21. Kambuh!

5K 601 3
                                    

Jomblo saat lagi sakit adalah ketidakmujuran yang beruntun.

-Jomblo yang goyah.


"Kinan?" Aku seperti mendengar sebuah suara entah dari mana. "Nan."

Aku mencoba membuka mataku yang berat. Seperti seberkas cahaya melintas dalam hitungan detik kemudian aku baru menyadari bahwa aku terbaring di sebuah ranjang empuk. Lampu panjang terang tepat diatasku membuatku menyipitkan mata, silau. Aku mengalihkan pandanganku dari sana menuju ke sisi kiri terdapat sebuah infus yang menggantung di tiang statis.

"Nan." Sebuah suara yang sama berasal dari kanan ranjangku membuatku mau tak mau menoleh. Dewangga sudah berdiri di sisi kanan memperhatikanku dengan kening yang berkerut dan tatapan seolah meminta jawaban.

"Hah?" Hanya itu yang sanggup keluar dari mulutku. Itupun sudah membuat kerutan di kening Dewangga menghilang. Tapi dia masih saja dingin, tidak tersenyum.

Aku merasakan pusing kepalaku sudah tidak terlalu sakit lagi, saat aku mencoba bangun tangan Dewangga menahan pundakku. "Tiduran aja." Katanya. Aku menurut.

"Udah bangun?" Suara Icuk terdengar mendekat dari luar memasuki bilik kamarku. Dewangga hanya mengangguk ke Icuk yang sekarang sudah berdiri di depanku.

"Gimana Nan rasanya? Ada yang sakit nggak?" Tanya Icuk padaku.

"Udah mendingan kok. Aku pingsan berapa lama?" Tanyaku lirih. Tenggorokanku yang masih tidak enak membuatku kesulitan berbicara lantang.

"Sejaman," Dewangga angkat bicara. "Kata dokter kamu alergi kacang, tahu gitu kenapa sih makan kacang. Katanya juga karena kamu belum makan apa-apa dari tadi mag kamu kumat."

Aku hanya terdiam menatap Dewangga yang entah dia berniat menjelaskan atau apa tapi rasanya nadanya terdengar seperti aku yang sedang dimarahi. Aku mengerutkan keningku tidak mengerti.

"Maksudnya tuh lo tahu alergi kenapa makan kacang sih Nan?" Timpal Icuk menengahi, mungkin dia menyadari kebingunganku.

"Tadi roti yang dikasih pacarnya Jordi ternyata mengandung kacang. Udah terlanjur makan, orang laper." Aku menghembuskan nafas mengingat kejadian tadi.

Dewangga tampak ingin mengatakan sesuatu namun ditahannya. Aku bisa melihat rahang dan otot-otot pelipisnya mengeras.

"Yaudah, lo makan dulu deh. Lo boleh milih nginep disini semalem atau mau langsung balik. Gue udah telpon Nadir temen lo, kalo mau nginep biar dia nungguin lo disini." Papar Icuk panjang lebar.

"Balik aja dong, gue nggak bisa tidur kalo disini." Aku hampir jarang sekali dirawat inap di RS dan lagi pula aku bisa benar-benar tidak bisa tidur kalau di RS.

"Halah takut kan lo.." Cengir Icuk yang berhasil membuatku tertawa. Disisi lain Dewangga hanya membeku entah apa yang dipikirkannya.

**

Aku mengambil ponselku untuk berkaca, melihat ruam ruam merah disekitar bibir dan beberapa di pipiku. Untung saja besok hari sabtu, ditambah lagi pekerjaanku memang sudah selesai. Jadi aku tidak perlu ke kantor dulu. Karena biasanya kalau sedang kambuh begini aku akan diare sehari-dua hari.

Dokter juga sudah memberiku obat untuk alergi dan magku. Aku juga tidak menunjukan gejala lain, sehingga aku sudah boleh pulang. Dewangga memarkirkan mobilnya tepat didepa rumahku. Icuk sudah turun tadi karena secara jalur arah kami melewati daerah rumahnya dulu baru rumahku.

THE DEADLINE  [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang