Sepanjang perjalanan, Paman Peter terus mengajak kami berbicara untuk menghilangkan rasa sepi di dalam mobil. Ia berhasil mencairkan suasana yang agak menegangkan di antara kami bertiga. Ia mungkin menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres yang menyebabkan aku dan Alex rela melawan dinginnya malam di Effingham, tanpa memakai baju hangat dan tidak membawa ponsel.
“Seratus meter lagi kita sampai,” Paman Peter memutar stir dan mengklakson anjing liar yang hampir tertabrak.
“Kalian mau makan apa malam ini?”Aku dan Alex saling melirik canggung. Sempat tercetus bahwa mungkin kami berdua lebih baik meminta untuk diantar pulang saja. Tetapi Paman Peter terlihat sangat mengerti dengan kondisi kami karena ia terus bertanya apakah kami berkenan untuk menginap di rumahnya selama beberapa malam.
Alex menyenggol sikutku. Aku tertawa canggung, “Apa pun itu pasti enak.”
Alex mengangguk cepat, berharap jawabanku bisa menyudahi pertanyaan secepatnya. Pamar Peter hanya menjawab, "Alright," dengan ceria lalu fokus menyetir. Sesekali, mulutnya mengikuti alunan musik religi dari stereo. Alex bersandar ke bahuku. Kami merasa tenang.
Hingga beberapa menit berlalu Paman Peter berhasil membawa kami ke dalam satu lingkungan rumah yang begitu besar dan elit.
Alex membuka mulutnya takjub. Aku hanya bergumam membentuk kalimat, ‘aku tahu’ tanpa mengeluarkan suara.
Bangunan di depan kami baru sebatas rumah prairie yang kami tahu itu merupakan kantor khusus para karyawan di sini. Namun, gerbang kedua yang terbuka sendiri menampilkan air mancur raksasa yang menjadi penyambut kami untuk menatap rumah yang jauh lebih besar lagi.
“Sejak dulu aku selalu berharap akan tinggal bersamamu di bangunan victoria modern seperti ini!” Alex berbisik namun cukup terdengar oleh Paman Peter.
“Kau bisa tinggal di sini kapan saja kau mau,” respon Paman Peter membuat Alex sumringah.
Rumah putih besar yang sedang kami lihat hampir tidak memiliki cela cacat satu pun. Bagian depan rumah dikelilingi kaca yang mengarahkan langsung ke dalam interior ruangan. Tiang-tiangnya tinggi menjulang di sekeliling rumah.
Ban masih melaju di atas jalur bebatuan yang mengarahkan kami ke dalam garasi beratap melengkung. Ketika mobil memasuki garasi, lampu-lampu di dalamnya menyala dengan sendirinya.
Alex menggeleng takjub. Aku mencubit pelan lengannya. “Biasa saja.” Aku memperingati. Ia membuat isyarat ok dengan tangannya.
Paman Peter turun begitu pun dengan kami yang mengganti sepatu roda dengan dua sandal rumah berbulu di rak sepatu di sisi garasi—kami langsung dihadapkan dengan pintu kaca berukir emas—dulu aku sempat bertanya-tanya apakah emas tersebut asli, tetapi Paman Peter hanya tertawa.
“Follow me, Kids.” Paman Peter berjalan di depan kami. Ia membuka pintu dengan kartu identitas di tangannya dan pintu berklik terbuka. Aku tersenyum mendengar panggilan khas beliau untuk kami berdua, yang sejak bertahun-tahun yang lalu tak pernah berubah.
“Terakhir kami ke sini patung phoenix itu masih ada paruhnya,” Alex berujar, tangannya menunjuk lurus ke patung phoenix di depan lukisan kuda. Benar. Terakhir kami berkunjung ke sini sekitar tiga tahun yang lalu ketika Miller mau membuka kerjasama dengan keluarga Ferrington.
Paman Peter tertawa, terus tersenyum menatap kami berdua. Aku tahu, jauh di dalam benaknya ia pun sedang bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada kami. Aku dan Alex terus memasang tampang seolah tidak terjadi apa-apa. Kami agak tertantang melakukan hal itu.
Kami terus melangkah dan Paman Peter berhenti tepat di bawah tangga raksasa melengkung yang mengarah entah ke lantai berapa.
“Jade! Our kids are coming for dinner!” Paman Peter berteriak, seiri rumah menggema. Aku dan Alex saling merapatkan diri, terus menyunggingkan senyum untuk menghormati keramahan Paman Peter pada kami.
Aku menunduk, menatap kedua kakiku yang diselimuti bulu berwarna biru. Sejujurnya aku malu sekali. Tapi aku tidak mau terus tenggelam dalam kekhawatiran akan apa yang sedang terjadi di rumah asliku. Miller, Albert dan Robert pasti sedang bertengkar dan berdebat mengenai kepergian kami.
