Kafetaria

53 11 1
                                    

Di koridor, kami sudah tidak menemukan pasukan senior kedisiplinan. Mungkin mereka bersembunyi di suatu tempat dan akan mengejutkan kami sewaktu-waktu. Aku berjalan bersama Edward dan ia terus menyapa setiap orang yang berpapasan dengan kami.

"Hi Collin!" Perempuan berkacamata yang berpapasan dengan kami mengernyit kepada Edward.

"I'm Katherine!" Tapi Edward tidak mendengarnya.

Lalu seorang lelaki berambut ikal melewati kami bersama temannya yang berambut lurus.

Edward kembali berteriak, "Hi Jacob and Ron!"  Keduanya menoleh.

"Logan."

"Mason."

"Mereka menjawab nama aslinya seolah-olah aku peduli." Edward terbahak kencang sekali. Kurasakan semua orang di koridor melirik kami. Aku menunduk  pura-pura menatap kotak makananku. Ia bersikap konyol dan agak memalukan bagi mereka yang belum terbiasa berada di dekatnya. Aku pun masih harus sedikit beradaptasi dengan orang seperti ini. Tak ada kerjaan menyapa setiap orang dan menyapa mereka dengan nama-nama tebakan yang semuanya salah.

Hingga kami sampai di kafetaria yang masih kosong. Semua toko makanan di sini tetap buka walau kakak kelas kami--kecuali para komisi disiplin itu--diberikan waktu libur bonus seiring berjalannya pelatihan junior berlangsung.

Aku duduk di salah satu bangku selagi Edward memesan makaroni. Kepalaku menggerling ke arah kerumunan murid yang nampaknya sudah saling mengenal sejak awal. Seorang di antara mereka seperti melontarkan lelucon dan sisanya tertawa merespon hal itu. Entah hal apa, tapi mungkin tipikal yang belum pernah kudapatkan sejak masuk sekolah menengah atas.

Ada keinginan untuk bergabung bersama mereka. Tapi aku belum berani memperkenalkan diri terlebih dahulu, dan mereka belum tentu mau berteman denganku ketika mereka tahu siapa dan bagaimana diriku.

Edward datang dan membelikanku smoothie coklat.

"Trims, Ed." Ia mengangguk dan membuka tutup makaroninya. Sebenarnya aku tidak terlalu menyukai rasa coklat, tapi aku memilih untuk langsung meminumnya demi menghargainya.

Edward adalah satu-satunya anak yang menyumbangkan waktunya untuk berkenalan denganku. Sejauh ini, belum ada teman perempuan sebaya yang mau mendekatiku. Untuk sekarang tak ada pilihan lain selain berteman dengan Edward. Aku bersyukur untuk kehadirannya. Ia lumayan asik dan menjadi Alex kedua hanya saja senang membuat onar.

Murid Effingham School memang senang menyendiri. Hanya segelintir anak yang berkelompok. Mungkin hal itu dipengaruhi oleh kehidupan mereka sehari-hari--melakukan semua hal di balik pagar tinggi rumah elit, yeah. Tapi untugnya hal itu bisa menutupiku yang nampaknya sungguh berbeda di mata mereka.

Selama satu minggu masa orientasi siswa baru, kami memang sudah mengetahui beberapa nama. Hanya saja sekolahku mengadakan seminggu tambahan pelatihan karakter sampai kami benar-benar dijuluki sebagai siswa independen dari Effingham. Beberapa di antara kami nampak masih belum memiliki teman.

Aku mulai memakan makan siangku. Roti bakar keju buatan Agatha. Aku menyapu tatapan ke seluruh penjuru kafetaria yang sudah mulai didatangi murid dengan kain biru di leher mereka.

Semoga dia tidak datang.

Aku menatap Edward yang fokus melahap makanannya tanpa menoleh ke arah lain. Aku kembali memerhatikan kafetaria. Semakin banyak murid yang datang,  semakin tersembunyi juga keberadaanku. Tapi, mereka datang seorang demi seorang. Beberapa mulai melakukan pendekatan dengan berkenalan lalu memiliki teman duduk satu meja dan berbincang. Kafetaria ini terlalu luas bagi angkatanku yang hanya memiliki lima puluh enam orang siswa. Dan masih ada kesempatan bahwa aku terlihat di sini.

Aku mulai khawatir ia akan datang. Ia bisa saja melihatku duduk bersama Edward, yang faktanya bukanlah teman perempuan seusiaku. Aku yakin ia akan berpikir macam-macam jika Edward terus berada di dekatku. Tapi aku sama sekali tidak bisa mengusirnya. Toh dia satu-satunya teman yang sekarang kupunya di sini. Ia siswa lama dan aku siswi baru. Ia sudah mengenali banyak teman yang mungkin bisa menjadi jalan bagiku untuk membuat koneksi dengan yang lain.

Tanganku mulai basah. Aku menendang-nendang pelan kaki meja dengan gelisah. Aku menunduk memfokuskan diri untuk terus memakan rotinya. Seandainya aku punya teman perempuan aku akan aman.

Jika ia datang ia akan mengerti bila aku menjelaskan semuanya. Tapi peserta dan komdis tidak diperbolehkan saling berbincang kecuali ketika diinterogasi saat melanggar aturan. Ia kan tahu ceritaku. Pasti ia akan mewajarkannya. Ya. Dia akan mengerti. Semoga ia tidak datang.

"Emma look!" Edward mencondongkan tubuhnya kepadaku. Garpu ditangannya menunjuk ke arah depan kafe takoyaki sembunyi-sembunyi.

Aku langsung menoleh dan melihat ada sekitar tiga orang komdis yang sedang membelakangi kami. Seorang di antara mereka mengeluarkan uang pecahan dollar dan membagikan makanan yang dibeli kepada dua temannya lagi.

Seketika kafetaria hening. Semua murid merasakan ketegangan yang khas. Hawa di sekitarku membeku. Edward bahkan tidak bergerak sama sekali, menatap garpunya yang masih ia genggam ke arah mereka. Tiga komdis itu berbalik dan jantungku mencelos.

Dia yang sedari tadi aku harapkan untuk tidak mendatangi kafetaria menggenggam makanannya. Matanya yang biru terkunci dengan mataku. Aku terpaku, ingin menoleh ke arah lain namun sudah terlanjur. Ia mengenaliku. Jelas menyadari keberadaanku.

Irisnya bergerak menatap Edward yang ada di depanku, cukup lama hingga membuat Edward berjengit. Lalu ia kembali menatapku. Kemudian pergi bersama dua kawannya meninggalkan ekspresi yang tidak bisa diterka.

Tiga komdis itu melangkah keluar dari wilayah kafetaria dan semua orang  menghembuskan nafas lega bersamaan. Aku masih terpaku menatap punggungnya menjauh.

"Kenapa cowok itu menatap kita seperti itu? Aku kaget tahu." Edward mengernyit heran.

Aku hanya diam menatap kotak makananku yang hampir kosong tanpa menjawab pertanyaannya. Ada rasa lega yang mengalir ketika mengetahui bahwa tidak ada satu orang pun selain Edward yang menyadari tatapan lelaki itu. Edward mengangkat bahu dan kembali menyuapi mulutnya dengan makaroni.

Lelaki itu melihatku. Perasaanku jadi tidak enak.

WAKE ME UP WHEN I SLEEP [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang