilang cantik, kalau jelek ya jelek. Tidak pernah pura-pura bilang jelek padahal cantik.

Aku hari ini mengenakan kebaya berwarna hijau pastel yang cukup kalem, jadi kalau dilihat dari jauh gampang dibedakan. Karena aku yakin tidak banyak orang memakai hijau. Bawahan kain batik dengan dasar putih, dan high heels 10 cm berwarna hijau senada. Rambut dibuat semi-kepang ala elf-elf cantik di film fantasi. Ditambahkan jepit cantik khusus kondangan. Aku sengaja tidak ingin terlihat formal banget. Sehingga rambutku tidak digelung.

Aku dan Bram sudah memasuki deretan panjang karpet merah. Bram yang sedari masuk sudah menelaah apa saja menu katering hari ini, seperti tidak tenang. "Sabar dulu. Nggak usah ngiler gitu lah." Aku menyenggol Bram.

"Duh lama banget sih ini antrinya, Ranita ngundang berapa kampung sih?" Bram melongok ke depan untuk memastikan seberapa lama dia harus bersabar. Deretan antrian panjang merayap perlahan di atas karpet merah. Sepertinya suami Mbak Ranita ini memang orang yang cukup penting. Aku dengar dia bekerja di bisnis properti yang cukup ternama.

"Eh, gue ntaran aja deh nyalaminnya. Gule kambingnya udah memanggil-manggil nih." Bram kemudian menyelinap keluar antrian tanpa tahu malu.

"Eh jangan dong," aku mencoba meraih lengan bajunya tapi tidak sampai. "Eh yah, rese banget sih." Ucapku memelas. Kelemahan Bram adalah makanan. Hal yang paling dia benci adalah ketika makanannya diambil orang, kecuali aku yang ambil.

Aku yang sedang bersabar menunggu antrian yang semakin dekat melihat sosok yang sangat akrab. Seseorang yang harus kuhindari. Dewangga bergegas melesat ke arahku saat mata kami berpapasan. Oh no! Aku masih sangat malu dengan kejadian terakhir kali saat lembur itu. Perutku tiba-tiba mulas saat merasakan dia sudah berdiri di sebelah kananku. Kami sudah sejajar di barisan karpet merah.

"Sendiri?" katanya tiba-tiba tanpa menyapa.

"Sama Bram Pak tadi." Aku meringis sambil enggan menatap wajah Dewangga yang saat ini sangat terlihat fresh dan glowing. Dia memang cenderung metroseksual, aroma parfum yang dia kenakan saja sangat khas dari sebuah merek yang aku saja tak akan sanggup membelinya.

"Ooh." Dia menjawab dengan nada menghina.

"Apa tuh Pak maksudnya?" Tanyaku tersinggung.

THE DEADLINE  [FINISHED]Where stories live. Discover now