Bagéan 1: Sabilulungan dimimitian

530 56 0
                                    

Sore yang mendung; alam seakan tahu ada suatu ketidakpastian dalam memutuskan pilihan. Remaja perempuan cantik, berkebaya; menggendong bakul berisi nasi jagung, terduduknya di persawahan, melipur lelah, seharian berkeliling---jualan---. Meski lelah ditanggung badan, impian selalu mengobatinya bagaikan menjadi vitamin untuk tubuh. Di sawah; tak ada orang sama sekali, hanya ada dirinya sendiri; melihat pemandangan asri, terbius keindahan alam. Melamun, sembari sesekali bersholawat dan menghafal rumus kedokteran yang tadi pagi; ia baca di surat kabar bekas.

"Wate! Sedang apa kamu?" lamunan gadis itu terpecah, ketika 2 seorang perempuan seumuran dengannya; memanggil dari kejauhan. Mereka mendekatinya; dengan wajah khawatir.

Wate---sebutan untuk Lakshmi---, anak gadis mak Iyah satu-satunya yang bercita menjadi seorang dokter---Kembang Desa--- terkenal di Maja. Umurnya masih 13 tahun, tetapi wajahnya begitu dewasa dan sudah cukup matang. Banyak orang ingin mempersunting Lakshmi karena kecantikannya. Dulu, saat ayahnya masih ada; tolakan lamaran selalu diterima oleh para lelaki, ayahnya sangat ingin Lakshmi mencapai impiannya sebelum menikah. Kini; ayahnya sudah menyatu dengan tanah, mengharuskan Lakshmi bekerja dan mundur terlebih dahulu dari dunia pendidikan. Selain, masih ada budaya strata dan patriarki; ia ingin mempelajari banyak hal. 1 tahun, mungkin waktu yang cukup; sekedar mengumpulkan uang dan belajar.

"Ngalamun wae ai kamu. Nasi jagungnya habis, Wate?" Kirana dan Ikheu, sahabat sejati Lakshmi dari kecil, selalu ada dalam suka ataupun duka. Mereka bertiga sama-sama Pujaan Desa, sayangnya kedua gadis itu hanya mengalir mengikuti arus budaya; mereka akan menikah dengan 1 laki-laki kaya raya yang sama, entah siapa namanya.

"Masih nyisa, huft ... cape saya teh keliling." Keluh Lakshmi, terkadang dagangannya laris manis, kadang juga sepi; putaran ekonomi tidak bisa diduga. Setiap hari ada rezekinya masing-masing.

"Sudahlah, Wate. Kamu teh hanya mendapatkan cape saja, hasilnya tidak ada. Mending, kamu menikah. Cari jodoh yang mau menerima kamu sekolah lagi, daripada kamu berjuang sendiri, nyaah abdi mah." Sekian kalinya, Ikheu menyuruh Lakshmi menikah. Ya, bukan berarti ia ingin menjatuhkan impian Lakshmi. Seperti sahabat pada umumnya; akan menyarankan segala hal baik dan aman bagi satu sama lain.

Hati Lakshmi gelisah, ada benarnya juga apa yang dikatakan karibnya; tetapi mana ada keluarga yang membuatnya bersekolah kembali; mereka menganggap itu tidaklah berguna. Menyerah pada takdir bukanlah jalan yang tepat.

Kirana memegang pundak Ikheu, "Lihat, nih. Kami berdua, udah ada mantennya. Kamu mau ikut gabung tidak? Enak lho, menjadi istri pemuda kaya. Hidup pribadi dan keluarga terjamin. Selagi belum terlambat." Hah? Yang benar saja, Kirana menawarkan hal itu pada Lakshmi.

"Gelo, ih; kalian mah. Nanti nih, saya buktiin, kalian berdua bakalan dateng ke rumah sakit, terus yang jadi dokternya saya! Lihat wae." Sebari bercanda, Lakshmi menantang mereka, ambisinya seakan merobohkan benteng besar lapisan budaya dan pemikiran.

"Aamiin, muhun. Diaamiinkeun, yeuh! Mereun engke, kamu jantungan, Teh; gara-gara ngeliat Si Wate jadi dokter, haha." Ikheu tertawa, berandai-andai jika suatu saat apa yang dikatakan Lakshmi terjadi.

"Amih, ihh ... dongol, kamu mah. Kalau sakit jantung mahal tau biayanya, sama kaya beli sawah." Kirana.

"Sararieun. Tapi jadi dokter teh, lebih mahal kan, ya? Orang keraton saja katanya gelimpangan sekolah kedokteran." Ikheu rasanya tidak bisa membayangkan ataupun memikirkan nominal yang harus keluar untuk sekolah ini. Ia memegang kepala; pusing sekali.

"Kalian tuh, bukannya memberikan semangat kepada saya, malah nakut-nakutin. Saya juga tahu, barangkali kalian mau nyumbang boleh, silahkan. Ladang sawah 5000 hektar juga saya terima, ikhlas."

"Edun, Wate. Sudah, abdi sesak napas ngedengernya, teh. Kablenger yeuh sirah."

Mereka semua tertawa sampai perutnya sakit. Ketika membuat lelucon soal ini; Ikheu dan Kirana rasanya berat sekali agar apa yang dicita-citakan Lakshmi terlaksana. Ribuan keraguan mendasarinya, tidakkah semua ini terlalu sulit?

"Wate, hmmm ... saya mau tanya. Apakah keputusan kamu begitu bulat? Maaf, saya bukannya memutuskan harapanmu, tetapi .... menjadi dokter bukanlah pilihan yang tepat." Kirana menatap Lakshmi dengan serius, hati gadis itu langsung terbuyarkan; perkataan Kirana sangat menusuk, membuka ribuan kemungkinan buruk dalam pikirannya.

"Apapun itu, saya yakin tidak ada yang tidak mungkin. Selagi saya masih bernapas, tak akan saya biarkan saya tunduk kepada pola pikir kolot. Jika laki-laki bisa, kenapa perempuan tidak bisa?" dengan tegas, Lakshmi menjawab pertanyaan Kirana meskipun hatinya terjatuh ke dalam lubang kenestapaan.

Kirana tersenyum dengan bangga, hanya Lakshmi yang bisa berpikir seperti ini, sangat jarang ada perempuan yang memiliki keluasan pemikiran seperti Lakshmi; ia saja yang tergolong lebih tua dari Lakshmi, kalah. Memikirkan impian itu pun, takut, "ya sudah ... kalau kamu mempunyai keyakinan yang sehebat itu, kami tenang. Pesan saya, kalau kamu sudah di kota nanti; pandailah menjaga diri. Banyak manusia kotor di sana, jangan sampai mereka mengotori kamu dan impianmu. Perbanyaklah berdo'a, agar penjahat sekalipun tak bisa melihatmu, Wate." Wejangan Kirana menyatukan semangat Lakshmi yang tadi hancur berkeping. Tumben sekali, Kirana memainkan perannya dengan baik sebagai orang tertua di lingkaran pertemanan mereka.

"Saya juga, atuh. Pastinya bakalan yakin kalau kamu yakin. Maafin ya, kami sudah akan mematahkan semangatmu, Wate." Ikheu memeluk Lakshmi, begitupula Kirana. Lakshmi hanya bisa menangis, mengucapkan terimakasih karena sudah ada untuknya di masa yang sulit ini.

Melankolis ada di iringan awal, membuka gerbang sabilulungan(musik) yang terus maju. Durasi awal, hanya ada elegi kesedihan. Melodi menyala, menghalut gemercak suara hujan kesedihan. Air mata mengalir deras, hanya keyakinan; jalan satu-satunya bertahan hidup. Alunan kisah akan berlanjut, menuju durasi yang penuh semburat kelabu. Selamat datang di perjalanan hidup Lakshmi di era 1960an, dengarkan melodi yang bisu, sabilulungan versi ini tidak menghasilkan nada konkrit, tetapi menghasilkan rasa batiniah seorang Lakshmi yang harus berjuang, menggapai bintang di langit. Nanah tumbuh dijantung, darah meledak di paru-paru, tulang pecah berkeping, pembuluh darah hanyut seribu, dengan ini Sabilulungan Kahirupan Lakshmi dimimitian.

MELODI SABILULUNGAN KAHIRUPANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang