14 - Tangisan Falila

11K 2.1K 45
                                    

Falila duduk diam sambil terus menatap pintu masuk kedai. Hidangan minuman dan camilan yang dia pesan lebih dulu, belum disentuh sama sekali. Salah satu tangannya mengetuki layar ponsel yang tergeletak di atas meja dengan pelan.

Ketika sosok yang ditunggu muncul di pintu masuk bersama dengan seorang pria, Falila menegakkan posisi duduknya, berusaha santai tapi terasa tidak berhasil. Dia menurunkan kedua tangannya ke bawah meja, menunggu.

Bagaimanapun mereka telah tumbuh dewasa dengan banyak perubahan, Falila masih bisa mengenali dengan baik sosok Raisa yang bertubuh mungil namun tampak bergestur gesit dan lincah. Sangat khas dirinya yang selalu ceria.

Falila menahan napas sejenak, betapa dia merindukan temannya tersebut. Matanya memanas, ingin menangis. Namun, ditahannya sekuat tenaga. Akan sangat aneh kalau tiba-tiba dia menangis bahkan ketika mereka belum berhadapan.

Seperti halnya Falila, tampaknya Raisa juga bisa dengan mudah menemukan keberadaan Falila. Setelah beberapa saat mengedarkan pandangan sambil berbicara dengan pria di sampingnya, mata Raisa terpaku memandang Falila yang tengah melakukan hal yang sama.

Pria di samping Raisa menggiringnya untuk segera mendekat ke meja Falila. Falila berdiri dan keluar dari meja, ketika Raisa sampai di depannya. Keduanya saling tatap, tanpa mengindahkan apa pun di sekitar mereka.

Saat membuat janji di kotak pesan Facebook, Raisa lebih dulu menentukan pusat perbelanjaan mana yang ingin dijadikan tempat pertemuan mereka. Namun, dia meminta Falila yang menentukan spesifik tempatnya. Falila sengaja memilih sebuah kedai kopi yang memiliki suasana cukup tenang untuk saling berbincang dari hati ke hati.

Dehaman suara pria yang datang bersama Raisa, membuat kedua wanita tersebut tersadar. Pria tersebut tampak tersenyum tipis melihat sikap keduanya.

"Hai, La. Masih ingat gue, kan?" ujar sang pria, lebih dulu menyapa dengan sikap santai yang akrab dan hangat.

Falila tersenyum kecil, meski agak canggung. "Ingat kok, Kak," jawabnya, terlihat ingin mengulurkan tangan untuk bersalaman, tapi tidak berani tanpa izin dari Raisa atau pria itu.

"Alah, nggak usah pakai kakak-kakakan segala." Si pria mengibaskan tangan, sebelum menyodorkan tangan lebih dulu. "Apa kabar lo?" ujarnya saat Falila bersalaman singkat dengannya.

"Baik, Kak—eh, Edo," sahut Falila, sedikit meringis, jengah karena situasi canggung saat ini. Matanya beralih kepada Raisa yang masih diam saja memperhatikan dirinya.

"Mau salaman juga?" Edo menanyai Raisa dengan nada yang terdengar bercanda. Ketika wanita itu mendelik sambil sedikit cemberut kepadanya, Edo hanya terkekeh geli. "Harusnya malah pelukan sambil cipika-cipiki. Kan gitu tuh cewek-cewek kalau ketemuan," tambahnya, semakin jail.

Tidak berubah, ujar Falila dalam hati. Edo yang penuh canda masih sama seperti mereka sekolah dulu.

"Apaan, sih! Udah sana, kalau mau pergi." Raisa semakin cemberut dan menyikut Edo dengan pelan.

"Duduk dulu, deh," ajak Falila, menginterupsi Edo yang sepertinya masih ingin menggoda mereka.

"Gue nggak ikut, La. Udah ada janji juga. Sebenarnya gue yang minta kalian ketemunya di sini, karena gue yang duluan punya perlu. Jadi biar sekalian." Edo menarik kursi untuk Raisa dan membantu wanita itu duduk, padahal Raisa terlihat agak jengah dengan sikap perhatian pria tersebut.

"Oh, gitu. Nggak apa-apa." Falila malah senang kalau hanya berdua Raisa. Soalnya tadi dia sempat kurang nyaman saat mengetahui Raisa membawa Edo bersamanya. Akan sulit saling berbicara kalau ada orang lain yang dulunya tidak terlibat langsung.

"Ya, udah. Gue titip, ya," ujar Edo kepada Falila sambil mengelus lembut bahu Raisa. "Tolong diawasin, jangan sampai dia pesan kopi atau es. Lagi nggak boleh, soalnya. Entar biar dipesanin yang lain aja. "

FALILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang