Bagéan 3: Cidengna Mimpi

368 56 0
                                    

Hari ini; tangisan membanjiri kain akhirat---kafan---, dijadikan sajadah; tempat mengadu kepada Tuhan. Subuh yang kelabu, hanya mendung di hati Lakshmi. Biasanya ada semburat harapan di matanya, tetapi kini ... hanya ada kekosongan. Mimpi yang selama ini diidam-idamkan runtuh ketika ibunya mengatakan hal tak terduga kepada Lakshmi. Walau begitu, ada cercahan harapan yang tersisa; meski tak sebanyak dulu. Pagi ini, tak ada satu kata pun sambutan kepada Emak. Perginya Lakshmi ke sawah; bukan lagi untuk berjualan ... melainkan menepati janji kepada kedua sahabatnya; ngarujak. Dibawa buah jambu air ke dalam kresek, masam; seperti wajahnya.

Hari ini, lagi-lagi matahari tertutup tangisan hitam---cideng----. Lakshmi menghampiri Kirana dan Ikheu yang sudah menunggunya sejak lama; di gazebo persawahan. Banyak sekali Petani sedang merambat sawah agar padi bisa tumbuh berbuah hasil---ngarambet---. Kedua teman Lakshmi sangat keheranan; tak seperti biasa Wate terdiam seribu bahasa---biasanya pencicilan---.

"Wate, kenapa kamu seperti orang yang sedang hilang semangat hidup. Apakah ada masalah?" atas sinyal dari Kirana; Ikheu memberanikan diri bertanya kepada Lakshmi.

"Tidak ada, hanya kekurangan tidur." Jawab Lakshmi yang tengah memotong buah mangga; seakan memotong impiannya.

"Kamu pikir, orang yang dari bayi mula sudah berteman; tidak tahu perasaan temannya? Sudahlah, apa yang kau tutupi? Ceritakanlah kepada kami." Kirana yang sedari tadi canggung untuk bertanya; akhirnya memberanikan dirinya---meski sedikit takut---.

Lakshmi masih mengingat dirinya harus menikah dengan Danu, seketika tanpa sadar; Lakshmi memotong buah yang ada di tangannya dengan kencang sampai terbelah dua bagian. "Eyy!" sontak Ikheu serta Kirana berteriak, apa-apaan Lakshmi ini? Untung saja pisau itu tidak membelah telapak tangannya.

"Ya Allah, ieu budak nyah! Kamu kenapa, Lakshmi?" Ikheu langsung menjauhkan pisau dari Lakshmi, takut sekali jika gadis itu benar-benar kehilangan kesadaran.

Lakshmi perlahan menangis, refleks Kirana dan Ikheu memeluk Lakshmi. Entah sebenarnya apa yang terjadi sampai Lakshmi kehilangan ketegarannya? Di mana Lakshmi yang dulu berambisi? Di mana Lakshmi yang dulu mempunyai seribu tekad? Wate menceritakan semuanya, mereka berdua sama kagetnya dengan Lakshmi. Begitu terluka hati mereka; mendengar perjodohan yang akan segera dilakukan.

Kirana dan Ikheu melepaskan pelukannya, menghapus air mata Lakshmi yang sulit untuk dibendung, "Wate, tenangkan dirimu. Mungkin dari sana; ada jembatan agar kamu bisa sekolah. Meskipun tuan Dadang terkenal kejam; akan tetapi tidak untuk putranya---kang Danu---."

"Ya! Apakah kamu tahu, Wate? Kang Danu itu orangnya udah kasep, pinter sama enggak kasar. Saya tidak pernah melihat dia main tangan, dia begitu tepat untukmu. Bisa saja, kang Danu akan melakukan segala cara hanya untuk menuruti apa yang dikatakan istrinya nanti." Ikheu mengatakan hal yang lebih dewasa dibanding sebelumnya, ini adalah situasi sulit.

"Ayolah, Wate. Tata kembali niatmu, ini adalah bagian dari perjuangan. Apapun hasilnya nanti; serahkan semuanya kepada Gusti Allah, semuanya akan baik-baik saja."

Rasanya berat untuk menerima kenyataan; tapi apa boleh buat? Ini adalah jalan dari permasalahan keluarganya; tak ada lagi yang bisa dilakukan Lakshmi. Liukan takdir ini sangat membuat dirinya kaget, mau bagaimanapun; inilah kehidupan. Berusaha, menerima dan ikhlas. Semoga masih ada harapan untuk kembali menggapai mimpi.

Sebenarnya, Lakshmi tahu sekali tentang Danu sama persis tentang apa yang dikatakan sahabatnya, tetapi tak pernah dirinya bertukar kata dengan pemuda itu. Danu bekerja di kantor desa sebagai salah satu staff. Umurnya tak terlalu tua---18 tahun---. Watak Danu adalah kebalikan dari karakter ayahnya. Tuan Dadang adalah konglomerat, mempunyai banyak sawah di berbagai daerah. Rumahnya gedong, mobil mewah; bukanlah barang mahal, harta selalu menyelimuti, angkuh dan kikir merundungi. Terkadang orang yang tidak berilmu dan beradab diberi harta; akan bersikap demikian. Berbeda jika orang berilmu dan beradab yang diberi harta. Anak perempuannya dijodohkan sedini mungkin, sedangkan anak lelakinya hanya memiliki pendidikan sampai Sekolah Menengah Atas. Padahal tak sedikit di sini; orang yang berasal dari perekonomian bawah(laki-laki), melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi yang ada di kota, atau juga mendaftar sebagai abdi negara. Entahlah, apa yang dipikirkan pria berkepala 5 itu; padahal harta yang tidak bermanfaat akan membawa beban ketika sudah mati.

Setelah ngarujak bersama Ikheu dan Kirana; Lakshmi pergi ke puskesmas yang ada di Kota Majalengka---pusat kabupaten dari Desa Maja---. Menaiki angkutan kota---angkot---, bukan untuk periksa kesehatan; melainkan bertemu dokter; bertanya pengalaman serta kisah perjuangan di balik posisinya yang sekarang. Lakshmi tidak mampu membeli buku pelajaran tentang apa-apa yang ia dalami untuk mimpinya; seperti di awal bagian---Lakshmi hanya bisa membaca materi di koran---, itupun jika ia sedang beruntung---kebanyakan koran memuat politik dan permasalahan ideologi yang sedang marak dibicarakan di zaman ini---. Wate tak terlalu ambil pusing, di Maja, ideologi semacam itu tak  berkembang seperti layaknya di kota orang, mungkin karena memang belum terlalu terjamah oleh khalayak ramai.

Jarak tempuh ke kota, memakan waktu 30 menit; cukup dekat, karena hanya melewati beberapa desa saja untuk sampai ke pusat kotanya. Lain cerita; jikalau Lakshmi berada berada di Desa Sagara; Panyaweuyan---desa di Majalengka--- yang jarak tempuhnya sangat jauh.

Ke kota, Lakshmi tidak izin dengan ibunya. Namun, ia yakin tak akan lama di Majalengka. Ini masih pukul 09.00, dzuhur nanti; ia akan pulang tepat waktu.

Puskesmas Majalengka; ada di dekat pasar. Lakshmi lupa, ini adalah hari minggu; yang mana puncak dari proses jual-beli di pasar. Jika di Majalengka; minggu adalah hari yang istimewa; selain anak-anak sekolah dan pegawai ASN libur, di hari itu; para ibu rumah tangga kehabisan stok sayurannya di rumah. Jalan dipadati banyak orang, disertai dengan musik dari tukang DVD bajakan di pinggir jalan.

MELODI SABILULUNGAN KAHIRUPANWhere stories live. Discover now