chapter 3

551 60 0
                                    

Setelah pemakaman usai, Sonia duduk di depan ruang tamu bersama bu ratih yang merupakan istri kepala desa.

Suaminya memintanya untuk menemani Sonia sampai ibu Sonia tiba.

Rosalind menatap jalanan dari dalam mobil yang melaju ke arah brebes dan menuju ke dataran lebih tinggi,yang merupakan tempat tinggalnya.
Banyak yang dia pikirkan, dia merasakan sedih kehilangan ibunya tapi dia juga harus kuat demi putrinya.
Dia akan membawa Sonia ikut bersamanya ke ibu kota.
Sesampainya di halaman depan rumahnya, Rosalind menahan tangis dan melangkah memeluk Sonia.

Berterima kasih kepada bu Ratih yang akan pamit pulang.

"Terima kasih sudah menemani putri saya bu," ucap Rosalind lembut

"Tidak masalah, kalau begitu saya pamit," ucap bu Ratih

Hari sudah petang, Rosalind memandang Sonia yang masih terus menunduk.
Dia beranjak dan membersihkan diri sebentar, kemudian mendesah melihat putrinya yang masih diam dan menunduk.
Dia membawa putrinya ke kamar tidur dan menemani anaknya untuk tidur. Mengelus punggung putri satu-satunya yang terlihat menahan tangis.

Rosalind melamun dan memikirkan dulu dia tidak bisa membujuk ibunya untuk tinggal bersamanya ke Jakarta.
Ibunya lebih memilih tinggal di desa di rumah peninggalan Ayahnya bersama Sonia.

"Nia, ibu tau kamu sangat sedih. Tapi kita harus kuat dan menatap ke depan,kehidupan terus berlanjut. Besok setelah ibu mengunjungi makam nenekmu, kita berangkat ke Jakarta,kamu ikut ibu dan melanjutkan sekolah di sana" ucap Rosalind lembut.

Sonia hanya mengangguk sedih.
Tidak lama Rosalind terlelap.
Sonia menatap wajah ibunya yang tertidur. Ibunya pasti sangat lelah.
Sonia ingin ke kamar mandi,bangun dan keluar kamar. Setelah menyelesaikan urusanya dia akan kembali ke kamar, melewati kamar neneknya,dia melihat gorden kamar nenek tersingkap seperti tertiup angin. Sonia tidak sadar bahwa tidak ada angin yang masuk ke dalam rumahnya.
Samar-samar Sonia melihat seorang wanita seperti nenek duduk dikasur membelakanginya.

Sonia Terkejut, dia tau itu bukan neneknya.
Ruh orang mati tidak bisa gentayangan menjadi hantu! Sonia paham betul kalimat orang mati bisa menghantui itu hanyalah perkataan yang diucapkan saja.
Di hadapan orang yang sudah mati ada barzakh (pembatas) sampai hari mereka dibangkitkan.

Sonia merasa takut dan melangkah cepat ke kamarnya saat sosok tersebut akan berbalik menghadap padanya.
Sampai di kamarnya, badan Sonia gemetar ketakutan, jika dia sendirian di rumah tanpa ada ibunya dia pasti bisa gila menahan takut.

Dia berbaring di samping ibunya.
Entah sampai kapan dia bisa melihat hantu.
Pertama kalinya dia melihat hantu saat dulu,sehabis ngaji di dekat rumah pak Ilyas.
Saat sore menuju petang dengan lampu yang remang disepanjang jalan, dia melangkah perlahan menuju rumah.

Melihat becak di samping salah satu rumah tetangga yang terparkir disamping pohon mangga.
Sonia terkejut. Seluruh badan dan bibirnya seperti terkunci rapat,tidak bisa melanjutkan langkah dan berteriak saat melihat seorang perempuan berbaju putih dengan rambut panjangnya yang tergerai.
Sosok perempuan tersebut memainkan helai rambutnya dengan kedua tangan putih pucatnya.
Sonia merasa sangat takut saat melihat sosok tersebut yang dia tau disebut kuntilanak.
Untung saja wajahnya tertutup rambut. Sonia sangat takut saat samar-samar mendengar suara isak tangis dari sosok tersebut.

Dengan usaha keras Sonia berlari ke rumahnya.
Sejak saat itu Sonia tidak mau mengaji lagi, dia bukan hanya tidak mengaji tapi dengan bodohnya juga meninggalkan shalatnya.

Sonia's Eyes (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang