Chapter 2

598 68 0
                                    

Sepulang sekolah pada siang hari, Sonia mengayuh sepedanya dengan kencang.
Dia ingin cepat sampai rumah. Perasaanya tidak enak memikirkan kondisi neneknya.

Tidak peduli panas terik matahari, karena bulir-bulir keringat yang keluar dari pori-pori tubuhnya membuat suhu tubuh tetap terjaga.
Sonia terus mengayuh sepedanya.
Hingga akhirnya sampai ke halaman rumahnya dia bergegas, meletakan sepeda dan langsung menuju ke dalam rumah.

Merasa lebih cemas melihat nenek yang ternyata masih terbaring di atas tempat tidur,

"Nek?," sapa Sonia tidak bisa menyembunyikan rasa gugup.

"Sudah pulang? Ganti bajulah lalu makan siang," ucap nenek lemah

"Bagaimana kondisi nenek? Sonia panggil kepala desa untuk memeriksa ke dokter yah nek," ucap Sonia khawatir melihat kondisi lemah neneknya.
Sonia menyesal seharusnya dia tidak perlu berangkat ke sekolah hari ini, lebih baik untuk menjaga nenek.

"Suhu tubuh nenek panas sekali nek, Sonia keluar minta tolong kepala desa," ucap Sonia lembut

"Kamu lelah pulang sekolah, makan dulu sonia,"

"Tidak nek, nenek lebih penting. Tunggu Sonia nek," ucap Sonia kemudian keluar dari kamar nenek dan berlari menuju rumah pak Ilyas yang merupakan kepala desa.
Untungnya rumah kepala desa tidak terlalu jauh.

Pak ilyas ikut cemas dengan kondisi nenek Sonia. Beliau mengendarai motor dengan Sonia yang duduk di belakangnya.

Setelah sampai di klinik, kondisi nenek tidak membaik. Nafasnya sangat lemah.
Dokter memeriksa kondisi nenek. Sonia dan pak Ilyas menunggu di luar ruang rawat.

Tidak lama dokter keluar, dengan mendesah mengabarkan kondisi nenek Sonia yang sangat buruk dan tidak dapat diselamatkan.

Sonia terkejut, berlari menemui nenek dan terus menangis.
Hatinya sangat perih, nenek yang sejak kecil merawatnya. Hanya nenek. Ayahnya tidak pernah menemuinya sejak bercerai dari ibu.
Sedangkan ibunya sibuk bekerja demi nenek dan dia.
Sehingga kasih sayang yang selama ini Sonia dapatkan hanya dari nenek.

Baginya nenek nomor satu di hatinya sedangkan ibu nomor sekian.
Perasaan nyeri di dadanya. Air mata terus menetes dari kedua matanya.
Banyak kenangan berputar di kepalanya, saat tertawa bersama nenek,menanam dan merawat sayur, memasak bersama nenek.
Sekarang nenek telah pergi untuk selamanya.

Pak ilyas memandang dari pintu, merasa simpati dengan keadaan Sonia.
Setelah Sonia sedikit tenang pak Ilyas meminta Sonia keluar dari ruang rawat, memberi minum Sonia.

"Kamu yang sabar Sonia,sudah menjadi takdir nenekmu kembali ke Allah,"ucap pak Ilyas menenangkan Sonia.

"Kamu hubungi ibumu," ucap pak Ilyas menyadarkan Sonia dan menyerahkan telepon genggamnya.
Selama ini Pak Ilyas lah yang membantu Nenek dan Sonia.
Uang yang dikirimkan ibu pun lewat perantara kepala desa.

Sonia menerima telepon pak Ilyas dan tersambung ke ponsel ibunya.

"Bu," ucap Sonia lemah

"Sonia? Ada apa nak?," tanya Rosalind yang mendengar suara lemah putrinya.

"Nenek sudah meninggal," air mata kembali menetes,hatinya berdenyut sakit.

Rosalind tercekat. Sangat terkejut mendengar kabar dari putrinya bahwa ibunya telah meninggal dunia.
Rosalind merupakan anak tunggal,hanya 3 generasi yang tersisa akan tetapi ibunya kini telah tiada.

"Sonia kamu tenang, hari ini juga ibu izin kerja dan pulang ke rumah,"

"Baik bu," saut Sonia dan menyerahkan ponsel ke pak Ilyas

"Bagaimana nia?"

"Ibu hari ini pulang," jawab Sonia lemah.

"Ibumu tidak bisa mengikuti proses pemakaman nenekmu, paling cepat tengah malam ibumu sampai," ucap pak Ilyas mendesah

Sonia's Eyes (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang