Sepuluh

11.5K 646 16
                                    

Menopang dagu, Hanum perhatikan Danu dengan segala kegiatannya. Membolak-balik map ditangannya tanpa berniat untuk membaca. Sepertinya itu hanya cara Danu untuk menghindar dari Safna, serta menghindar dari segala ocehan Hanum.

"Udah terlalu lama kamu menghindari Safna, Mas," ucap Hanum. Danu tidak boleh terus-menerus menghindar. "Nggak takut ditinggal, kamu."

Gerakan Danu yang sejak tadi membolak-balik map ditangannya seketika terhenti. Terdiam sesaat lalu berkata.

"Nggak apa-apa. Masih ada kamu, kan," ucap Danu enteng.

Hanum manggut-manggut. "Bagus kalau begitu," ucapnya tersenyum. "Mungkin dengan begitu Safna bisa kembali lagi sama Mantang tunangannya."

Danu kembali diam. Dengan kening berkerut menatap Hanum.

"Tunangan?" tanya Danu, bingung.

Hanum mengangguk saja. Tersentak, pura-pura terkejut.

"Safna nggak cerita sama kamu?" tanya Hanum seolah kaget. Danu menggeleng, polos. Hanum tersenyum seolah meremehkan. "Kamu bukan orang spesial mungkin!"

Danu berdecak. Hanum selalu pandai merusak suasana hati orang lain.

"Kenapa aku nggak tau?" tanya Danu kemudian.

Hanum mengedikkan bahu. "Kamu memang begitu, kan. Enggak pernah mau tau tentang orang lain, dan sibuk sama diri sendiri."

"Ck... aku nggak begitu, Han." Danu membantah. "Aku bahkan tau bagaimana kehidupan kamu."

"Itu karna kamu mengenal aku jauh sebelum kita menikah," ucap Hanum.

Danu terdiam, menghela nafas. Danu tidak pernah suka mempertanyakan bagaimana dan seperti apa masalahku seseorang. Danu lebih suka menatap ke depan. Masalalu tidak pernah penting baginya. Tapi Danu tidak tau, karna ketidakpeduliannya itu membuatnya seperti orang bodoh yang tidak tau apa-apa. Bahkan tentang kehidupan istrinya, Danu tidak pernah tau.

"Aku nggak menghindar," bantah Danu. "Aku cuma lagi sibuk dengan beberapa tugas kantor." Danu beralasan. Hanum menatap, tidak percaya. Danu mendesah, mengaku kalah. "Ya, aku memang menghindarinya." Danu mendesah. "Rasanya sulit," ucap Danu terbata. Sesak karna harus kembali membayangkan kejadian lalu. "Itu seharusnya jadi hari paling bahagia buatku, Han." Danu menjelaskan rasa hatinya. "Aku seperti orang bodoh yang terburu-buru keluar kantor datang ke rumah sakit hanya untuk melihat istriku bermesraan dengan pria lain. Dan sekarang aku tau kalau pria itu mantan tunangannya."

"Cuma mantan, Mas."

"Mantan juga bisa ngasih kenangan, Han."

Hanum diam saja. Tidak membantah. Apa yang Danu katakan tidaklah salah. Wajar jika Danu merasa demikian. Tapi Safna, Danu juga tidak bisa menyalahkan wanita itu begitu saja. Jika disuruh memilih, Safna juga tidak akan ingin jika rumah tangganya hancur hanya karna datangnya orang dari masalalu. Hanum mendesah. Seharusnya Hanum tidak pergi keluar, dan membiarkan Safna berdua saja dengan Rusli.

"Aku nggak tau mau bicara apa. Aku juga takut emosiku lepas begitu aja jika ada jawaban yang nggak cocok untukku dengar. Jadi aku memilih untuk menghindar," ucap Danu, menjelaskan alasannya menghindari Safna.

Hanum menghela nafas. "Enggak akan ada pertengkaran kalau kita saling mengerti, Mas. Dan mendengarkan, itu salah satu cara mengantisipasi datangnya pertengkaran."

Danu tersenyum. "Jadi itu yang sering kamu lakukan?"

Hanum mengangguk.

"Safna nggak pernah mau adanya pertengkaran. Sama sepertiku. Selalu mencari jalan keluar agar masalah itu nggak terus berlarut. Tapi bedanya, kamu selalu memberi aku waktu untuk menjelaskan. Sedangkan Safna, kamu memilih menghindar," jelas Hanum. "Jangan sampai rumah tangga kita hancur hanya karna rasa egois itu, Mas."

Istri Kedua (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang