25. Drama Hati

4.7K 568 8
                                    

Dibalik lelaki yang tampan sempurna

Ada perempuan disisinya yang lebih paripurna

-Jomblo yang tahu diri


Jumat ini aku, Mas Feri, Bang Dira dan Bram memutuskan untuk langsung ke Rumah Sakit setelah mendapat kabar bahwa Mbak Ranita dirawat karena kecelakaan. Kami bertiga semobil dengan Bang Dira sedangkan Mas Feri membawa mobil sendiri.

Mobil sudah terparkir rapi di basement RS. Aku keluar sembari mengecek ponsel mencari chat Mas Feri mengenai nomor kamar Mbak Ranita.

"Mas Feri udah sampek nih, nomor 401 lantai 4." Ujarku.

Kemudian dua manusia didepanku dengan gesit memasuki lift pengunjung dan memencet tombol 4.

"Eh katanya Rara di serempet bis apa truk ya kemarin?" Ujar Bram memecahkan suasana.

"Lho kata Icuk kena bajaj." Bang Dira menyanggah.

"Mobil ya mobil. Kalian nih infonya ga valid semua deh." Celetukku.

"Lo dari siapa emang Kin?" Bang Dira menatapku.

"Dari yang bersangkutanlah." Aku menunjukkan chatku dengan Mbak Ranita.

Keduanya hanya melongo membentuk huruf O saja, mengetahui bahwa infoku benar adanya. Aku memasuki ruangan kamar tempat Mbak Ranita dirawat. Tampak Mas Feri yang sudah berdiri dengan suami Mbak Ranita.

"Assalamualaikum." Sapa Bang Dira memasuki ruang VIP dengan santai. Dibalas dengan lambaian tangan Mas Feri dan yang lainnya termasuk Mbak Raniata.

"Gimana Mbak, udah mendingan?" Tanyaku.

"Yah lumayan Kin, apalagi lo pada kesini semua kayanya sih langsung sembuh. Haha." Ujar Mbak Ranita yang masih bisa bercanda.

"Eh Ran masa kata Bang Dira lo keserempet sama Bajaj, idih kan nggak keren amat ya." Canda Bram.

"Eh itu gue denger dari Icuk ya, dari pada lo tadi bilangnya truk. Serem banget." Bang Dira menepuk pundak Bram.

"Parah kalian nih." Mas Feri hanya menggeleng-geleng tertawa begitu juga suami Mbak Ranita.

Aku bisa merasakan ponselku bordering pelan, kemudian memberi isyarat untuk mengangkat telepon sembari kabur keluar. Aku menerima panggilan dari Dewangga setelah duduk di lobi lantai 4 yang tidak terlalu jauh.

"Halo?" Jawabku.

"Kinan, lo masih di RS?" Dewangga terdengar santai, sepertinya dia sedang di jalan.

"Iya Pak."

"Coba kirim nomor ruangannya Ranita berapa, ini gue mau kesana," Perintahnya. "Eh kalo jenguk orang sakit enaknya bawa apa ya?" Tanya Dewangga tiba-tiba.

"Ya macem-macem Pak, paling sering ya buah apa kue." Aku mengerutkan kening mengingat-ingat.

"Paling sering? Memang udah survey?" Tanggapan dari Dewangga memang selalu mengejutkan.

"Hah? Kok survey segala." Aku gagal paham.

Dewangga hanya merespon dengan tawa sebentar, kemudian menutup pembicaraan kami begitu saja. Aku mengerutkan kening sembari memutuskan turun ke lantai satu untuk membeli minum di minimarket.

Untuk menuju ke lift lantai empat aku perlu melewati lobi utama. Di lobi utama ada bagian informasi dan dua jalur lorong yang berseberangan dengan lorong tematku berdiri. Di seberangku tampaknya untuk khusus bangsal VVIP yang dari desainnya saja sudah tampak lebih mahal dari bangsal Mbak Ranita.

Dari tepatku berdiri aku dapat melihat beberapa suster sedang lalu-lalang mendorong troli berisi peralatan dan seorang pengunjung pria. Dia berdiri tampak belakang namun terlihat tidak asing. Parasnya tinggi dengan pakaian hem putih dikeluarkan, lengan dilinting.

Kemudian dia memasukan ponselnya ke saku celana sembari menoleh kekanan saat pintu ruangan terbuka. Aku dapat melihat jelas dari balik pintu kaca bening, bahwa orang itu adalah Gilang. Sesaat nafasku terhenti, apa yang dia lakukan disini?

Kurang dari sepersekian detik, dia merentangkan kedua tangannya meraih sosok perempuan yang keluar dari ruangan, menangis. Pintu ruangan itu tertutup kembali membuatku makin yakin bahwa aku sedang menyaksikan Gilang memeluk perempuan yang kini menenggelamkan wajahnya didada.

Apa ini? Ini benar-benar terjadi didepanku. Aku tercekat, kuurungkan langkahku. Rasanya dimensi disekitarku berhenti sejenak. Kusadari beberapa pergerakan Gilang mengelus pelan kepala si peremuan ini kemudian mengecupnya. Adegan yang cukup membutaku mengerjap sadar bahwa aku harus beranjak.

Entah apa yang kurasakan saat ini namu rasanya aku hanya ingin cepat enyah daari sini. Kulangkahkan kakiku yang gontai menuju lift yang tidak jauh dari sini. Dikepalaku sedang mencoba berfikir realistis, dan memunculkan segala kemungkinan. Siapa dia? Kalau Gilang sedekat itu dan tampak sangat perhatian apakah dia memang pacarnya. Atau teman? Saudara?

Aku sudah berada di lift dengan memikirkan segala kemungkinan namun, buntu. Perasaanku campur aduk dan aku benci ini. Dari awal yang aku takutkan terjadi, bagaiman kalau sebenarnya Gilang sudah punya pacar atau at least someone special. Bagaimanapun juga, lelaki setampan Gilang pasti dikelilingi perempuan yang jauh lebih sempurna secara visual.

Pintu lift terbuka, aku terlambat menyadarinya sehingga seseorang didepan lift sudah menahan pintu agar tidak tertutup lagi. Kulangkahkan kaki ini dengan pikiran yang entah melayang sampai mana membuatku benar benar tidak fokus. Aku yang sedari tadi menunduk, tersadar bahwa kepalaku menabrak keras orang didepanku.

"Auw!" Aku mengelus kepala sambil mendongak. "Maaf.." Dewangga? Shit!

Air wajahnya yang datar menatap kebodohannku. "Kalo mau ngelamun di rumah." Sapanya ramah sekali kan, tapi aku sedang malas menanggapi.

"Permisi Pak." Aku hanya menundukan kepala kemudian berjalan keluar tanpa menghiraukan Dewangga, saat ini aku benar-benar ingin sendiri.

**

"Kinan kok lo banyak diemnya sih akhir akhir ini gue perhatiin." Icuk menyenggol lenganku. Aku hanya menoleh malas mengangkat alis.

"Tuh kan! Nih nih kaya gini nih yang gue males sama cewek-cewek tuh. Nggak ada apa-apa tahu-tahu diem. Kalo ditanyain baik-baik berlagak nggak ada apa apa. Lo nggak usah main kode-kodean dong!" Icuk mengoyak bahuku kencang.

"HIIH!!" Aku menepuk balas makin sebal. "Berisik banget sih Cuk!"

"Hehe.. ya habis lo tuh kenapa sih. Bad mood mulu seharian biasanya kan lo bad mood Cuma sejam dua jam." Sanggah Icuk.

"Emang keliatannya gitu?"

"Keliatan banget dong anak SD lagi ngambek."

"Rese lo!"

"Cerita dong cerita." Icuk menawarkan.

"Cerita sama lo tuh nggak dapet solusi, asli."

Icuk bersedekap. "Iya sih, terus lo maunya gimana?"

"Temenin timezone yuk!" aku memutuskan untuk bersenang-senang demi menghilangkan pemikiran tentang Gilang.

"Yaelahh!" Icuk mengerang bersiap angkat pantat dari kursinya.

"Pliss!!" aku menarik lengan jaket nya.

Kini giliran Icuk yang menghela nafas sangat panjang.

***

THE DEADLINE  [FINISHED]Where stories live. Discover now