Belum Mengantuk

369 34 16
                                    

- OLD COVER -

- OLD COVER -

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••


April 2005

Kami belum pernah merasakan dinyanyikan lullaby penenang ketika tidur. Kecuali mendengarnya dari suara fals audio music box yang berada di atas meja. Seringkali kami menerima sentuhan-sentuhan kecil  ketika belum benar-benar terlelap, dan kami terlalu takut untuk membuka mata dan melihat siapa pemilik tangan yang menyentuh puncak kepala kami di tengah malam.

Kami ditidurkan di ranjang yang berbeda, serta pembatas kayu yang menjaga kami kala malam datang. Kami diberikan sepatah kata Selamat Tidur namun kami tak mau membalasnya. Karena pada saat itu, yang bisa kami lakukan hanyalah menangis dan tertawa.

Aku menatap wanita yang sekarang kutahu ia adalah bibiku. Ia tersenyum pada kami berdua dan menutup pintu kamar. Walau belum genap setahun, aku sudah bisa merasakan bahwa mata ini belum tersentuh kantuk.

Aku berdiri dengan susah payah. Mengeluarkan kata, "Hey" dengan agak sulit. Aku berhasil berdiri dengan tangan yang berpegangan pada kayu ranjang. Aku mencoba memanggil anak kecil di depanku, yang seprainya berwarna biru.

Anak bayi itu tidur terlentang, kakinya menendang-nendang angin. Ia menoleh kepadaku. Aku melihat ia tengah menggigiti jari-jarinya dengan gusinya dan empat giginya. Ia tersenyum padaku, tak ada tanda mengantuk sama sekali. Rupanya, kami sama-sama memutuskan untuk mengucapkan selamat tidur satu sama lain terlebih dahulu.

Aku senang ia belum menutup matanya. Ia melirikku dan memperlihatkan seluruh bagian depan mulutnya.

"Ek ap! Ek ap!" Aku bersuara.

Rupanya anak itu mengerti apa yang kuperintahkan. Ia lalu membalikkan badan dan bertumpu pada kedua telapak tangan dan lututnya. Ia juga mencoba berdiri dengan susah payah, namun tampaknya usahanya lebih cepat berhasil ketimbang aku.

Ia berdiri di atas kasur. Kami saling meneriakan kata, "hey" sebagai percakapan malam kami. Ia terus menyebutkan kata yang sama selama dua menit. Padahal niatku hanya untuk menyapanya saja.

Kami saling menggoyangkan tangan satu sama lain. Tangan mungilnya meraih mainan gantung yang berada di atas kepalanya. Aku pun ikutan meraih mainan unicorn yang ada di atasku, mencoba memperlihatkan kepadanya bahwa punyaku berwarna pink karena  aku adalah seorang anak perempuan.

Anak di depanku ini akan menjadi seorang lelaki gagah suatu hari nanti. Ia akan menemaniku tumbuh dewasa dan merayakan ulang tahun di hari dan bulan yang sama. Itu akan terulang setiap tahun. Aku akan menyaksikannya memperoleh semua hal dalam hidup, dan kami akan sama-sama berjuang. Kami sudah tahu garis takdir yang satu itu walaupun kami belum mengenal satu sama lain. Aku tak tahu ia berasal dari mana, tetapi kami selalu dipakaikan baju yang serasi. Kami selalu sarapan di meja yang sama, bahkan dimandikan di bathtub yang sama.

Orang-orang dewasa disekitarku sering memanggilnya Alex.

Ia memiliki mata biru gelap. Berbeda denganku yang beriris coklat. Kami berambut pirang. Hanya saja milikku sedikit berwarna kehitaman. Terdapat bintik-bintik disekitar hidungnya yang lancip. Sedangkan aku hanya memiliki flek-flek hitam yang berpendar dan pudar di sekitar hidungku yang bulat.

Kami anak kembar, tapi tidak seiras. Hanya pada ekspresi-ekspresi tertentu, kami terlihat mirip.

Alex manis sekali. Ia menguap lebar. Aku tertawa dengan keras. Ia melambaikan tangan dan jatuh tertidur. Badannya yang mungil menggeliat lalu membelakangiku. Aku masih berdiri menatapnya. Merasa sepi, aku mulai mengikutinya. Menggeliat lalu terpejam.

~

Tak kusangka, lelaki setampan dia akan sulit sekali jatuh cinta. Bukan tidak ada yang mau, namun ia malas mencari. Katanya, gadis-gadis di Surrey tidak seasik kriterianya. Ketika kutanya bagaimana tipenya, ia tak pernah mau menjawab.

Maka, tugasku sebagai saudari kembarnya adalah membantunya untuk menemukan pasangan hati yang cocok. Entah kapan masa pubertas itu akan datang pada kami. Tapi, aku tahu suatu hari nanti ia akan menikah. Dan aku harus membantunya melewati fase itu. Tapi, inti cerita kami bukan hanya tentang hal awam itu saja. Alex senang membuat kejutan, dan aku senang menghiburnya.

WAKE ME UP WHEN I SLEEP [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang