Bagéan 4: Marie Thomas(na) Majalengka

335 54 2
                                    

Sampainya gadis itu di puskesmas, hari minggu tetap buka. Terlihat puskesmas ini sangat sederhana, hanya rumah petak dengan sedikit ruangan di dalamnya, berbeda dengan rumah sakit di kota besar. Banyak sekali orang sedang mengantri, ada sekitar 20 orang di sana. Lakshmi mengambil nomor antrian---mendapatkan bagian nomor urutan ke 36---, semoga ia tidak telat pulang ke rumah. Di sana, Lakshmi merasa aneh, karena kebanyakan orang kecuali dirinya; mengantri untuk periksa, dia malah mengantri untuk mendapatkan informasi soal menjadi dokter. Memang, beginilah mental pemimpi; akan melakukan segalanya demi menggapai impiannya tanpa mempedulikan apapun.

Ia terus menunggu, rasanya lama sekali menunggu satu orang selesai. Ada yang memakan waktu 30 menit bahkan 1 jam, Lakshmi mulai takut; emaknya akan khawatir dan mencari kemana-mana. Sebari menunggu, dia melihat ada Nenek tua berkebaya lusuh; tanpa sanak keluarga sedang menunggu juga. Kursi di sebelahnya kosong, Lakshmi berinsiatif untuk duduk di sampingnya; sekedar mengajak bicara.

"Punten, manawi Emak teh bade pariksa oge?" diawali dengan senyuman, ia menyapa, membuka pembicaraan.

"Eh, muhun, Neng. Ieu abdi teh meuni nyeuri tuur. Maklum, atos kolot, hehe."

"Teu oge atuh, Mak. Abdi oge sering nyeuri tuur padahal masih anom."

"Ah, Si Eneng aya-aya wae. Haha." Nampak wajah yang tadi murung, menjadi semringah bahagia. Dari matanya, Nenek itu seperti sangat jarang tertawa atau sudah tidak pernah tertawa lama.

"Wastana saha, Neng? Sareng ti mana Eneng teh? Asa teu acan pernah ningal."

"Tepangkeun wasta abdi Lakshmi, ti Desa Maja, Mak."

"Oh, pantesan atuh. Nuju teu damang naon, Neng?"

"Hmm, alhamdulilah, abdi sehat, Mak. Hehe ... ngan abdi teh bade tepang sareng dokter, manawi hoyong tumnaros perihal kedokteran."

"Eh, Eneng teh caritana bade jadi dokter? Wah, sing gede milik nya, Neng Geulis."

"Aamiin, haturnuhun."

"Memang nya, anak parawan zaman ayeuna mah pemikiranna atos maraju. Teu sapertos zaman Emak. Ah, ai zaman Emak mah anak parawan ditubruk wae ku londo teras ku nippon. Emak seneng yeuh, ihh, aya gadis siga Eneng teh."

"Hehe ... manawi; Emak gaduh pun anak?"

Senyuman Nenek tua itu mendadak pudar, "eh, hapunten nya, Mak. Aduh, jadi teu rumaos. Hapunten pisan abdi malah kana pribadi."

"Teu nanaon, Bageur. Emak gaduh putra, tapi teu aya paripolah. Sanes sombong nya, Neng; ayeuna memang abdi teh; harta aya alhamdulilah, tapi ... nya sapertos kitu, Neng. Lamun, pun anak atos kapangaruh ku dunya mah; nanaon oge teu bakalan nyandak caang di kahirupanna."

"Neng, abdi sanes menggurui; tapi inget, Neng ... 1 masa mun Eneng sukses, sagala kasuksesan; lamun teu aya urusan ukhrawina, pasti teu bakalan puguh. Ukhrawi di dieu, sanes hoyong ditingal ku batur; tapi hoyong Allah ridho sareng naon-naon anu dilakukeun di dunya."

"Nomor 30 ..." baru saja Lakshmi mencerna perkataan perempuan renta itu, mendadak nomor antrian Sang Nenek; terpanggil.

"Haturnuhun nya, Mak."

Perkataan nenek tadi menimbulkan getaran dalam hati Lakshmi. Memang orang bijak; adalah orang yang selalu melafadzkan suatu kebaikan bagi orang lain. Penting sekali, meluruskan niat. Meskipun keringat bercucur darah, mulia keinginan, hade paripolah, tetapi jika hanya untuk dilihat manusia semata agar dikata berhasil; tak ada nilai pahala di sisi Allah SWT.

Tertegur hati Lakshmi, semoga; ini adalah awal dari kesuksesannya.

Adzan dzuhur sudah berkumandang; Lakshmi sepertinya sudah terlambat untuk pulang. Ia memutuskan sholat di mushola dekat puskesmas, lalu kembali lagi setelahnya. Saat akan kembali, Lakshmi melihat seorang anak perempuan berumur 6 tahun sedang berjualan es teh gelas keliling---menggunakan kantong kresek---. Haus dan iba mencampur hati Lakshmi, ia membelinya.

"Harganya 1 perak saja, Teh."

Tadinya Wate hanya ingin membeli, tetapi ketika melihat luka di lutut anak kecil itu; membuat Lakshmi tak bisa tinggal diam. "Itu kakinya kenapa, Sayang?"

"Tadi jatuh, Teh." Wajahnya memang tersenyum ramah, bagaikan tidak terasa apapun, tetapi dirinya menahan rasa perih yang luar biasa.

"Ya Allah. Sini Teteh obatin, sekalian Teteh bantu kamu jualan, ya." Lakshmi mengajak anak itu---bernama Euis---, meminggir; di area puskesmas.

Lakshmi selalu membawa botol kecol yang berisi kunyit kental di dalam tas tentengnya; katanya berjaga-jaga jika terjadi kecelakaan---tragedi keluarnya darah---.

Dengan telaten, Lakshmi mengobati Euis. Ia sudah mirip seperti dokter; dirinya sangat ingin sekali membuat orang bisa sembuh dari suatu diagdosa.

"Bagaimana, kamu mendingan sekarang?"

"Iya, terimakasih, Teh."

"Sekarang kamu duduk saja di sini, Teteh akan menjual teh ini, ya."

"Tidak usah, Teh. Itu merepotkan Teteh saja. Saya diobati saja sudah sangat merepotkan. Sama saya saja, Teh."

"Tidak kok. Kamu perlu pemulihan, nanti lukanya malah makin melebar, lho."

Euis tidak berdaya, ia pun mengiyakan perkataan Lakshmi, walaupun dirinya sangat tidak enak hati.

Lakshmi menjualnya ke staff puskesmas serta beberapa pasien yang masih mengantri. Dan syukurlah, 20 es teh habis tak tersisa. Euis sangat senang, dia berterimakasih sekali kepada Lakshmi. Sekarang Euis pulang ke rumah, membawa uang banyak.

Sayangnya, nomor urutan Lakshmi terlewat. Lagi-lagi dia harus mengantri dan mengambil nomor urut lagi. Sekarang ia dapat nomor ke-50 dari 44. Namun, tidak apa-apa. Anak itu lebih membutuhkan bantuan, dia tidak boleh egois dan hanya mementingkan dirinya sendiri.

Matahari sudah tak lagi di atas kepala, sebentar lagi ashar. Akhirnya Lakshmi dipanggil juga dan berhasil menemui Dokter Ruslan. Dokter yang berasal dari Jakarta dan ditugaskan di Majalengka. Berumur 30 tahun.

Lakshmi mengatakan tujuannya datang kepada Dokter Ruslan; Dokter itu menyambut baik Lakshmi, sekaligus bangga; akhirnya ada juga perempuan yang memiliki cita-cita tinggi di tengah gempuran zaman. "Tapi mohon maaf, Neng. Seharusnya pembicaraan ini dilakukan secara pribadi di luar jam dinas saya. Selagi saya masih di sini, ada beberapa peluang untukmu. Besok kamu datanglah ke rumah saya; yang ada di depan alun-alun Majalengka. Bawalah kartu keluarga, kamu akan melakukan test beasiswa."

"Beasiswa? Mohon maaf, itu apa ya, Dok?" Lakshmi pernah membaca beasiswa di surat kabar, tapi dia masih bingung dengan makna dari itu.

Tanpa menertawai ketidaktahuan Laksmi, "penyebutan untuk bantuan dana pendidikan yang memungkinkan seseorang untuk menimban ilmu dengan dibiayai oleh negara ataupun swasta. Bahkan bisa mendapatkan uang saku juga perbulannya."

Laksmi yang mendengarnya langsung bersemangat, ternyata ada juga hal semacam itu. Ini adalah peluang besar baginya, dengan itu dia akan terus meneruskan mimpi dan membatalkan pernikahannya dengan Danu.

"Tolong sekali jam 8 pagi kamu sudah ke rumah saya, ya. Peluangnya hanya satu hari saja, karena besok adalah hari terakhir."

"Baik, Dokter. Saya akan mengusahakannya, terimakasih banyak, Dok!"

Bergegaslah pulang Lakshmi ke Maja, membawa harapan yang semula telah dijarah oleh keputusasaan.

"Kamu mungkin akan menjadi Marie Thomasnya Majalengka, Lakshmi."

Sekarang sudah ashar, Laksmi buru-buru menaiki angkutan umum menuju ke desanya. Tak sabar sekali ingin memberitahukan ini semua kepada sang ibu.

MELODI SABILULUNGAN KAHIRUPANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang