Bagéan 2: Arey Mapay Arey

469 62 0
                                    

Pulang ke rumah; menyisakan nasi jagung. Bergegas segera gadis itu ke belakang, menghangatkan kembali. Dapur rumah Lakshmi sangatlah sederhana, tak ada atap dan masih mengandalkan kayu bakar. Di rumah, tak ada orang, kemana Emak? Dicarinya oleh Lakshmi ke kamar, Emak ternyata sedang terduduk, melamun di ranjang kayu yang hanya ada bantal. Tak seperti biasanya Sang Ibu demikian, dihampirinya Emak, duduk di samping.

"Mak? Kunaon?" buyarlah lamunan Mak Iyah, kaget akan kehadiran anaknya di sana.

"Eh, tidak, Geulis. Emak hanya sedang tidur." Emak Iyah berusaha menutupi apa yang sedang ia pikirkan, tak mau anaknya khawatir.

Lakshmi yang menyadari Emak berbohong langsung memegang kedua tangannya, "Mak, ada apa? Apakah Emak masih teringat memori bersama almarhum abah?"

Emak Iyah tak terlalu memikirkan mendiang suami; dalam benak kepalanya kini ramai tentang keputusan yang harus diambil dan dibicarakan secara langsung kepada Lakshmi. Tadi saat pulang, Iyah berpapasan dengan tuan Dadang; lusa akan dilaksanakan acara lamaran di rumah Lakshmi. Jika tidak diberikan tahu soal ini, pasti anak itu anak bersihkeras menolak, tetapi .... kalau sekarang? Apakah sama saja? Ah, penuh dengan permasalahan dan beban. Pening sekali kepala janda itu, seakan semua langkah yang diambilnya salah dan selalu beresiko.

"Mak?" lagi, Iyah melamun lama; ia terperegah kaget.

"Emak sudah makan?"

Lakshmi merasa iba, dalam benaknya; Sang Ibu masih sedih dan berkabung atas kematian Wijaya---almarhum suami---. "Sebentar ya, Mak. Wate akan membawakan Emak makanan."

"Geulis!" saat akan ke dapur, Iyah menahan tangan Lakshmi, ditatapnya Lakshmi dengan mata penuh binaran air mata.

Seketika Lakshmi terduduk lagi dan menghapus air mata surganya, "Eh, Emak nangis? Mak, percayalah; abah sudah tenang di alam sana dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Emak tahu, kan? Selama hidupnya; abah selalu berbuat amal baik. Tenang ya, Mak. Masih aya Wate di dieu." Tak henti, Lakshmi memberikan dukungan penuh kepada Iyah. Dari matanya; terlihat begitu banyak beban tersimpan rapat. Takut sekali, jika Ibunya sampai stttes karena terlalu banyak menggendong beban pikiran.

"Bageur, bukan abah yang Emak pikirkan."

Angin berhembus kencang masuk ke dalam jendela kamar Iyah---membuat gorden hijau bermotif bergerak mengikuti arah angin---. Suara telanan ludah Emak terdengar jelas, air mata sudah tak bisa terbendung lagi, kini jatuh bagaikan hujan dalam seribu malam. Lakshmi hanya bisa memegang tangan Iyah; sebagai dukungan moril atas apa yang ditutupinya kepada Lakshmi.

"Aya satu keputusan, anu mungkin akan membuat kamu kaget, Nak."

"Keputusan? Keputusan apa, Mak? Cerita kepada Wate, jangan ditutupi."

"Tapi, apakah kamu janji akan siap dan menerima keputusan ini, Pun Putri?"

Sebenarnya; apa yang sedang dibicarakan oleh Emak? Selama ini, Emak selalu bersikap transparan kepada Lakshmi, tetapi sekarang ... rasanya jantung Lakshmi ingin lepas dari penyangganya.

Iyah menarik napas panjang, mencoba ikhlas; apapun tanggapan Lakshmi nanti. Mau tak mau; keputusan ini harus dirangkai sempurna, terucap agar tak ada resiko masalah yang lebih besar, "Lakshmi, anak Emak ... lusa, kamu akan menikah sareng Danu---putrana tuan Dadang---." Bagaikan petir di siang bolong, ucapan Iyah sangat membuat denyut jantung Lakshmi seakan berhenti. Ia lepas pegangan kepada Sang Ibu, pupus harapan gadis itu. Tak ada lagi kata yang bisa terucap, napas juga rasanya tak bisa. "Apakah ini Emak yang Wate k-k-kenal?" berdiri, menjauhi Iyah perlahan. "T-t-tidak ... ini pasti bukan Emaknya Wate yang asli, b-b-bukan!" Lakshmi berlari, keluar, menghindar dari Ibunya. Iyah mengejar Lakshmi yang rupanya ke dapur. Sedangkan di dapur, terlihat kebakaran terjadi karena Lakshmi meninggalkan nasi jagungnya terlalu lama. Lakshmi yang melihat itu seketika melupakan apa perkataan Iyah dan langsung bergegas memadamkan api; agar tak meluluhlantahkan seisi rumah, begitupula dengan Iyah.

Syukurlah, api itu padam, seiring padamnya api, padam pula semangat Lakshmi. Dia menangis di dapur yang masih dipenuhi dengan asap bekas kebakaran. Iyah histeris, sebenarnya dia tidak mau anaknya menikah seperti orang lain, "Geulis ... Emak teh sapertos kieu, manawi sanes hoyong pun putri sangsara, sanes ngan ukur menyelamatkan keluarga ieu dari jeratan utang. Tapi, Emak tidak punya apapun lagi---yang bisa melunasi utang kepada keluarga tuan Dadang----, Bageur, hiks-hiks-hiks." Iyah berusaha jujur untuk menceritakan semua yang terjadi.

Mak Iyah memeluk Lakshmi, "Sanajan kitu, Emak juga memikirkan akan seperti apa masa depan kamu, Nak. Danu, InsyaAllah ... adalah orang yang baik. Dia lemah-lembut, tampan dan gagah. Emak yakin; kamu bisa bahagia dengannya. Ini adalah peluang, Bageur. Siapa tahu, Danu bisa membuatmu kembali sekolah." Tangisan Lakshmi yang semakin menjadi di pelukan Sang Ibu, membuat Emak Iyah tak kuasa untuk melanjutkan ucapannya. "Maafkan Emakmu yang lemah ini, Emak malah membuatmu masuk ke lembah keputusasaan, hiks-hiks. Setelah ini, Emak akan berusaha membuatmu kembali sekolah, Wate, itu janji Emak sebelum menyusul abah ke alam kubur." Kabut derita terasa pekat dalam  jiwa, api yang menyala terpadam; mengeluarkan asap kematian, sesak sekali. Namun, apa boleh buat? Malang ...

Pernikahan terbayang, apakah keinginan Lakshmi sekarang harus dikubur dalam-dalam? Menikah, mempunyai anak, menjadi tua; lalu meninggal. Apakah sehambar ini kehidupan Lakshmi seperti perempuan lain? 

MELODI SABILULUNGAN KAHIRUPANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang