Part 13

116 11 0
                                        

Andit baru saja mengeluarkan beberapa kertas yang dikaitkan dengan paper clip dari dalam tas. Lalu lalang pengunjung rumah sakit mulai memadati koridor depan ruang rawat. Seorang pasien yang satu kamar dengan ibunya sudah pulang pagi tadi. Tinggal satu orang pasien lagi, ibu-ibu yang seumuran dengan Galuh yang dirawat karena kecelakaan.

Tugas muridnya harus segera dikoreksi sebelum Andit menyelesaikan soal latihan Matematika dari gurunya. Sebelum pulang Widya sempat menyelipkan uang dua ratus ribu ke dikantong seragamnya. Malam ini Andit bisa tidur nyenyak karena perutnya sudah terisi. Tak seperti malam sebelumnya, Andit selalu melewati malam yang dingin dengan perut kosong.

"Nduk..." Andit mengengkat kepalanya saat mendengar suara ibunya yang lirih.

"Iya Bu," jawabnya sambil bangkit dari duduknya.

"Ibu mau minum," suara Galuh yang lemah membuat anaknya menjadi sedih.

Galuh membuka selimut sambil berusaha bangun dari tidurnya. Andit segera membantu ibunya yang kesulitan untuk duduk. Tangan kanan Andit menerima gelas yang diulurkan ibunya. Sementara tangan kirinya mengusap punggung Galuh yang sudah beberapa hari hanya digunakan untuk berbaring di ranjang rumah sakit. Dengan sigap, Andit menangkap ibunya yang tiba-tiba pingsan.

Teriakan Andit mengagetkan orang-orang yang ada disekitarnya. Setelah membaringkan Galuh, tangan kirinya memencet tombol yang mengarah ke ruang perawat dengan panik. Air mengalir deras dari kedua kelopak matanya. Rasa takut yang hebat membuat tubuhnya bergetar.

Dua orang wanita berseragam putih datang dan membawa ibunya menuju ke ruangan lain. Andit segera merapikan isi tasnya sebelum bergegas mengikuti langkah perawat. Air terus mengalir di kedua pipinya. Tidak tahu apa yang harus dilakukan, Andit hanya duduk di bangku depan ICU yang dingin.

"Keluarga Ibu Galuh?" seorang perawat muncul dari balik pintu.

"Saya Sus," Andit bergegas mendekati perawat sambil mengusap kedua pipinya yang basah.

"Ibu butuh donor darah lagi Mbak," wajah perawat terlihat panik.

"Ibu saya kenapa Suster?" Andit tak kalah panik.

"Ibu membutuhkan donor lagi Mbak, tolong dicarikan segera."

Andit semakin panik, karena kesehatannya sendiri sedang tidak fit jadi tidak mungkin melakukan donor pada ibunya. Dia sudah tidak tahu lagi kemana harus mencari darah untuk Galuh. Saat panik seperti ini, hanya ada satu nama yang muncul di kepalanya. Andit merapatkan jaket dan bergegas meninggalkan rumah sakit.

Rintik air turun dari langit, sisa hujan sore tadi. Andit berlari kecil menghindari kubangan-kubangan air. Tubuhnya yang kecil menerobos butiran-butiran kecil yang sudah mulai reda dengan ojek online menuju rumah Burhan. Andit tak menghiraukan jaketnya yang mulai basah.

Kedua pipi Andit masih mengeluarkan buliran kristal bening. Kesedihan membuat dadanya terasa penuh. Dia sudah menyiapkan diri untuk menghadapi apapun yang akan terjadi nanti di rumah Burhan. Andit juga sudah siap menerima cacian dari Sari demi Ibunya.

Kendaraan yang ditumpangi Andit membelah malam. Hanya butuh waktu lima belas menit untuk sampai di rumah Burhan. Kepala orang yang ingin ditemuinya muncul setelah dua kali mengetuk pintu. Air kembali membasahi kedua pipinya.

Andit bisa melihat kedua mata ayahnya terbelalak, tidak menyangka dirinya yang datang. Burhan melihat Andit dari atas hingga ke bawah. Sorot matanya tak lagi tajam, ada iba yang bisa dirasakan Andit. Burhan sempat menoleh ke belakang sebelum membuka pintu lebih lebar.

"Ngapain ke sini?" tanya Burhan singkat.

"Pak, Andit mohon tolonglah Ibu." Pinta Andit sambil sesenggukan.

"Ibumu kenapa?"

"Ibu pingsan lagi Pak, Ibu butuh darah lagi. Aku tidak tahu kemana harus mencari pertolongan. Sekarang Ibu sedang di ICU." Andit masih tergagap.

"Siapa yang datang, Yah?" belum sempat Burhan menjawab, suara Sari sudah muncul di belakangnya.

"Oh, kamu lagi?" mata Sari menatap tajam ke arah Andit. "Ngapain kesini? Mau ganggu suami saya lagi? Bilang sama Ibumu, jangan pernah memperalat kamu untuk mengambil suami saya lagi."

"Sari!" bentak Burhan. "Kamu nggak lihat? Dia ke sini karena Ibunya ada di ICU."

"Trus apa urusannya sama kita kalau Ibunya ada di ICU?" suara Sari tak kalah tinggi.

"Kamu itu ya..." tulang rahang Burhan menyatu menahan amarah.

Tidak tahan melihat pertengkaran yang ada di depannya, Andit beranjak meninggalkan teras. Waktu terus berjalan, Andit tak mungkin meninggalkan ibunya hanya untuk menyaksikan pertengkaran Burhan dengan ibu tirinya. Langkah Andit terhenti saat mendengar panggilan ayahnya.

"Tunggu Ndit!" Hati Andit terasa hangat, untuk pertama kalinya Burhan memanggil namanya.

Sempat ke dalam untuk mengambil kunci mobil. Burhan membuka garasi untuk mengeluarkan mobilnya. Burhan sama sekali tak menghiraukan omelan istrinya. Mulutnya terkunci dan terus menstater mobilnya, berhenti di dekat Andit dan menyuruhnya masuk ke mobil.

Sepanjang perjalanan, mulut Andit terkunci. Pertama kalinya duduk bisa berdekatan dengan ayahnya. Hatinya kembali hangat, jari kanannya mencubit lengan kiri untuk memastikan dia tidak sedang bermimpi. Akhirnya Andit bisa merasakan seperti temannya yang lain, memiliki ayah.

Selama dalam perjalanan, Burhan sama sekali tak membuka mulutnya. Meski ayahnya sama sekali tak menanyakan keadaannya, Andit ingin kebersamaan ini bisa berlangsung lebih lama. Sesekali Burhan mengusapkan telapak tangannya yang basah di celana. Tanpa diminta Andit menyodorkan tisu pada ayahnya.

Tatapan Burhan lurus ke depan. Laju mobil menyusuri jalan berkabut. Belum puas Andit merasakan memiliki ayah, mobil yang mereka tumpangi sudah memasuki gerbang rumah sakit. Burhan mengambil ponsel sebelum keluar dan mengunci pintu mobil.

Kedua ayah dan anak ini mempercepat langkahnya menuju ruang ICU. Andit menikmati rasa hangat yang menjalar diseluruh sendi di tubuhnya. Begini rasanya memiliki seorang ayah, batinnya. Sudut bibirnya mengembang meski di satu sisi kesedihan juga menyelimuti hatinya.

Sesekali Burhan menoleh ke arahnya, langkahnya yang kecil agak kesulitan menyamai langkah ayahnya. Ada sedikit harapan, sebentar lagi ibunya akan tertolong. Burhan memanggil perawat yang hendak memasuki ruang ICU. Napasnya masih tersengal saat menanyakan kondisi Galuh. Tubuhnya yang sedikit tambun terlihat berat saat harus berpacu dengan waktu.

"Golongan darah saya dan pasien sama, Sus." Burhan menelan ludah, "Suster bisa periksa saya dulu sebelum diambil."

Andit hanya menatap dua orang dewasa di depannya secara bergantian. Dia bahagia sekali, ternyata ayahnya masih mengingat detil tentang ibunya. Andit mulai berani membayangkan ayahnya kembali, dan memiliki keluarga yang utuh. Andit tidak hanya berusaha mengatur napas dan hatinya, tapi juga mengatur pikirannya yang terlalu tinggi berangan-angan.

"Andit, kamu di sini dulu. Jangan kemana-mana!" perintah Burhan membuat Andit terkejut. Kedua kalinya Burhan memanggil namanya.

"Eh iya," Burhan meninggalkan Andit dengan senyum tipis tersungging diwajahnya.

Andit benar-benar merasa seperti mimpi. Langkahnya tiba-tiba menjadi ringan menuju salah satu bangku yang menempel dinding rumah sakit. Hatinya terbang seperti kapas. Dinginnya malam sudah terkalahkan dengan aliran hangat yang menjalar di seluruh tubuhnya.

***

Semoga semakin cinta sama Andit ya kak...

Happy reading.😍

MISSING DAD 🍒COMPLETED🍒Where stories live. Discover now