Semarang, 2014
Anindita terlihat gelisah. Wajahnya mengerut seperti ketakutan. Napasnya tersengal. Keringat membanjiri tubuhnya. Entah apa yang terjadi dalam tidur Anindita, tiba-tiba gadis itu bangkit dan terbangun dari mimpinya. Saat ia tersadar, Galuh sudah berada di sampingnya.
"Bermimpi lagi, Nduk?" Galuh mengusap peluh di dahi Andit, menyodorkan segelas air padanya yang langsung ditandaskan Andit dalam satu tegukan. "Kan Ibuk sudah bilang, jangan lupa baca doa. Kamu selalu begitu kalau kecapean. Jam berapa tidurnya semalam?"
"Hmm ... semalam habis bikin tugas, Andit langsung tidur kok, Buk." Andit menyodorkan gelas kosong pada Galuh. Gadis itu mengusap wajahnya dan menyapu anak-anak rambut yang menempel di keningnya ke belakang. Ia berusaha mengatur napas agar lebih tenang.
Bukan sekali ini saja Andit terbangun karena bermimpi buruk. Mimpi itu hadir sejak ia masih duduk di Sekolah Dasar. Andit pernah bercerita pada Galuh. Dalam mimpinya, ia bertemu dengan seorang laki-laki yang berwajah dingin dan menyeramkan. Tatapannya tajam, seakan menusuk ke ulu hati Andit dan meninggalkan bekas luka di sana.
Setiap kali bermimpi buruk, wajah itu selalu hadir. Kedua matanya menatap Andit dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Andit sangat membenci pemilik wajah itu. Sayangnya, guratan wajah lelaki itu juga melekat pada wajahnya. Dan keras kepalanya Andit, ia warisi dari lelaki itu.
Sering kali mimpi seperti itu hadir saat ia terlalu lelah. Andit memang bukan anak yang suka membuang-buang waktu. Baginya, hidup adalah perjuangan. Andit mengerti betul bagaimana ibunya bersusah payah membesarkannya seorang diri. Galuh sudah bekerja keras untuknya. Setiap pagi, Galuh berangkat ke pabrik dan pulang di sore hari. Malam hari, Galuh masih saja melanjutkan pekerjaan tambahan; menerima jahitan dari para pelanggannya. Andit tahu, semua itu Galuh lakukan demi dirinya. Karena itu, ia tidak akan menyia-nyiakannya kesempatan apa pun, termasuk dalam belajar.
"Ngerjain tugas nggak usah ngoyo, Nduk. Ibuk nggak pernah menuntut kamu harus jadi nomor satu. Ibuk cuma pengin kamu hidup bahagia, jadi anak yang berbakti, dan berbudi luhur."
"Andit pengin sukses, Buk. Gimana mau ngebahagiain Ibuk, kalo Andit nggak sukses. Doakan Andit ya, Buk." Andit merebahkan kepalanya ke pangkuan Galuh. Andit selalu seperti itu jika hatinya sedang tidak tenang.
"Kamu persis bapakmu. Kalo sudah pengin apa-apa, mesti dilakoni." Galuh mengusap rambut putri kesayangannya itu.
Andit tiba-tiba mengangkat kepalanya dari pangkuan Galuh. Wajahnya merengut. Terlihat sekali kalau gadis itu terganggu setiap kali ibunya membahas tentang sang Ayah. "Buk, Ibuk nggak usah bahas-bahas Bapak lagi, ya. Andit nggak suka."
Galuh tersenyum simpul kemudian mengangguk. "Iyaaa ... ya udah. Mandi dulu. Nanti terlambat ke sekolah. Ibuk juga mau siap-siap ini. Nggak enak kalo sempat telat ke pabrik."
Andit menghela napas panjang. Ia bangkit dari tempat tidur. Gadis itu segera meraih handuk dan menyampirkannya ke pundak. Saat melewati meja makan, harum semerbak nasi goreng dengan telur ceplok dan irisan timun menggoda penciumannya. Sesaat gadis itu berhenti di sana. Tangannya sudah bersiap mencomot kerupuk udang yang berada di dalam stoples. Kalau saja Galuh tidak melihat kelakuan Andit, kerupuk yang renyah dan gurih itu tentu sudah berpindah ke perutnya.
Selesai memakai seragam sekolah, Andit berputar-putar di cermin. Memastikan bahwa tak ada pakaiannya yang mengerut atau tidak rapi. Setelah itu, Andit langsung menuju meja makan. Ia sudah tidak sabar mencicipi sarapan paginya. Nasi goreng dengan telur ceplok, irisan timun, dan taburan bawang goreng yang banyak. Galuh sudah lebih dulu di sana. Disodorkannya segelas teh manis pada Anindita.
"Makasi, Buk. Nasi goreng Ibuk enak banget," kata Anindita sesaat setelah memasukkan sesendok nasi ke mulutnya. Andit sengaja menekankan suara, dan menyatukan jempol dan telunjuknya hingga membentuk lingkaran pada Galuh saat mengucapkan kata "enak banget" seperti iklan di televisi.
"Masa sih? Pinter banget anak Ibuk ngegombal pagi-pagi. Siapa yang ajarin?"
"Nggak gombal. Masakan Ibuk memang ter- the best in the world."
"Ooh. Kirain ada yang ngajarin."
"Maksud Ibuk?"
"Ya, kali aja di sekolah ada yang suka gombalin anak Ibuk. Makanya jadi pinter ngegombal."
"Iiih ... Ibuk ada aja deh. Aku nggak bakalan kemakan sama rayuan model begitu." Andit menjawab sambil mengibaskan rambutnya. Galuh tertawa melihat perangai anak semata wayangnya. Galuh merasa cepat sekali waktu berlalu. Baginya terasa baru kemarin ia menggendong Andit di pangkuannya. Andit putri kecilnya yang lucu dan menggemaskan itu kini sudah beranjak remaja. Mereka menghabiskan sarapan pagi dengan banyak cerita. Sesekali tawa dan canda hadir di antara ibu dan anak ini.
Anindita adalah siswa kelas sebelas di SMA Aksara 04, salah satu sekolah yang bergengsi di kota Semarang. Hanya siswa-siswi pilihan yang bisa masuk ke SMA Aksara 04. Maklum saja, selain uang sekolah yang mahal, seleksi nilai yang ketat membuat sekolah ini menjadi salah satu sekolah unggulan. Beruntung, Anindita menjadi bagian dari sekolah ini dari jalur beasiswa. Memang, sebagian besar teman-teman sekolah Anindita berasal dari kalangan orang berada.
Galuh sangat bangga pada putri semata wayangnya itu. Ia tumbuh menjadi gadis yang cantik, berkulit kuning langsat dengan tinggi yang proporsional. Rambutnya hitam dan tebal. Garis wajahnya tegas tapi terlihat anggun dan lembut. Dan kedua bola matanya itu selalu memancarkan energi dari jiwanya yang optimis dan percaya diri. Ia juga disenangi teman-temannya. Para guru juga mengidolakannya. Ia tidak suka melanggar peraturan atau melakukan hal-hal "nyeleneh" seperti yang biasa anak usianya lakukan.
Semburat matahari mulai menampakkan kegagahannya. Sinarnya mulai menyapa pucuk-pucuk daun dan menguapkan titik-titik embun di sana. Ayam jantan tak lagi berkokok lantang. Hewan itu asyik mengais-ngais tanah, mencari rezeki yang telah Tuhan tentukan untuknya hari ini. Andit mencium takzim tangan ibunya. Kemudian ibu dan anak itu berpisah untuk dua hal yang berbeda. Setelah Andit berangkat ke sekolah, Galuh memastikan semua pintu sudah terkunci. Ia juga telah siap untuk berangkat. Pekerjaan tentu sudah menantinya di pabrik.
***
YOU ARE READING
MISSING DAD 🍒COMPLETED🍒
Teen FictionBagaimana mungkin memelihara kebencian dan rasa rindu pada orang yang sama? Anindita kehilangan kasih sayang seorang ayah sejak ia berusia dua tahun. Segala kesulitan hidup ia jalani hanya bersama ibunya. Sementara sang Ayah, hidup bahagia dengan ke...
