Empat belas

9.9K 498 4
                                    

Safna menyandarkan kepala Azam perlahan ke pundaknya, berjalan pelan memasuki kamar. Dengan hati-hati ia meletakan Azam ke atas ranjang, mengusap wajah kecil itu penuh sayang. Menutupi tubuh kecilnya dengan selimut.

Safna bangkit. Pandangannya menelusuri setiap rinci kamar itu. Mengingat kenangan akan Hanum meski dekorasi kamar itu sudah banyak berubah.

Safna menghela nafas. Sengaja Safna menempatkan Azam di kamar itu, karena hatinya masih terasa ngilu saat bayangan Hanum hadir dalam ingatannya. Meski akhirnya bersyukur cinta Danu sepenuhnya menjadi miliknya. Namun tak bisa Safna pungkiri, kebahagiaan itu semua terjadi atas pertolongan Hanum dan atas kebesaran hati wanita itu. Sang istri pertama mengalah, menyerahkan cintanya pada istri kedua suaminya.

"Mikirin apa?"

"Astaga!" Safna tersentak, kaget. Kehadiran Danu yang secara tiba-tiba begitu mengejutkan. Padahal sejak tadi Danu terus berkutat dengan segala urusannya -- pekerjaan kantor yang ia bawa pulang ke rumah, dan bahkan tak menoleh saat Safna mengatakan ingin mengantar Azam ke kamarnya.

"Mikirin Hanum?" tanya Danu seolah mampu membaca pikiran Safna.

Safna tersenyum saja. Tak menanggapi pertanyaan itu. Berjalan melewati Danu, keluar kamar.

Danu menatap kamar itu sebelum membuntuti Safna. "Padahal udah didekor ulang, loh." Danu melanjutkan saat merasa tebakannya tepat sasaran. "Apa kita pindah rumah aja?" tanyanya memberi saran, mengikuti langkah kaki Safna.

Safna berdecak. "Berlebihan itu namanya."

"Itu sebabnya jangan dipikirkan terus." Danu ikut berdecak.

Safna menghentikan langkah, berbalik menghadap suaminya itu. Danu pun melakukan hal yang sama. Dengan tenang membalas tatatap Safna.

"Ingatan itu terukir jelas disini, Mas." Safna menunjuk keningnya. "Jadi, kemana pun aku pergi... bayangan Mbak Hanum, akan tetap ada."

Danu menghela nafas dengan kepala tertunduk. "Andai aku punya kemampuan untuk menghilangkan ingatan seseorang, mungkin kemampuan itu akan kumanfaat untuk menghilangkan segala kenangan yang mengusik ketenanganmu."

Safna mengerutkan kening, lalu tertawa kemudian. "Korban Drakor, nih, ceritanya," ucapnya lalu melangkah kembali.

"Aku suka itu karna kamu." Danu ikut melangkah, berjalan tepat dibelakang Safna.

"Masa, sih?" tanya Safna tak percaya.

"Ck... kamu nggak percaya?"

"Gak percayalah! Kamu banyak bohongnya."

"Bohong apaan?" kening Danu berkerut. Safna diam, mengulum senyum. Tak berniat menjawab pertanyaan Danu, atau lebih tepatnya tidak tau akan menjawab apa. Ucapan itu keluar begitu saja dari mulutnya. "Dek!" seru Danu, menghalangi jalan Safna dan berhenti tepat di depannya.

Safna bergerak ke samping, berjalan melewati suaminya itu. Danu berdecak. Tentu saja Safna bisa menghindarinya. Begitu banyak ruang untuk Safna berjalan tanpa harus menyenggol sedikitpun tubuh Danu.

Sampai keduanya tiba di dalam kamar. Danu terus mendesak. Kebohongan yang istrinya itu katakan tentu membuat Danu penasaran. Selama ini Danu tidak pernah merasa membohongi Safna. Tapi siapa yang tau. Bisa aja memang benar Danu melakukannya dan lalu melupakannya.

"Aku cuma becanda, Mas." Akhirnya tawa Safna lepas.

Danu berkerut kening, menatap kesal Safna. "Enggak lucu!"

"Aku juga lagi nggak melawak, Mas," jawab Safna santai. Mengapit kedua pipinya dengan telapak tangan, merasa pegal karena terlalu banyak tertawa.

"Kamu marah, Mas?" tanya Safna, menatap Danu. Danu diam saja tak menanggapi bahkan membalas tatapan Safna.

Istri Kedua (Selesai)Where stories live. Discover now