Seorang wanita jangkung cantik berdarah Inggris-Perancis menuruni tangga dengan anggun. Ia memakai piama panjang dan terkejut melihat kedatanganku dan Alex yang tiba-tiba.
“Oh My Goodnessake!” Bibi Jade menuruni tangga dengan cepat dan langsung memelukku dan Alex. “Oh Tuhan.. aku sudah sangat merindukan kalian berdua.” Tangan kanan Bibi Jade mengusap pipiku, dan tangan yang satunya lagi mengusap pipi Alex.
“Aku juga merindukanmu,” balasku dan Alex bersamaan lalu kami tertawa atas ketidaksengajaan alamiah itu.
“Jade. Siapkan kamar untuk tamu kita yang manis-manis ini.” Paman Peter melambai kepada kami dan menaiki tangga.
Bibi Jade menoleh pada kami berdua. Seketika raut wajahnya mengendur sedikit. “Kalian terlihat pucat. Ayo akan kuantarkan kalian ke kamar, ya.”
Tidak perlu berlama-lama bagi Bibi Jade untuk menebak apa yang kiranya sedang terjadi pada kami. Ia menggandeng tanganku dan Alex seolah-olah kami adalah anak kembarnya yang telah hilang berbulan-bulan.
Bibi Jade dulunya seorang model, dan kecantikan itu belum luntur sampai sekarang. Kini dia bekerja sebagai seorang pakar ekspresi di kepolisian Effingham. Jadi mustahil bagiku dan Alex untuk terus bersandiwara dengan tawa-tawa palsu di bawah sorotan mata kami yang mungkin saja menunjukkan kegelisahan yang mendalam.
Bibi Jade menunjuk sebuah kamar dengan dua pintu putih besar kepada kami. Lalu ia mengeluarkan kunci dari saku piamanya dan membuka pintu kamar. Di sana, ada dua ranjang bersprei putih dengan gorden besar yang kini tertutup. Ada rak buku, tv, komputer, dan semua perlengkapan kamar seperti hotel bintang lima.
Aku dan Alex tersenyum lebar.
“Ini lebih dari cukup,” Alex bergumam dan langsung berlari dan menghampiri tirai lalu membukanya. Pemandangan di luar menampakkan air mancur dan taman bunga halaman depan. Benar-benar pemandangan yang hebat!
“Terima kasih banyak!” ucapku riang. Bibi Jade merentangkan kedua tangannya dan memelukku. Tangannya mengusap rambutku lembut dan menaruh bibirnya di puncak kepalaku. Pelukan seorang ibu, pelukan seorang wanita yang selama ini kuharapkan.
“Sama-sama, Sayang…” jawab Bibi Jade lalu melepaskan pelukanku. Alex berbalik dari tirai dan terbatuk.
“Astaga mungkin masih berdebu. Akan kuminta Agatha untuk membersihkan jendelanya, ya. Aku akan menyiapkan makanan untuk kalian,” kata Bibi Jade ramah. Nama asisten rumah tangga di sini pun persis seperti Agatha di rumahku.
“Bolehkah aku membantumu memasak?” tanyaku penuh harap. Bibi Jade kembali mengusap rambutku.
“Kau tampak lelah, Sayang. Istirahat saja, ya," Bibi Jade menolak dengan sangat halus, lalu tubuhnya yang jangkung menghampiri pintu. Aku berpikir mungkin Bibi Jade menangkap ekspresiku yang lelah. Karena ketika Bibi Jade berbalik, Alex langsung mengucek matanya sepeti memberi isyarat bahwa mataku terlihat bengkak karena menangis.
Aku dan Alex pun melihat sekeliling kamar ketika Bibi Jade dihampiri oleh seorang lelaki di pintu.
“Mum?” panggil lelaki itu. Aku dan Alex menoleh.
“Walau aku seorang lelaki, tapi aku berhak menilai bahwa dia semakin tampan, Emma!” Alex menggerakkan bibirnya dengan gigi yang tidak membuka sedikit pun.
Bibi Jade menoleh kepadaku dan Alex—mungkin ia mendengarnya—lalu lanjut berbincang dengan Tom.
Aku menatap baju tidur yang kupakai. Kuning. Cerah. Pokemon. Aku menatap baju Alex. Kaus lengan pendek. Celana olahraga.
Seketika aku ingin membayarnya hanya untuk menukar pakaian.
KAMU SEDANG MEMBACA
WAKE ME UP WHEN I SLEEP [COMPLETED]
General FictionAlex adalah saudara kembar Emma yang sangat setia menemaninya, bahkan di saat-saat terberat dalam hidupnya. Alex dan Emma merindukan orang tua mereka yang sudah meninggal sejak mereka bayi. Namun, kini mereka harus menjadi korban dari pertikaian kak...