Prolog

1.2K 84 7
                                    

Ambil baiknya, buang buruknya:)
Happy reading! Semoga suka:))

Maja, Jawa Barat
1960

"Jadi kieu panginten, ku rumaos Emak teu tiasa ngalunasan ieu utang ... wayahna, minggu payun; abdi bakal nikah sareng pun anak Emak." Kang Danu bertutur sopan kepada Mak Iyah, perkataannya begitu menusuk ke dada perempuan renta itu. Tak kuasa; putri semata wayangnya harus menjadi gadaian terakhir di kala kondisi ekonomi hancur setelah meninggalnya sang tulang punggung keluarga.

Mengelus dada, menenangkan dirinya sendiri, "Selain itu, manawi ada yang lain tidak, Kang? Dedeuh Lakshmi, dia ingin sekolah dulu." Mata penuh pengharapan, ingin sekali laki-laki muda ini tergetuk hatinya; agar memikirkan solusi lain.

"Hapunten, Mak. Bukannya saya tidak mau, ini perintah abah. Saya sudah terkena pukul olehnya ribuan kali, demi Lakshmi. Bukankah Emak tahu karakter ayahanda saya?" halus tutur kata, sayang menjadi jembatan ayah yang penuh dengan nafsu; memang utang harus dilunasi, tetapi jika memang seseorang belum sanggup ... setidaknya memberikan keringanan. Susah sekali menghadapi watak seorang juragan.

Mak Iyah sangat tercengang, tak disangkanya tuan Dadang sangat kejam, meski kepada anak sendiri. Dengan napas berat, Mak Iyah mengumpulkan tenaganya agar bisa merangkai kata demi kata suatu keputusan, "Jang Kasep, maafkan Emak. Karena Emak teu acan tiasa mayar, jadina Ujang seperti ini. Kalau begitu, Emak akan berbicara dengan Lakshmi. Mudah-mudahan ada jalan."

Mak Iyah begitu tertekan batin, ini belum 40 hari suaminya meninggal, sudah ada masalah lagi yang datang, walaupun seperti ini; Mak Iyah selalu bersyukur. Berjalannya nenek tua ke kuburan yang masih basah, nyekar sekaligus meluapkan hati kepada jasad yang dulu masih terisi ruh. Hadiah diberikan---lafalan panjatan do'a---.

"Bapak, abdi teu terang; seharusnya keputusan naon yang harus diambil. Lakshmi masih hoyong sakola jadi dokter. Piraku, Pak; Lakshmi nikah? Tapi di sisi lain, abdi teu gaduh saacis-acis acan kanggo kuliahna Lakshmi nu ceunah jutaan. Hiks-hiks ..." air mata menaburi tanah kuburan suaminya, sendu, kelabu, hanya itu yang merundungi Iyah.

Beberapa lama kemudian, Iyah sadar, tak ada gunanya terus menangis. Kalau dia menangis, siapa yang akan berjuang? "Pak, tos di dinya tong mikiran nanaon. InsyaAllah, Gusti Allah bakal mamaringkeun jalanna. Abdi kuat. Sing tenang, Pak." Mak Iyah butuh ditenangkan, terpaksa harus menenangkan. Saat itu suasana penjajahan masih menyelimuti; masalah kemakmuran rakyat masih sedikit sekali mendapatkan jaminan. Negara masih harus banyak diperbaiki, terpaksa rakyat kecil seperti Iyah; harus mengubah rusuknya menjadi punggung.

Pikiran Mak Iyah begitu kalut, mempunyai anak perempuan; masih sangat jarang atau tidak pernah terdengar sama sekali kata emansipasi. Era ini adalah era Siti Nurbaya, di mana perempuan umur setengah jagung menikah demi membuat revolusi bagi keluarga. Anak Mak Iyah---Lakshmi---, memiliki impian setinggi langit---menjadi seorang dokter---, yang mana itu adalah pemikiran anti mainstream. Di desa ini, seperti layaknya desa pada umumnya; tak ada perempuan menggapai cita-cita. Paling hanya menikah, melayani suami, tanpa harus memikirkan apapun. Sedangkan kaum lelaki; banyak sekali yang merantau untuk sekolah; menggapai impian dan pulang-pulang menjadi orang sukses. Stigma soal perempuan berada di strata terbawah masih ada, berkembang menjadi warisan.

Lakshmi sekarang sudah lulus Sekolah Rakyat, menunggu uang untuk melanjutkan Sekolah Menengah Pertama. Biayanya tak bisa terbayang oleh Iyah. Keluarga tuan Dadang, tak mungkin mengizinkan Lakshmi sekolah, anak perempuannya saja dinikahkan sedini mungkin; dulu Mak Iyah menyaksikannya sendiri---Onah, sampai memohon di kaki ayahnya agar tidak pergi ke rumah mertuanya---. Sungguh, pemandangan yang menyayat hati dan jiwa psikologis.

Tak bisa menunggu lagi, keputusan harus diambil. Berat memang rasanya, seorang Ibu pada hakikatnya ingin yang terbaik untuk sang anak. Namun, tak ada lagi yang bisa Iyah lakukan. Takdir bagaikan melodi yang bersinggungan dengan nada dan puing-puing alunan, pada durasi kehidupan ini; tak banyak sayatan hati yang bisa terukir dalam sebuah sabilulungan(lagu) kehidupan. Mak Iyah menyerahkan anaknya, berharap sesuatu yang baik. Jika dilihat; Cecep cukup tampan dan memiliki krama, InsyaAllah; Mak Iyah percayakan Cecep untuk menjadi pendamping Lakshmi seumur hidupnya.

MELODI SABILULUNGAN KAHIRUPANUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum