Tiga belas

9.4K 543 12
                                    

Hanum tengah sibuk menyiapkan beberapa keperluan yang ia butuhkan untuk dibawa keluar kota, tempatnya bekerja.

Hanum menatap keluar jendela saat sebuah mobil memasuki pekarangan rumahnya. Merasa tidak asing dengan mobil itu. Sejenak Hanum tampak acuh. Tidak mungkin itu mobil Danu karna yang mempunyai mobil seperti itu bukan hanya mantan suaminya saja. Masih ada banyak orang lain yang memiliki mobil yang sama. Tapi ada yang mengganjal benaknya. Mobil bisa saja sama. Tapi plat mobil tidak akan pernah sama.

Sesaat Hanum tersentak. Seolah membenarkan firasatnya. Kini Danu keluar dari mobil. Lebih terkejut lagi saat Safna ikut keluar menyusul Danu dengan Azam dalam gendongannya.

Berbalik, Hanum berlari menuju pintu depan. Jangan sampai pasangan suami istri itu masuk lebih dulu.

"Kamu ngapain datang kesini, Mas?" tanya Hanum tampak panik "dan kenapa kamu bawa Safna?"

Danu hanya balas tersenyum tanpa berniat menjawab pertanyaan Hanum. Hal itu tentu membuatnya khawatir. Terlebih lagi langkah kaki Danu kini sampai di depan pintu.

"Pulang aja, Mas," tahan Hanum memegang lengan Danu "belum waktunya kamu datang kesini."

"Terlambat," balas Danu membuat Hanum bingung. Menoleh begitu danu mengedikkan dagu ke depan.  

Dengan tangan yang mulai lemah Hanum melepas genggamannya, kini tangan itu terkulai lemas dan jantung pun berdebar kencang begitu melihat kehadiran sang Papa di depan pintu. 

Sesaat Hanum merasa tenang sebab yang berhadapan dengan mereka saat ini bukanlah Mamanya. Tapi tetap saja ia merasa khawatir sebab yang dihadapan mereka saat ini tetaplah orang tuanya yang juga merasakan kecewa.

"Kenapa tamunya nggak diajak masuk?"

Danu menghela nafas. Kata 'tamu' yang Papa Hanum ucapkan bagai sindiran. Sikapnya yang tenang membuat aura dari mantan mertuanya itu lebih menakutkan. Lain dengan Safna. Wanita itu menelan saliva, khawatir akan ada keributan menyusul setelah ini.

"Pulang aja, Mas," bisik Hanum meminta. Merasakan jika suasana saat ini mulai mencekam.

"Ayo, masuk," ajak Papa Hanum. Lebih terdengar seperti memerintah.

Hanum menggeleng pelan menatap Danu. Jelas berharap jika pria itu berubah pikiran lalu pulang. Tapi keinginan itu harus Hanum telan saat Danu meraih tangan Safna dan membawanya ikut serta masuk ke dalam rumah.

Papa Hanum mempersilahkan duduk dengan mengedikkan dagu kearah sofa.

"Punya keberanian juga kamu datang ke rumah saya setelah melepaskan Hanum dan membiarkannya pulang sendiri tanpa berniat mengantarnya." 

Danu diam. Mengingat kembali saat Hanum mengatakan akan pergi dari rumah. Benar, tidak sedikitpun Danu berbasa-basi menawarkan Hanum untuk diantar. Bahkan terpikir saja tidak. Andaipun Danu menawarkan. Jelas Hanum akan menolak. Danu hafal betul bagaimana mantan istrinya itu.

"Merasa sudah nggak punya tanggung jawab?" tuduh Papa Hanum. "Kamu meminta anak saya dengan baik... jika ingin berpisah, bukankah seharusnya kamu mengembalikannya juga dengan baik-baik?" bukan pertanyaan. Tapi pernyataan yang Papa Hanum katakan.

Khawatir, Hanum meremas tangannya. Kehadiran Danu bukan pilihan yang baik.

"Danu minta maaf, Pah," ucap Danu penuh penyesalan. "Danu nggak berniat mengoyak kembali luka yang belum sembuh itu... tujuan Danu benar-benar ingin meminta maaf."

Sesaat suasana senyap. Hembusan nafas terdengar bersahutan. Baik Danu, Hanum, Safna, serta keadaan. Tak ada yang bisa disalahkan. Pilihan yang membuat seluruh bagian keluarga merasakan kecewa, tapi pilihan itu pula yang membawa kelegaan bagi semuanya.

Istri Kedua (Selesai)Where stories live. Discover now