Part 11

95 12 0
                                        

Kedua kaki Andit mulai kebas setelah dua jam duduk bersila. Dia tak mengindahkan dinginnya lantai rumah sakit mulai menyusup ke dalam pori. Jarum jam dinding di tengah ruangan menunjukkan angka sepuluh saat bayangan wajah ayahnya kembali muncul di kepala. Ingatannya masih segar untuk melupakan kejadian siang tadi di rumah Burhan.

"Aku harus kuat," berkali-kali Andit mengucapkannya dalam hati. "Aku harus bisa membuktikan kalau aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri tanpa bantuan mereka."

Kristal bening yang mulai memenuhi kelopak mata, membuat pandangannya menjadi kabur. Andit menggigit bagian atas jaketnya agar Galuh tak mendengar isakan tangisnya. Ibunya baru saja terlelap masih tampak lemah berbaring di ranjang rumah sakit. Pasien lain yang satu ruangan dengan ibunya pun sudah tak terdengar suaranya.

Malam kelima ibunya dirawat membuat Andit mulai terbiasa tidur di lantai rumah sakit. Andit mengenakan baju rangkap dua dan kaos kaki untuk membuat tubuhnya menjadi lebih hangat. Detak jam dinding membuatnya malamnya terasa lebih panjang. Tak mau larut dalam kesedihan, Andit pun segera mengusap kedua pipinya yang basah.

"Nduk, tolong ambilkan ibu minum." Suara yang sangat dikenalnya terdengar sangat lemah.

"Nggih, Bu." Tak mau ibunya menunggu Andit segera berdiri untuk mengambil gelas di nakas dan membantu ibunya untuk minum.

"Kamu belum tidur?"

"Sebentar lagi Bu," Andit tak mau membuat ibunya cemas. "Tugasnya sedikit lagi selesai."

"Jangan terlalu malam tidurnya," Galuh menarik kedua sudut bibirnya dengan paksa.

"Iya Bu," Andit membetulkan selimut ibunya.

"Ibu tidur lagi saja, biar lekas sehat dan segera pulang." Andit menatap wajah paruh baya di depannya.

Garis wajah ibunya tampak semakin banyak. Lengan kirinya menyilang di dada. Andit menggeser lengan ibunya ke sisi tubuh sebelah kiri. Urat tangan yang besar terlihat jelas hampir diseluruh permukaan kulit tangan.

"Bagaimana dengan sekolahmu?" tanya Galuh.

"Lancar Bu," senyum menghiasi bibir Andit, berusaha membuat ibunya lebih tenang. "Oh iya, Bu. Andit akan mewakili sekolah untuk ikut olimpiade Matematika lagi."

Senyum mengembang di bibir Galuh penuh bangga. Matanya berbinar menatap anaknya gadisnya. Andit adalah hartanya yang paling berharga. Penderitaannya terbayar lunas setiap kali melihat Andit yang tumbuh sehat dengan prestasinya yang bagus di sekolah.

"Kapan Nduk?"

"Dua minggu lagi, Bu. Ibu do'ain Andit ya," binar mata Andit penuh harap.

"Tentu Sayang. Kamu belajar yang rajin ya, biar menang."

"Iya Bu," anggukan Andit membuat senyum Galuh kembali mengembang.

"Maafkan ibu ya Nak," Galuh yang menarik napas dalam, membuat dadanya bergerak naik. "Ibu sudah menyusahkanmu."

Tatapan Galuh berubah menjadi sedih. Andit bisa merasakan apa yang dikhawatirkan ibunya. Biaya rumah sakit pasti akan membuat tabungan mereka semakin menipis. Andit mengusap punggung tangan kanan ibunya dengan lembut.

"Ibu jangan bilang seperti itu," Andit membuat garis lurus dibibir, berharap ibunya menjadi lebih tenang. "Ibu nggak usah khawatir. Andit hanya mau ibu sehat lagi."

Galuh mengangguk lemah sambil tersenyum. Genggaman tangan Andit sepertinya membuat Galuh menjadi lebih tenang. Tak lama kemudian kelopak mata Galuh menutup. Pikirannya kembali rusuh, mengingat biaya yang harus dikeluarkan untuk merawat ibunya.

MISSING DAD 🍒COMPLETED🍒Where stories live. Discover now