Teman Baru

39 10 0
                                    

Soal yang mendadak menjadi hukuman baru berisi tentang permainan kata acak. Untuk yang satu ini aku cukup bisa mengatasinya. Tetapi, kabar buruknya adalah dua puluh soal matematika yang tak kuisi memang tidak memenuhi kriteria nilai minimal yang Mr. Davis berikan. Jadi, mereka menambahkan dua lembar permainan kata kepadaku. Ini lebih baik daripada harus menambahnya dengan soal angka yang sama.

Edward dan aku melaksanakan detention tambahan di tengah lapangan. Matahari bersembunyi dibalik baju awannya, sehingga cukup bagiku dan Edward untuk tidak merasakan kepanasan.

Harris mengawasi kami seraya berdiri. Aku dan Edward duduk berjauhan dan saling membelakangi. Sempat kudengar Edward mengumpat soal Tom.

Setelah selesai, Edward menautkan kedua alisnya. Ia tampak kesal sekali.

"Memangnya dia pikir dia siapa?" Gerutu Edward.

Tom memang memberikan kami hukuman tambahan. Awalnya aku berpikir bahwa itu jahat dan menyiksaku secara pribadi. Tapi aku berpikir melalui sudut pandanganya ; Edward bersalah, dan salahku adalah tidak bisa mencegahnya.

"Apa pun yang terjadi di sini adalah tes mental," ujarku pada Edward. Aku mencoba membuatnya untuk tidak terlalu menyalahkan Tom. Ia harus menyadari bahwa jika ia tidak membuang syal itu, aku dan dia akan lebih aman.

Edward hanya mendengus. Kami kembali masuk ke kelas dan ia langsung meneguk air banyak-banyak. Aku pun meminum airku.

Sayup-sayup terdengar ada banyak kerumunan yang datang memenuhi koridor. Ternyata, selama hampir dua jam setengah mereka semua telah mengelilingi sekolah.

"Mereka pasti bersenang-senang," Edward berasumsi.

Tapi perkiraan Edward salah. Segerombolan anak-anak bersyal biru datang ke dalam kelas dengan badan yang lesu dan tak bersemangat. Wajah mereka tampak lelah dan Mack, seorang lelaki gemuk dengan kulit yang kemerahan terus menggerutu. Ada coretan-coretan tepung basah di kedua pipinya.

Kurang lebih lima belas orang teman sekelas kami menekuk bibir mereka.

"Ada apa?" tanyaku pada Farrah, gadis berkacamata tebal yang rambutnya digelung panjang.

Ia menghampiriku, "Komdis itu lebih menantang dari yang kita kira. Kita bahkan tidak sampai mengelilingi seluruh bangunan karena kami disuruh menjawab pertanyaan-pertanyaan konyol. Seperti dicegat oleh perampok, hanya saja kita yang menghampirinya sendiri. Kakiku sampai sakit sekali," Farrah memegangi betisnya.

Aku menarik kursi untuknya dan ia duduk di sebelahku.

"Terima kasih. Kau dihukum, Emma?" Farrah bertanya padaku lalu matanya menggerling ke arah Edward.

"Ya. Syalku ketinggalan, kau tahu," jawabku.

"Edward sengaja membuangnya ke tempat sampah," Farrah berbisik.

Aku mengangguk dan tersenyum, "Aku tahu."

Farrah ikut mengangguk.

"Minum?" Kusodorkan padanya tumblrku.

"Aku bawa, kok," Farrah berjingkat pergi dan kembali dengan membawa tumblrnya. Ia menekan tombol dan mulai menyeruput dari sedotan yang muncul secara otomatis.

"Apakah kau keberatan jika menceritakannya padaku?" Aku mencoba menawarkan  makananku, dan ia menerimanya.

"Trims," ia meregangkan otot-otot lengannya, "Ugh... Kami sedang berkeliling sekolah dan Mr. Davis menyuruh kami untuk berpencar. Dia bilang kami akan mendapatkan harta karun. Aku sudah curiga dengan itu. Jadi aku, Mack, Irene, Katherine dan Ernest  memilih masuk ke dalam ruangan yang ada di sayap timur. Ada ruangan musik di sana. Dan ketika kami mulai mencari jawaban dari clue yang sudah diberikan Mr. Davis," Farrah menghela nafas, "Ada hantu disana."

Aku mengernyit, "Apa maksudmu anggota TDC?"

Farrah mengangguk dan kami berdua tertawa. Mack menghampiri kami dan ia menggandeng kursi dengan sebelah tangannya. Ia bergabung. Lalu Irene, Ernest dan Katherine pun ikut nimbrung bersamaku dan Farrah.

Mereka saling melontarkan kalimat protes, bahkan terus membuat ancaman akan membalas komdis, lalu mereka sama-sama menyadari bahwa itu semua hanyalah sandiwara. Katherine mengaku sedang mengincar seorang kakak kelas bermata biru. Aku langsung bertanya kepadanya bagaimana ciri-cirinya, dan aku merasa lega karena yang Katherine jelaskan bukanlah ciri-ciri yang dimiliki Tom. 

Dan baru kusadari bahwa Harris tidak ada di sekitar kami. Aku memperingati mereka untuk mengecilkan volume suara. Jika tidak, aku dan semua orang di sini akan kembali mendapatkan hukuman.

"Jadi kau mengisi soal-soal payah itu?" Tanya Mack membersihkan wajah dengan  tisu basah yang kuberikan padanya.

"I-yap," jawabku mantap.

"Dua kali?" Tanyanya lagi.

Aku mengangguk.

"Semuanya?"

"Soal numerik tidak kuisi semua," jawabku seadanya.

Mack menghela nafas lega, "Untunglah. Siapa juga yang mau melahap angka. Tidak akan kenyang."

Lalu kami semua terkikik. Mack humoris sekali dan itu sangat mempresentasikan bentuk tubuhnya. Irene berambut pendek, dan ia terus menerus membetulkan poni yang berulang kali menutup kedua matanya yang sipit. Ernest bertubuh kurus, padahal yang kulihat sebungkus besar ahoy di depannya sudah habis, kemudian ia mengambil bungkus kedua. Katherine bertubuh tinggi. Ketika ia menyingkap lengan seragamnya, tangannya terlihat luka-luka seperti baru disayat oleh sesuatu. Aku memalingkan wajah.

"Aku ingin menjadi temanmu, Emma," Irene tiba-tiba berkata.

"Irene terus menerus membicarakanmu, tahu. Ia ingin berkenalan namun katanya ia tak cukup cantik untuk berteman denganmu," Katherine menimpali. Ia mengusap-usap lengan kanannya. Irene mengangguk-angguk tersipu.

Aku terperangah, "Tidak, tidak. Jangan berbicara seperti itu. Kau boleh berkenalan denganku kapan saja. Aku mau berteman dengan siapa pun, kok," aku terus menggeleng, menegaskan nada suaraku.

Mack, Ernest, Katherine dan Farrah tersenyum lebar. Mereka senang mendengar penuturanku tadi.

Itulah kalimat yang paling kutakuti dari seseorang yang akan menjadi temanku. Mereka seringkali memujiku seolah mereka tidak lebih baik dariku.

Tapi inilah yang selama ini kutunggu-tunggu. Aku mendapatkan teman baru--walau baru berkenalan--dan aku mulai mengetahui nama mereka satu persatu tanpa harus benar-benar menghampiri mereka.

Mack terus membuat lelucon, Ernest terus memakan biskuitnya dan Katherine memintanya.

"Edward, kenapa kau diam saja?" Farrah membungkukkan badan, mengecek Edward yang ada di sebelahku.

Edward hanya menaikkan alis dan matanya tampak merah, "Ngantuk."

Mack tertawa. Maaf, tapi suara tawanya seperti anak lelaki asma yang mencoba terdengar sedewasa mungkin. Perut besarnya kembang kempis ketika tertawa. Aku ingin sekali menertawakannya, tetapi Edward keburu menyodorkan handphonenya.

Ia menampilkan aplikasi note yang telah diketik sesuatu.

Maafkan aku sudah membawamu ke dalam masalah yang lebih pelik.

Aku mengambil handphonenya dan mengetik.

Tak apa. Semua itu telah terjadi. Jangan diulangi lagi.

Edward membalas dengan menempelkan emoji jempol.

WAKE ME UP WHEN I SLEEP [COMPLETED]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora